“BUKAN SIAPA TETAPI APA “
Yer 1 : 4 - 5; 17 -19;
1Kor 13 : 4 - 13;
Luk 4 : 21 – 30
Homili Minggu 3 Februari 2013
Dari Surabaya Untuk Dunia
*P.
Benediktus Bere Mali, SVD*
Kalau diminta memilih antara undangan Seminar dari
seorang anak muda yang belum punya nama dengan seorang senior yang sudah
terkenal, pasti kebanyakan di antara yang menerima undangan akan lebih tertarik
pada pembicara yang lebih senior dan mempunyai nama daripada anak muda yang
tidak terkenal. Walapun barangkali anak muda itu lebih kreatif dalam membawakan
makalahnya. Mengapa demikian? Karena para undangan terpola dengan sistem
berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang
dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian juga seorang anak muda yang berbicara
meyakinkan, penuh kuasa serta penuh dengan sikap kritis di dalam sebuah
kampung di hadapan mayoritas para tetua dan para sesepuh, belum tentu
semua orang sekampung itu menerima pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang
tergolong sesepuh bisa jadi merasa bangga dengan kehadiran anak muda itu dan
bisasanya datangnya dari keluarga dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.”
Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat dengan kacamata iri hati pada
si anak muda itu bahkan secara terang-terangan dengan kata maupun sikap ataupun
dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam
kapitel terakhir adalah kesenjangan antara senior dengan yang yunior dalam
hidup berkomunitas. Dalam kehidupan bersama, yang senior seringkali bahkan
banyak kali memandang yunior dengan paradigma “ kau
baru lahir kemarin belum tahu apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini
melahirkan tanpa apresiasi dari senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan
menghasilkan karya pelayanan yang baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman yang demikian membawa dampak pada kehidupan
berkomunitas, dimana antara senior dengan yunior semakin berjalan jauh dari
kekompakan di dalam karya pelayanan. Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam
kehidupan bersama mengandalkan sistem berpikir “merendahkan
senior” karena usia dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi
yang yunior, sehingga konflik pun bisa semakin kelihatan.
Solusi yang mau ditempuh adalah komunikasi dan
evaluasi dari hati ke hati sebagai jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior
dengan Senior di dalam kehidupan bersama di Pastoran atau komunitas karya agar
yang diutamakan adalah “Misi Allah” bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior
maupun senior. Untuk itu paradigma yang menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior) sama tahu untuk melaksanakan
Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus adalah Yunior dalam usia tetapi
pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan
dunia itu ditanggapi dengan penolakan dari orang-orang sedesanya atau
sekampungnnya.
Mayoritas orang sekampung Yesus bahkan para
pemuka agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa
depan dari Kampung Nazaret.
Apakah penolakan itu membuat Yesus mundur dari
perjuangannya memberikan yang terbaik dan terbenar bagi masyarakat setempat,
agar mendapatkan rasa aman dan tanpa konflik di dalam komunitas Nazareth?
Sikap kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi
penolakan yang dialaminya. Bahkan Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam
terhadap BangsaNya sendiri, lewat mujizat yang terjadi atas orang non Israel:
janda Sarfaat di saat kelaparan hebat dan Naaman yang sakit disembuhkan karena
memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang asing non Israel diselamatkan karena mereka yang
dulunya dicap sebagai bukan bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa
terpilih oleh iman dan harapan dan kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang
Israel yang dulunya dikenal sebagai bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat
dari Tuhan karena kehilangan iman, harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang
Asing berjalan bersama Yesus sebaliknya Orang Israel berjalan bersama
egoismenya.
Introduksi
Perayaan Ekaristi :
Allah membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang
mengandung kita. Menjadi imam dan bruder bahkan sebagai awam pun telah
direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung
kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang
tua kita.
Kini kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di
dalam perjalanan panggilan hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk
kita sejak awal kekhidupan kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya
dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada kehendakNya.
Tuhan memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal
kehidupan yang berasal dari Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita
menyetir kendaraan perjalan hidup kita, entah ke kiri atau ke kanan atau
berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap
dan kasih, kita mengendarai kendaraan hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan
Yesus dalam suka maupun duka kita, bukan berdasarkan kesombongan yang
menghilangkan iman harap dan kasih kepada Tuhan Yesus.