KEWIBAWAAN PEWARTA
Flm 7-20; Luk 17:20-25
Kotbah Misa Harian,
Kamis 15 November 2012,
Di Soverdi Surabaya
(P. Benediktus Bere Mali, SVD)
KETIKA
BAHASA AGAMA RONTOK, demikian judul artikel Opini, karangan AHMAD SYAFII
MAARIF, dalam Kompas, Rabu, 14 November 2012, p.6. Isinya
tentang kekalahan partai yang berlabel agama, dalam kampanye pilkada cawagub
DKI beberapa waktu lalu.
Kekalahan itu karena bahasa agama yang
digunakan dalam kampanye bukan lahir dari kesaksian hidup tetapi hanya
berteori. Kembalikan kewibawaan bahasa agama adalah dengan mengkonkretkan
bahasa agama memihak orang kecil, sebagai visi dasar partai berlabel keagamaan.
Atau dapat merangkum isi artikel itu
dalam pertanyaan dan jawaban sebagai berikut. Apa perbedaan antara bahasa agama rontok
dengan bahasa agama berwibawa? Perbedaannya adalah terletak di dalam penjelasan
sebagai berikut. Bahasa agama yang berwibawa adalah bahasa agama yang
disampaikan dalam kata-kata yang lahir dari pelaksanaan atau kesaksian hidup
berdasarkan keimanan yang berkemanusiaan dan kemanusiaan yang berkeimanan.
Kesaksian hidup itu adalah hidup dan kehidupan setiap hari, yang selalu memihak
orang kecil yang menjadi fokus agama. Sedangkan bahasa agama yang rontok,
adalah bahasa yang indah dalam ungkapannya, tetapi realitas pelaksanaannya jauh
dari visi dan misi agama yang mengutamakan keselamatan universal.
"Kerajaan
Allah sudah ada di antara kamu." Ini adalah bahasa agama. Kerajaan Allah
adalah nilai keadilan, kebenaran , kebaikan, kedamaian dan kesejahteraan dan
kebahagiaan. Bahasa agama ini akan berwibawa kalau orang yang beragama yang
mewartakan Kerajaan Allah itu terlebih dahulu menghidupi Kerajaan Allah itu di
dalam diri sendiri sebagai basis pergi mewartakan khabar sukacita Injil kepada
dunia sejagat. Sebaliknya Kerajaan Allah yang adalah bahasa keagamaan itu akan
rontok kalau seorang pembicara, hidupnya tidak bermoral, dan tidak beretika.
Contoh. Seorang pengkotbah berkotbah
setiap kali memimpin Perayaan Ekaristi. Kata-katanya yang bersumberkan bahasa
keagamaan atai Kitab Suci itu akan kehilangan kewibawaannya kalau hidup
pengkotbah itu tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti luhur. Sebaliknya
pengkotbah yang berwibawa adalah bahasa keagamaan yang diucapkannya itu lahir
dari kesaksian hidupnya sendiri.
Misalnya, seorang ketua lingkungan yang
saleh, sopan, jujur, rajin dan disiplin menjalankan hidup dan tanggungjawabnya
sebagai ketua lingkungan, akan disegani serta selalu menerima respek dari
anggota lingkungannya karena dia memiliki kewibawaannya dalam kata dan
perbuatan. Sebaliknya seorang ketua lingkungan yang hidup moralnya merosot,
tentu tidak akan menerima respek yang dalam, dari anggota umat selingkungan.
Apakah
Anda memiliki kewibawaan dalam mewartakan Injil?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar