Jumat, 01 Februari 2008

Refleksi Seabad Wafat Santo Joseph Freinademetz SVD

Refleksi-refleksi untuk Peringatan Seabad Wafatnya St. Joseph Freinademetz SVD Disiapkan oleh Pater. Pietro Irsara, SVDDirektur Rumah Leluhur dan Tempat Ziarah St. J. Freinademetz, di Oies, Badia, Italy dipublikasikan tgl. 25. Oktober 2007 klik di sini untuk format PDF "Tahun-tahun hidup saya begitu cepat berjalan menuju kesudahan. Hal ini membuat seorang merasa sedih secara mendalam karena tidak menggunakan dengan lebih baik serangkaian tahun berahmat dalam hidupnya di kebun anggur Tuhan; setidak-tidaknya, seorang ingin bangkit pada saat-saat terakhir dan bekerja dengan kekuatan penuh selama masih ada waktu. Doa-doa tulus Anda membantu saya." Joseph Freinademetz kepada Theodor Buddenbrock, Feb. 1907 Kata Pengantar Pater Joseph Freinademetz, meninggal dunia karena demam tifus pada tanggal 28 Januari 1908, di Taikia, Rumah Pusat Misionaris Serikat Sabda Allah di Shantung Selatan. Dia sudah sangat letih dan tidak mempunyai sisa kekuatan untuk melawan penyakit menular tersebut. Dua hari sebelum wafatnya, Pater Theodore Bücker, atas nama semua misionaris, meminta berkatnya seraya berkata: "Kami berjanji untuk setia meneruskan karya misi dalam semangat Anda". Dengan menebar senyum di wajahnya, beliau menjawab: Anda ingin berkarya terus dalam semangatku? Padahal sejauh ini saya belum mengerjakan semuanya dengan baik ". Freinademetz berusaha mencintai dan melayani Allah dan manusia dengan segenap hatinya dan dengan segenap jiwanya. Dia memahami bahwa hidupnya merupakan suatu ibadah bagi Allah. Pelayanannya yang singkat di tanah airnya, dan pelayanan bertahun-tahun di Cina hanya mempunyai satu tujuan: kemuliaan Allah. Pernyataan sederhana pada akhir hidupnya "Sejauh ini saya belum mengerjakan semuanya dengan baik. Kini kita benar-benar dapat mengatakan bahwa Pater Freinademetz tidak mencari kemudahan bagi dirinya dan menunaikan karya misionernya dengan baik. Dia adalah seorang misionaris sejati. Refleksi-refleksi singkat berikut ini bertujuan untuk membantu kita dalam persiapan rohani untuk peringatan seabad wafatnya St. Joseph Freinademetz. Semoga dapat membantu kita untuk merefleksikan hidup kita, karya kita sebagai Misionaris Sabda Allah, relasi kita dengan Allah dan misi kita.In den folgenden Abschnitten wird vor allem zitiert aus: 1. Augustinus Henninghaus, P. Jos. Freinademetz S.V.D., Sein Leben und Wirken, Zugleich Beiträge zur Geschichte der Mission in Süd-Shantung, Yenchowfu, Verlag der katholischen Missionen 1920, 633. 2. Fritz Bornemann, Der selige P.J.Freinademetz 1852 – 1908, Ein Steyler China-Missionar, Ein Lebensbild nach zeitgenössischen Quellen, Analecta SVD – 36, Rom 1976. Edisi berbahasa Inggris: As Wine Poured out: Blessed Joseph Freinademetz SVD Missionary in China 1879-1908, Rome: Divine Word Missionaries, 1984. 3. Fritz Bornemann (Hsg.), Der ehrwürdige Diener Gottes Josef Freinademetz, Berichte aus der China-Mission, Rom 1974 (pertama diterbitkan sebagai Analecta SVD 27, 1973). 4. P. Pietro Irsara SVD (Hsg.), Lettere di un santo, Giuseppe Freinademetz, L'amore per il prossimo, la famiglia e la Badia (Suatu koleksi surat-surat original berbahasa Italia). Refleksi 1:Mengucapkan "Selamat Tinggal" Dalam musim panas tahun 1878, tibalah saat bagi Josef Freinademezt untuk mengucapkan selamat tinggal pada lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik, kepada orang tua, sanak saudara dan sahabat-sahabat, pada kebiasaan kehidupan dimana dia tumbuh; selamat tinggal pula pada hidup yang telah dipersiapkannya sekian lama yaitu rasa aman dan hangat rumah paroki dan tugasnya sebagai asisten pastor paroki yang sangat dia senangi. Mengucapkan selamat tinggal berarti pergi, meninggalkan apa yang sampai saat itu penting, yang memenuhi dan memberi makna pada kehidupan Joseph Freinademetz. Mengapa dia melakukan semuanya ini, apa yang menggerakkannya? Tahukah dia tentang apa yang sedang dia lakukan, dan kehidupan apa yang menantinya? Pada hari Minggu, tanggal 11 August, 1878, dia minta pamit dengan paroki St. Martinus di Thurn, dimana dia mengabdi sebagai asisten pastor paroki dan guru sekolah dasar. "Gembala Ilahi yang baik dalam kemurahan hati-Nya yang tak dapat diduga, mengundang saya untuk pergi bersama Dia ke padang gurun untuk membantu-Nya mencari domba yang hilang. Apa yang mesti saya perbuat selain mencium tangan-Nya dengan sukacita dan rasa syukur dan berkata dalam kata-kata Kitab Suci: Lihatlah aku datang!" dan dengan Abraham meninggalkan rumah ayahku, tanah air dan Anda sekalian yang kucintai dan pergi ke tanah yang akan ditunjuk Tuhan bagiku. Seminggu kemudian, di gereja parokinya St. Leonardus, Joseph mengatakan: Saya tidak menyangkal bahwa sangat sulit bagiku untuk meninggalkan orang tuaku dan begitu banyak penderma dan sahabat-sahabat. Namun pada akhirnya, manusia tidak diperuntukkan untuk dunia ini. Dia diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar: tidak untuk menikmati hidup, tetapi untuk bekerja kemanapun Tuhan memanggilnya." Joseph Freinademetz tidak mencari pengorbanan diri, dia tidak mengikuti keinginan besar untuk berpetualang atau nafsu berkelana romantis. Joseph Freinademetz merasa terpanggil, dia menerima sebuah undangan – dan seperti Abraham dia pergi untuk mengadakan sebuah perjalanan. Sulit baginya untuk berpisah dan mengucap selamat tinggal tetapi dia tidak ragu-ragu karena yakin bahwa dia akan menempuh perjalanan menuju tanah yang akan ditunjuk Allah baginya, seperti apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Abraham. Dia pergi untuk melaksanakan kehendak Allah dan dengan demikian dibimbing untuk menemukan dirinya sendiri dan kepenuhan hidup.Perasaan batin Joseph terungkap dengan sederhana dan jelas dalam suratnya pada tanggal 18 Februari 1879 kepada Franz Thaler, sahabat dan penderma dari Sottrù, sebuah desa kecil tetangga Oeis, beberapa hari sebelum upacara keberangkatan di Steyl. "… Sahabatku yang terkasih, terkadang saya merasa sulit untuk tinggal jauh dari mereka yang sangat kukasihi, untuk meninggalkan tempat asalku, yang telah memberiku banyak teman dan kegembiraan, dan untuk mencari rumah baru dimana seorang harus mulai dari awal seperti anak kecil memulai hidup baru, dimana seorang harus belajar bahasa-bahasa yang sangat sulit dan mengenal orang-orang yang mempunyai minat dan adat kebiasaan yang secara total berbeda Sulit bagiku untuk memulai hidup setelah sangat bahagia di antara kalian para Ladins. Dan dengan sangat jujur saya mau mengatakan hal ini kepadamu: Saya tidak akan pernah melakukan hal seperti ini untuk memperoleh sesuatu di dunia, bahkan tidak untuk jutaan dunia sekalipun. Tetapi saya sangat bahagia dan puas bahwa saya dapat melakukan semuanya untuk Tuhan yang baik, sekalipun saya berjumpa dengan kematian untuk sekian juta kalinya. Dan saya yakin, rahmat-Nya tak akan meninggalkan saya. Satu-satunya yang kuinginkan adalah membawa sangat banyak saudara kita yang miskin kepada-Nya. Hanya dengan alasan inilah saya meninggalkan ayah, ibu, saudara-saudari, sanak keluarga dan sahabat-sahabat, dan diantara mereka Anda dan paroki St.Martinus yang kucintai mempunyai salah satu tempat utama dalam hatiku." Quellen: Bornemann p. 40f. und p. 546 (Original in Italienisch: Lettere p. 15f.) Untuk refleksi: Joseph Freinademetz meninggalkan tanah airnya, bukan mencari tanah air baru. Dia tetap orang "tanpa negara", dan bahkan kemudian di tengah orang-orang Cina yang sangat dicintainya, dia merasa seorang asing. Alasan mengapa dia "mengadakan perjalanan" adalah imannya, iman yang memberinya jaminan bahwa dia akan menemukan rumahnya dalam Allah, bahwa dia akan dinaungi "di bawah kepak sayap-Nya" seperti dikatakan oleh pemazmur. Surat pertama Petrus 2:13 menyatakan: Saudara-saudariku yang kukasihi, kamu adalah pendatang dan perantau," "Pada akhirnya, manusia tidak diperuntukkan untuk dunia ini "kata Feinademetz yang masih muda itu kepada umat parokinya. Dalam hidupku, hal-hal apa yang mungkin telah kutinggalkan dengan rasa sakit, yang telah kuucapkan 'selamat tinggal'? Dimanakah aku merasa 'at home' dan dilindungi? Apakah aku sedang berada dalam perjalanan menuju "tanah" yang ingin Allah tunjukkan kepadaku, seperti Abraham dan Freinademetz? Apakah saya mencari tahu tentang tanah ini, apakah saya mencarinya? Ketika Freinademetz pamitan dari paroki St. Martinus, dia mengatakan: "Demi kerahiman Allah yang tak berkesudahan, yang memilih orang lemah sebagai alat-Nya, saya berharap dapat ikut ambil bagian dari rahmat yang mana saya tidak pantas memperolehnya untuk keabadian", ############################################### Refleksi-refleksi untuk Peringatan Seabad Wafatnya St. Joseph Freinademetz SVD Disiapkan oleh Pater. Pietro Irsara, SVDDirektur Rumah Leluhur dan Tempat Ziarah St. J. Freinademetz, di Oies, Badia, Italy dipublikasikan tgl 30 November ,2007 klik di sini untuk format PDF "Tahun-tahun hidup saya begitu cepat berjalan menuju kesudahan. Hal ini membuat seorang merasa sedih secara mendalam karena tidak menggunakan dengan lebih baik serangkaian tahun berahmat dalam hidupnya di kebun anggur Tuhan; setidak-tidaknya, seorang ingin bangkit pada saat-saat terakhir dan bekerja dengan kekuatan penuh selama masih ada waktu. Doa-doa tulus Anda membantu saya." Joseph Freinademetz kepada Theodor Buddenbrock, Feb. 1907 Refleksi 2:Hidup dalam kekecewaan Joseph Frienademetz, seorang misionaris muda, menginjakkan kakinya di tanah Cina dengan Te Deum di bibirnya dan dengan hatinya yang berdebar-debar karena sukacita. Tetapi yang dia alami dan harus dihadapi pertama kalinya adalah kekecewaan-kekecewaan yang pahit. Dia sungguh-sungguh tiba "di sebuah tanah asing". Di tanah asalnya, dia sangat dihargai dan dihormati sebagai imam dan diterima dengan baik sebagai seorang pribadi. Tetapi disini orang-orang dengan sikap ingin tahu memandang wajahnya dan mengamati tingkah laku Eropanya. Rupanya tidak seorangpun yang tertarik mengetahui mengapa dia berada di tempat ini. Kesepian mulai mempengaruhi pikirannya Joseph. Segala sesuatu sangat berbeda dengan harapannya. Pikirannya melayang kembali ke rumahnya dan dia menulis: "Apa yang saya lihat, dengar dan alami hari demi hari, seringkali bertentangan dengan keyakinan yang saya pegang sampai saat ini". Tetapi apa yang sama sekali tidak dapat dimengertinya dan yang paling pahit baginya adalah sikap acuh tak acuh terhadap iman. Rupanya tidak seorang pun yang lapar akan roti kebenaran dan rahmat. Dia tidak menemukan sesuatupun yang lazim. Sebagai orang dari jamannya dan dengan latar belakang Eropanya, tidak ada ruang baginya untuk memahami budaya dan cara hidup asing: "Seorang hampir belum dapat berjalan sepuluh langkah tanpa menjumpai wajah-wajah yang meringis dengan jahat dan aneka bentuk kejahatan. Udara yang dihirup sama sekali kafir. Tidak ada inspirasi yang datang dari luar; tidak ada kata-kata yang mendorong, tidak ada keteladanan yang dijumpai. Tidak terdengar bunyi lonceng gereja, tidak ada pesta religius, tidak ada prosesi khidmat yang menyentuh hati; pada umumnya kapela-kapela dihiasi sama pada hari Jumat Agung dan Minggu Paskah. Tidak ada perbedaan antara Natal dan hari Rabu Abu secara lahiriah; dan dimana-mana orang banyak yang sama, tak henti-hentinya bergerak kian kemari secara ramai. Joseph sendiri melukiskan dua tahun pertamanya di misi sebagai "Novisiat misi". Dua tahun tersebut merupakan sekolah yang keras baginya karena dua pertanyaan eksistensial yang muncul: Untuk apa dia meninggalkan rumahnya? Sungguhkah negeri Cina yang ingin ditunjukkan Allah kepadanya? Mungkin saja Joseph menghabiskan banyak waktu untuk berpikir, bermeditasi, bergulat dengan diri sendiri dan berdoa sebelum dia dapat menulis kalimat yang bernada mistik berikut ini: "Kesunyian dan kesepian dengan cara yang unik berbicara dalam hati seorang misionaris, dan semakin kita sendirian, Allah semakin dekat, dan seorang misionaris tidak tahu apakah dalam situasi tersebut dia akan menangis karena sakit hati ataukah bersorak-sorai karena sukacita yang besar, maka dia melakukan keduanya".Kesulitan-kesulitan pada awal hidup misionernya tidaklah cukup. Berulang kali kekecewaan melintas pada jalan hidupnya: "Pada musim semi tahun 1890, dia mengalami sesuatu yang menurutnya paling menyedihkan dalam hidup misionernya. Dua ratus katekumen batal dibaptis karena katekis yang dibaptisnya sendiri dan dipekerjakannya, berhasil membujuk mereka untuk murtad dan menghasut mereka untuk melawan Pater Freinademetz. Inilah kekecewaan yang sangat pahit, namun dia tahu menguasai diri. Tidak lama kemudian katekis tersebut bersikap sulit sehingga sebagian besar katekumen kembali pada imannya." Menjelang akhir hidupnya, ketika kesulitan-kesulitan fisik berkurang, penganiayaan berakhir, dan kesepian bukan lagi masalah karena kasih sayang dan kesetiaan umat Kristen, kedatangan banyak konfrater, serta misi yang sedang berkembang, Freinademetz menjadi takut bahwa bunga-bunga yang sudah nyata secara cepat menjadi layu, karena terasa adanya tingkah laku tidak beriman dari gelombang arus orang-orang Eropa. Dia mengeluh tentang hal ini dalam surat kepada anak baptisnya pada tanggal 28 Mei 1902: "Saat ini kami hidup dalam damai di Cina, dan sekali lagi banyak yang menjadi Kristen. Momok utama bagi kami dan orang-orang Cina miskin adalah banyaknya orang Eropa tanpa iman dan tabiat kurang baik mulai membanjiri Cina. Ya, mereka adalah orang Kristen tetapi mereka lebih buruk daripada orang-orang kafir. Mereka tidak ada pikiran lain kecuali memperoleh banyak uang dan kenikmatan duniawi; mereka adalah orang-orang malang!" Dia membela orang-orang Cinanya: "Orang-orang Cina tidak bermusuhan dengan agama, dan seandainya orang Eropa bersikap Kristiani dan seharusnya demikian, saya yakin seluruh negeri Cina akan menjadi Kristen… angin yang datang dari Eropa sangat dingin dan jahat; sehingga adanya ketakutan bahwa orang-orang Cina akan tetap kafir dan bahkan lebih buruk daripada kaum kafir." Sebulan sebelum kematiannya, dia menulis dengan rasa pahit: Contoh buruk dari mereka yang datang di Cina menjadikan mereka (orang-orang Cina) acuh tak acuh terhadap agama atau bahkan musuh agama Kristen."References: Bornemann p.52; Berichte pp.37, 39f., 41; Nova et Vetera (internal SVD publication) p.1091; letter to his godchild Franz Thaler, China, 28. 05. 1902, Lettere p. 86f.; letter to Elisabetta Thaler, Yenfu, 23. 01. 1907, Lettere p. 93; letter to Elisabetta Thaler, 26. 12. 1907, Lettere p. 96; Untuk refleksi: Kekecewaan dan krisis merupakan bagian kehidupan kita. Kekecewaan mengecilkan hati kita, merintangi mengalirnya kehidupan dan menyebabkan hal-hal tertentu tidak berkembang. Tetapi kekecewaan itu justru penting karena memaksa kita untuk berhenti sebentar, berefleksi dan menjadikannya sebagai peluang; menantang kita untuk mempertimbangkan cara-cara lain, memberanikan diri untuk mencari terobosan baru. Allah membiarkan kita mengalami krisis yang tidak dapat diatasi dengan doa dan latihan kesalehan saja. Bagi orang beriman, krisis merupakan tantangan yang memaksa kita untuk berefleksi dan memunculkan kemampuan yang tersembunyi dalam diri kita guna memajukan perkembangan kepribadian kita. Iman tidak menyembuhkan persoalan dan kesulitan tetapi memberi kekuatan serta keberanian untuk melihat masalah sebagaimana adanya. Apakah saya menerima bahwa Allah bertindak dengan cara berbeda, daripada apa yang saya harapkan dan inginkan merupakan soal iman. Seringkali Allah mengatur sesuatu sedemikian rupa sehingga melalui kekecewaan, krisis dan penderitaan, saya sampai pada suatu relasi dengan-Nya yang tidak mungkin terwujud tanpa pengalaman yang tidak menyenangkan. Apakah aku sanggup melihat bahwa rintangan-rintangan dalam hidup dapat membuat diriku terbuka terhadap kehadiran Allah yang melingkungi aku?Dapatkah aku mengerti bahwa krisis yang datang dari Allah merupakan perwujudan cinta yang dapat mendewasakan dan memperkaya hidupku? ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Refleksi-refleksi untuk Peringatan Seabad Wafatnya St. Joseph Freinademetz SVD Disiapkan oleh Pater. Pietro Irsara, SVDDirektur Rumah Leluhur dan Tempat Ziarah St. J. Freinademetz, di Oies, Badia, Italy dipublikasikan tgl 1 Januari 2008 klik di sini untuk format PDF "Tahun-tahun hidup saya begitu cepat berjalan menuju kesudahan. Hal ini membuat seorang merasa sedih secara mendalam karena tidak menggunakan dengan lebih baik serangkaian tahun berahmat dalam hidupnya di kebun anggur Tuhan; setidak-tidaknya, seorang ingin bangkit pada saat-saat terakhir dan bekerja dengan kekuatan penuh selama masih ada waktu. Doa-doa tulus Anda membantu saya." Joseph Freinademetz kepada Theodor Buddenbrock, Feb. 1907 Refleksi 3:Kebaikan yang Menarik Hati"Kelembutan dan kebaikan hatinya, memancarkan daya tarik yang memenangkan hati mereka yang berkontak dengannya". Inilah cara Uskup Henninghaus menggambarkan Joseph Freinademetz dan beliau melanjutkan: "Acapkali matanya bersinar dengan kebaikan yang memesona, dengan ketenangan yang begitu menyejukkan, sehingga orang-orang Cina dengan mudah percaya padanya dan merasa krasan dengannya". Meskipun bahasa dan ungkapan-ungkapan pada awal abad ke duapuluh rupanya berlebihan-lebihan untuk masa kini, tidak dapat diragukan bahwa Freinademetz memiliki "kebaikan hati dan kebajikan yang tak mengenal lelah" dan dikaruniai kesabaran tak habis-habisnya, memancarkan sikap cinta luhur dan tidak mementingkan diri sendiri".Henninghaus mengutip ucapan orang-orang Kristen Cina tentang Freinademetz: "Kebaikan hati tidak pernah meninggalkannya, bahkan pada saat dia "menegur dan memberi hukuman", sekalipun "tuntutannya tidak kecil" terhadap para konfrater dan umat Kristen. Bila pada situasi tertentu dia bersikap keras dan marah, kata-katanya mengguncang orang-orang sedalam-dalamnya. Dengan jelas dia tidak pernah terbawa oleh emosi untuk menggunakan hukuman badani. " Tangan-tangan seorang imam diperuntukkan untuk memberkati dan bukan untuk memukuli", merupakan salah satu prinsip hidupnya.Semakin lama Freinademetz tinggal dan berkarya di antara orang Cina, semakin dia mengerti mereka dan cara hidup mereka, dan semakin nampak pola watak kepribadian dirinya. Uskup Henninghaus menghubungkan " sikap ramahnya yang menyenangkan dan menenangkan itu" pada sifat dasarnya dan juga pada sebuah alasan yang lebih mendalam yaitu pemurnian "Wataknya telah dimurnikan dalam sekolah Hati Kudus Yesus sehingga menjadi emas murni kemurahan hati adikodrati, dan dalam sekolah tersebut dia memperoleh penguasaan diri sehingga suasana hati dan lingkungan pun tidak mempengaruhinya."Bapak Uskup, menekankan pula bahwa Freinademetz juga mengalami "hari-hari sedih". Dia yakin bahwa Freinademetz cukup sering mengalami saat-saat dimana dia dapat berkata bersama Pemazmur: "Aku mencampuri menumanku dengan tangisan" (Mzm. 102, 10).Dia tidak menuntut sesuatu dari sesama atas kekecewaan, kegagalan dan kejengkelan. Sikap tidak mementingkan diri yang menyebabkannya bersikap demikian karena sikap tersebut merupakan " inti karakternya". "Tidak menolak permintaan sesama, tidak menuntut sesuatu untuk diri sendiri" adalah salah satu prinsip hidupnya yang lain. Pater Johannes Blick SVD mengutip ucapannya: "Orang-orang kafir hanya dapat dibawa kepada iman Kristiani oleh rahmat Allah, dan dengan cinta kita," karena "bahasa cinta merupakan bahasa asing yang dapat dimengerti oleh orang-orang kafir". Freinademetz dengan nyata telah belajar berbicara dengan sangat baik "bahasa asing" itu. Sumber: Henninghaus hal. 69, 77f., 81, 82, 83; Erinnerungen hal. . 99; Untuk refleksi: Seorang teman kelas Freinademetz di Brixen, Fr. Mair, CSsR, menggambarkan dia sebagai berikut: "Saya tidak dapat menemukan gambaran lain tentangnya selain ini: Freinademetz adalah penjelmaan kedua belas buah Roh Kudus, kepribadiannya memancarkan kebijakan adikodrati yaitu ketenangan. Semangat cinta, sukacita mendalam, kedamaian batin, kelembutan, dan kesopanan dengan jelas terpancar dalam hidupnya". Apa pengaruh sikap hidup Joseph bagi diriku?Apakah aku akan mengusahakan kebajikan-kebajikan tersebut?Kita tahu dari pengalaman sehari-hari, betapa sulitnya menunjukkan pengertian dan cinta yang sabar terhadap sesama. Dapatkah teladan orang kudus ini mendorong dan membantu kita untuk melatih diri dalam cinta dan kebaikan hati yang terwujud dalam pelayanan tanpa pamrih? Bagaimana sikapku terhadap orang yang bersikap acuh tak acuh dan yang sama sekali tidak menunjukkan cinta padaku? Iman tidak menyembuhkan persoalan dan kesulitan tetapi memberi kekuatan serta keberanian untuk melihat masalah sebagaimana adanya. Apakah saya menerima bahwa Allah bertindak dengan cara berbeda, daripada apa yang saya harapkan dan inginkan merupakan soal iman. Seringkali Allah mengatur sesuatu sedemikian rupa sehingga melalui kekecewaan, krisis dan penderitaan, saya sampai pada suatu relasi dengan-Nya yang tidak mungkin terwujud tanpa pengalaman yang tidak menyenangkan. Apakah aku sanggup melihat bahwa rintangan-rintangan dalam hidup dapat membuat diriku terbuka terhadap kehadiran Allah yang melingkungi aku?Dapatkah aku mengerti bahwa krisis yang datang dari Allah merupakan perwujudan cinta yang dapat mendewasakan dan memperkaya hidupku?

Melayani dalam Hal Kecil dengan Sepenuh Hati

hari ini kamis 31 Januari 2008, 9 frater menerima tahbisan diakonat dari Mgr. Herman Yosef Pandoyo Putro, O Carm di Katedral Malang. 9 Frater itu adalah Fr. Agus Yustinus SVD, Fr. Emut SVD dan Fr. Markus Situmorang, SVD, 3 lagi dari Ordo Carmel dan 3 dari SMM. Ada tiga hal yang sempat direkam penulis tentang diakon sebagai pelayan: 1. Para diakon menjadi pelayan berangkat dari bekal yang telah dimiliki dan di dalami selama masa formasi. Kharisma ordo dan spiritualitas Serikat sebagai kekayaan untuk melaksanakan tugas perutusan sebagai seorang diakon 2. Mendalami iman yang rasional selama pendidikan di STFT adalah satu kekayaan tersendiri sebagai modal bagi kelancaran tugas karya pelayanan. 3. Menghidupi point satu dan dua di atas dalam sebuah relasi yang mendalam dengan Tuhan dalam Doa sebagai kekuatan bagi tugas pelayanan kepada sesama. Dalam sambutan, Diakon Markus Situmorang SVD di komunitas Seminari Tinggi SVD "Surya Wacana" Malang, menyampaikan bahwa hakekat diakon adalah menjadi pelayan sabda, altar dan karya amal. Pekerjaan dan pelayanan sesederhana apapun adalah mulia dan suci. Maka jangan pikir yang muluk-muluk, tetapi melayanilah dalam hal sederhana, kecil dengan sepenuh HATI. Apakah kita masih ingat pesan - pesan iman ketika dithabis menjadi diakon? Atau pesan itu sudah mulai susut termakan oleh usia kita? Hehehehe.. ini merupakan penggemaan kembali pesan tahbisan diakonat yang pernah kita alami.....