Rabu, 10 September 2008
133 Tahun SVD dan Sumbangannya
Oleh : Ermalindus A Sonbay
---Pernah kuliah di STFK Ledalero----
TIDAK disangkal bahwa Serikat Sabda Allah (SVD/Societas Verbi Divini) berpengaruh besar dalam perkembangan dan pertumbuhan NTT, baik dalam relasi dengan teritori kepemimpinan publik/pemerintahan (politis) maupun sebagai wilayah misi SVD (religius). Untuk yang pertama SVD hadir sebagai mitra dialog begitu banyak pemimpin lokal dan nasional, yang asli NTT dan juga yang bekerja untuk NTT. Sedangkan yang kedua, SVD hadir dalam begitu banyak gembala, saudara dan rekan dalam pembentukan kehidupan iman umat yang konstan dan konsisten. Banyak anak NTT yang hidup dan berkembang baik karena di-nafas-i oleh SVD sebagai keseluruhan maupun orang perorang. SVD turut membantu perwajahan dan juga pertumbuhan NTT dalam pelbagai aspek, mulai dari perkembangan intelek, keterampilan, budaya, moralitas bahkan sampai pendampingan kategorial keluarga dan masih banyak lagi.
Beberapa nama pantas disebutkan, dua lembaga penelitian budaya besar, Chandraditya Maumere dan Mansen Sae Kupang, STFK Ledalero yang terkenal sebagai mesin produksi misionaris klerikal dan misionaris awam terbesar di dunia, sekolah-sekolah asuhan SVD seperti SMAK Syuradikara, STM Larantuka, STM Nenuk, juga Universitas Widya Mandira Kupang. Semuanya menjadi tempat-tempat monumental yang menyuarakan dengan baiknya kebebasan manusia atas berbagai pembelengguan. Banyak juga perbengkelan, perkebunan dan peternakan SVD yang mempekerjakan begitu banyak anak NTT yang juga memberi nilai plus bagi negeri komodo-kelimutu-cendana ini. SVD dengan demikian sukses mengawaki dan mengawal wajah NTT sejak masa pra-kemerdekaan, kemerdekaan, bahkan menuju 'kemerdekaan kedua' yang bernaung di bawah kebangkitan Indonesia untuk yang kedua kalinya ini.Namun, pencapaian ini tentu bukan posisi dan tempat yang tampan bagi SVD untuk beristirahat dan berhenti dari kegiatan-kegiatan pendampingan dan kerekanannya. Perjuangan untuk menenun wajah NTT masih panjang. Proses menjadi (in the making) NTT untuk menemukan makna dan karakteristik NTT serentak menyempurnakannya dengan pertanyaan Kantian, apa yang harus NTT buat (bukan sekadar apa itu NTT?) masih membutuhkan partisipasi dan kerekanan SVD dan berbagai elemen lain. Satu awasan yang diberikan pada ranah ini adalah kalau kerekanan ini ditiadakan dan hasil-hasil SVD tidak dilanjutkan dalam perjuangan yang konstan, maka ada kemungkinan rakyat (yang juga kebanyakan adalah umat gembalaan misionaris SVD) NTT akan tergerus dalam pelbagai peminggiran (marjinalisasi) dan pengasingan (alienasi) dalam pelbagai dimensi. Tenunan wajah NTT akan semakin buram kalau keterasingan religius yang ditakutkan akan berimbas pada terpasungnya kebebasan spiritual begitu banyak orang. Dostoievsky ketika menulis dialog antara inkuisitor agung dan Kristus dalam The Brothers Karamazov mengetengahkan bahwa kehancuran kebebasan manusia mengalami puncaknya ketika manusia tidak bebas lagi secara spiritual. Kebebasan spiritual dengan demikian harus menjadi niscaya serentak turut menentukan kebebasan manusia. SVD dalam kemitraan menuju langkah emansipatoris dan partisipatoris juga mesti terus berjuang untuk menghidupkan spirit menuju kebebasan spiritual. SVD tidak cuma bertanggung jawab dalam menghasilkan buku-buku doa yang luar biasa saja, tetapi juga 'ada bersama' dan terus berdialog dengan semua yang menjadi konsumen produk-produk briliannya. Rakyat NTT dalam kesederhanaan dan juga persatuannya membutuhkan lebih dari pada ikan dan kail. Ketika Juergen Habermas dan semua generasi kedua mazhab kritis menyuarakan kebebasan komunikatif yang juga menyentuh bagaimana cara berada di dunia versi Heidegger dengan in der welt sein-nya yang mengafirmasi eksistensi tentang tidak ada yang tersembunyi, SVD sebagai komunitas persaudaraan yang mengayomi dan mengakomodasi semua juga perlu menjalankan misi pewartaan yang transparan dan akomodatif. Misi SVD bukan untuk menekan rakyat dengan berbagai pendekatan primordialisme akali a la filsafat Eropa Barat, melainkan lebih kepada peran sebagai nabi yang berdialog dengan masyarakat NTT dengan jiwa besar dan penghargaan yang seimbang. SVD sekali-kali jangan mendatangkan dan menjadi candu bagi masyarakat, sebuah kehadiran yang menurut Marx semakin mengalienasi dan mendiskreditkan manusia ke titik-titik determinasi sejarah.Kehadiran dialog profetis SVD juga hendaknya semakin membangkitkan kepercayaan diri dan tekad untuk maju dan berkembang bagi NTT dengan segala potensi yang dimiliki. Bukan dengan penaburan harapan utopis, Nanti Tuhan Tolong, melainkan dengan kesadaran kritis akan peluang yang terbuka untuk bangkit, sebagai Nyala Terang Terbesar bagi Indonesia, bagi dunia. Iluminasi ini juga mengandaikan pembentukan kesadaran rakyat NTT tentang partisipasi dan emansipasi dirinya. Rakyat perlu disiapkan dalam kegembalaan untuk mengerti dan bertindak dengan baik dan benar dalam relasi dialog profetis yang dibangun. Kesadaran sebagai NTT juga mesti dibersihkan dari pelbagai prasangka, apalagi kecenderungan mengabadikan berbagai intrik dalam SVD in se maupun dalam relasi dialog yang dibangun, antara lain primordialisme yang diletakkan dalam sukuisme, kesamaan profesi, tingkat pendidikan, dan latar belakang lainnya. Semua umat/rakyat NTT harus diakomodasi dan diterima dalam persatuan yang mengayomi keberagaman. Kotak-kotak dan sekat-sekat yang merupakan racun bagi kebersamaan dan dialog profetis ini harus ditiadakan.Hal ini nantinya bisa berimplikasi pada pertumbuhan demokrasi yang sehat misalnya. NTT tidak akan terbuai dalam talking democracy saja melainkan juga mulai bisa menghidupi working democracy. NTT yang diteladani oleh misionaris SVD bukan tidak mungkin menjadi teladan bagi Indonesia dalam banyak hal. Tapi konstelasi ini tidak terutama pada popularitas NTT keluar, melainkan bagaimana NTT sebagai satu di antara begitu banyak yang bervariasi bisa kuat dalam perkembangan dan kemajuan yang sehat dan agamis (intern oriented). Sejatinya keterpaduan SVD dengan berbagai elemen agama, budaya, politik dan ekonomi lainnya juga harus ditentukan oleh sejauh mana pengaruh dialog profetis yang menggema pada murninya nurani bisa efektif bagi kesejahteraan dan kebaikan bersama. Parameternya adalah warna dialog profetis SVD boleh jadi harus hadir dalam ragam kehidupan dan kebersamaan NTT. Satu contoh, seandainya masih banyak koruptor di NTT apalagi mereka rekan-rekan dialog SVD dan bahkan mungkin dekat dalam relasi dengan SVD sebagai keseluruhan maupun per pribadi, artinya perjuangan penjernihan dengan basis dialog profetis belum maksimal bahkan mungkin perlu dievaluasi dan diperbaiki dalam banyak hal. Kalau masih ada pemimpin lokal yang represif dengan kebijakan dan senantiasa merugikan rakyat, maka aplikasi teologi yang kontekstual perlu juga membidik bagaimana membangun karakteristik NTT lewat sentuhan nilai kekristenan yang padu dalam diri pemimpin-pemimpin yang paling kurang sudah diakomodasi terlebih dahulu oleh Kristus sendiri dalam partisipasi dan dialog yang dibangunnya ketika menyuarakan keselamatan dan kebebasan yang sejati.Kalau kemiskinan, peminggiran, kebodohan dan beragam persoalan penyakit yang tak kunjung selesai di NTT tetap terpelihara, maka mungkin posisi SVD sebagai salah satu fundamen intelektual dan juga rekan NTT dalam pengentasan kemiskinan, kebodohan dan pelbagai ketimpangan sosial lainnya masi perlu dikaji ulang dengan pendekatan dialog yang lebih manusiawi serentak agamis. Dostoievsky dengan tegas melesakkan kritiknya bahwa antropodisi yang mengusung humanisme tanpa Tuhan adalah sesuatu yang sia-sia. Pemanusiaan NTT tetap membutuhkan kerekanan dalam saling membantu menuju keselamatan yang sesungguhnya. Dan di titik ini kiranya tidak terlalu cepat saya katakan bahwa dialog (profetis) yang menjadi warna khas SVD merupakan salah satu kanal ke arah itu. Profisiat dan selamat merayakan hari jadi yang ke-133 untuk SVD. Ad multos annos!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar