Sabtu, 02 Maret 2013

Baek Sonde Baek Tanah Timor Lebih Baek


BAIK TIDAK BAIK
ORANG TUA KANDUNG LEBIH BAIK
Homili Sabtu 2 Maret 2013
Mikha 7 : 14 – 15.18-20
Mzm 103 : 1 – 4. 9-12
Luk 15 : 1 – 3 . 11 – 32

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Sebuah keluarga memiliki enam anak. Orang tuanya berwatak keras tidak mau mengalah dalam mengemukakan pendapat. Orang tua selalu menempatkan diri sebagai yang menang dalam berkomunikasi dengan seluruh anggota keluarga. Anak-anak ketika masih kecil masih mengikuti perkataan dan perintah orang tua. Ketika anak mulai meginjak masa remaja saat memasuki pendidikan setingkat SMA dan pergurun tinggi, orang tua yang senantiasa merasa yang menang mulai ditantang dengan sikap kritis anak-anak. Anank-anak dengan sikap kritisnya juga tidak mau mengalah berhadapan dengan orang tuanya. Anak keras pendirian. Orang tua keras pendirian. Memang tepat dikatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Pohon orang tua yang keras pendirian melahirkan anak-anak yang keras pendiriannya juga. Konflik senantiasa terjadi di dalam keluarga itu. Bahkan anak lari meninggalkan orang tua dari rumah dan pergi ke keluarga terdekat.
Pengalaman anak tinggal bukan serumah dengan kedua orang tua punya cerita tersendiri. Awal hidup dengan orang lain selalu memberikan yang menarik. Seminggu kemudian, anak mulai merasakan aneka penolakan dari tempat tingal itu. Penolakan itu mulai dari sikap, ekspresi raut wajah dan bahkan dengan kata – kata dari anggota keluarga terhadap anak yang bukan anak kandung dalam rumah tersebut. Anak itu merasa serba sunkan untuk makan, bicara, dan berekspresi secara bebas di dalam keluarga baru itu. Ia seolah-olah menempatkan diri sebagai orang yang tidak keras kepala seperti di rumah orang tua kandungnya. Selama kurang lebih sebulan tinggal dengan orang lain, anak itu mulai sadar dan berkata dalam hati “baik tidak baik keluarga orang tua kandung lebih baik. Jelek tidak jelek, keluarga asing lebih jelek.”  Kesadaran itu lahir dari pengalaman sekian lama meninggalkan keluarga orang tua kandung dan pergi tinggal bersama keluarga asing.
Kesadaran itu kemudian membimbing anak itu berpamitan dengan keluarga asing itu dan kembali kepada rumah asalnya yaitu rumah kedua orang tua kandung. Ketika tiba di rumah, anak itu memeluk kedua orang tuanya dan dengan meneteskan air mata berkata kepada kedua orang tuanya : “baik tidak baik keluarga bapa dan mama kandung lebih baik. Jelek tidak jelek keluarga asing lebih jelek”. Orang tua yang dulunya selalu konflik dengan anaknya dengan penuh harapan dan cinta menerima anaknya di dalam rumahnya. Anak pun mulai saat itu menghargai kedua orang tuanya. Pendidikan tinggi anaknya membuat pola pikir anak berubah dalam berkomunikasi dengan orang tua yang keras pendirian. Anak yang berpendidikan menempatkan diri pada posisi mengalah dan dengan ketenangan memberikan nasihat pada orang tua pada saat yang tepat sehingga arang tua pun semakin menyadari kelemahan dan kekurangannya. Dengan demikian dari hari ke hari terjadi kemajuan yang baik di dalam keluarga itu.
Injil hari ini adalah berbicara tentang kepergian anak bungsu meninggalkan rumah kedua orang tuanya setelah meminta harta kekayaan yang menjadi bagiannya dari orang tuanya. Orang tua pun bukan melarang anak bungsu tetapi membiarkan anaknya pergi meninggalkan rumah orang tua kandung dan tinggal di mana saja dia suka menggunakan harta yang telah diterimanya. Rupanya kedua orang tuanya menggunakan prinsip “jelek tidak jelek rumah orang asing lebih jelek” atau kedua orang tua memakai prinsip “baik tidak baik rumah arang tua kandung lebih baik”. Orang tua melepaskan anak bungsunya pergi dan membiarkan anaknya belajar dari pengalaman tinggal dengan orang asing, dan menemukan sendiri bahwa “baik tidak baik rumah orang tua kandung lebih baik”.  Paradigma yang digunkan orang tua dalam perumpamaan ini benar.
Anak pergi membawa uang yang telah orang tua berikan kepadanya. Anak keluar dari rumah sudah memiliki kuasa penuh untuk menentukan seluruh arah hidupnya sesuai dengan harta yang menjadi bagiannya yang telah diberikan kedua orang tuanya. Tiba di tempat baru yang dituju, ia hidup berpesta pora dan bahkan jatuh dalam dunia pelacuran. Orang tua membiarkan anaknya mengalami semuanya itu.
Kesempatan berpesta pora semakin hari semakin berkurang. Dana untuk hidup berfoya-foya pun semakin lama semakin menipis hingga pada titik tertentu, anak itu kehabisan uang sama sekali sehingga makan pun dia harus ke kandang babi makan bersama makanan babi. Semakin lama semakin tersadarkan oleh pengalaman tinggal jauh dari kedua orang tua. Paradigma “baik tidak baik rumah orang tua kandung lebih baik” menjadi nyata di dalam pikirannya. Dia pun berdasarkan pandangan di atas bangkit meninggalkan kandang babi menuju rumah Bapa dengan aneka perasaan yang menghantui dirinya. Dia takut kepada saudara dan saudarinya menolak dirinya karena jatah harta untuknya tidak disediakan lagi oleh kedua orang tua. Dia takut kedua orang tuanya tidak menerimanya lagi sebagai anak kandungnya. Dia takut kalau toh semua keluarga kandungnya menolaknya, dia harus ke mana lagi.  Dalam aneka perasaan dan prasangka yang menghantui dirinya, dia memutuskan pergi ke rumah Bapa.
Dia tiba di rumah, semua prasangkanya tidak terbukti. Justru orang tua dengan penuh kerinduan buah hatinya telah lama pergi meninggalkan rumah induk, kembali ke pangkuan rumah orang tua kandung. Kedua orang tua menerimanya dengan penuh pesta pora. Kedua orang tuanya memberikan pakaian yang istimewa. Semua yang diberikan kepadanya adalah yang terbaik dari kedua orang tuanya.
Orang tua yang melahirkan. Sejahat apapun anak, anak tetaplah buah kasih kedua orang tua. Orang tua tetap memberikan kasihNya yang total kepada anaknya. Kedua orang tua bersyukur karena anaknya telah berubah berdasarkan pengalaman sebagai guru yang paling bijaksana. Anak dengan pengalaman itu diteguhkan secara sungguh bahwa “baik tidak baik kedua orang tua kandung lebih baik. Baik tidak baik rumah sendiri lebih baik.”  Pengalaman anak itu membawa anak menyatukan satu pemahaman bahwa “baik tidak baik rumah orang tua kandung lebih baik.”
Pengalaman yang adalah guru yang paling bijaksana itu membuat anak itu berpikir berkali-kali untuk tidak melakukan dosa dan pelanggaran yang sama yang mengantar dia untuk melalui pengalaman jatuh yang serupa di dalam kehidupan yang akan datang. Pengalaman pertobatan anak itu dari dosa membuat dia tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
Kita pun barangkali melakukan kesalahan yang mengenaskan dalam hidup kita. Kita ketika bertobat dari dosa yang mengerikan itu, kita pun tidak ingin melakukan dosa yang sama. Bagi saya perumpamaan ini bukan perumpamaan tentang anak yang hilang tetapi perumpamaan tentang anak yang tidak hilang. Anak yang tidak hilang karena dia yang pergi jauh menghilang dari rumah orang tua kandung telah kembali ke dalam rumah kedua orang tua kandung. Kalau perumpamaan tentang anak yang hilang maka anak itu setelah menghilang dari rumah kedua orang tua kandung, tidak kembali lagi untuk selama-lamanya.
 Anak itu berdosa tetapi sudah bertobat. Anak itu hilang tetapi sudah ditemukan kembali. Anak itu pergi dari rumah tetapi sudah kembali ke rumah. Anak itu tinggal lama di luar rumah tetapi sudah kembali tinggal dalam rumah kedua orang tua.
Berdosa berarti berjalan meninggalkan rumah Bapa. Bertobat berarti berjalan meninggalkan kegelapan dosa pemborosan dan dosa pelacuran kembali kepada pangkuan Allah Bapa yang Maha Murah, Maha Pengasih serta Maha Pengampun.
Anak hanya sekali pergi meninggalkan Rumah Bapa. Anak itu kembali kepada Bapa dan tidak akan untuk kedua kalinya meninggalkan Bapa untuk yang kedua kalinya. Karena itu perumpamaan tentang anak yang tidak hilang itu ditulis hanya sekali saja dalam Injil. Alasannya jelas bahwa tidak ada kesempatan kedua bagia anak yang tidak hilang itu untuk hilang lagi. Tidak ada kesempatan kedua untuk jatuh dalam dosa yang sama dalam hidupnya.

Seabad SVD Bungakan Modal-Nya di Lahurus - Timor - Indonesia

Dipercaya Bungakan Modal-Nya

Homili Jumat Pertama 1 Maret 2013
(Kej 37:3-4.12-13a.17b-28; Mat 21:33-43.44-45)

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Seorang pemodal pasti dapat  memberikan modalnya kepada orang yang dipercaya untuk mengembangkan uangnya agar uangnya berbunga baik untuk dirinya maupun untuk pemodal.  Sebaliknya seorang pemodal tidak akan memberikan modalnya kepada orang yang tidak mampu membungakan modal yang dia terima. Pemodal pun akan mengambil kembali modal yang telah diberikan kepada  orang yang dipercaya  itu, kalau ia tidak dapat mengembangkan modal itu. Modal itu akan diberikan kepada orang lain yang lebih dapat membungkan modal  itu.
Injil hari ini berbicara menyangkut modal, pemodal, penerima modal dalam kaitannya dengan pengembangan atau perambatan Kerajaan Allah di dalam dunia ini.  Pemodal adalah Tuhan sendiri. Modal adalah nilai – nilai Kerajaan Allah. Nilai-nilai Kerajaan Allah itu adalah keadilan dan kedamaian, kebaikan dan kebenaran, kejujuran dan tranparansi manajemen. Penerima modal yang diberikan pemodal adalah kaum beriman. Penolak modal dari pemodal adalah  orang kafir. Penolak itu adalah mereka yang memiliki niat jahat seperti saudara-saudara Yusuf yang dengki dan iri hati serta rencana membunuh Yusuf. Perencanaan  pembunuhan Yusuf itu kemudian dialihkan dengan menjual Yusuf dengan harga seorang hamba yang dijual kepada raja pada saat itu. Mereka demi materi, nilai hidup dan persaudaraan dikorbankan. Mereka yang menerima modal Kerjaan Allah adalah Ruben dan Yehuda yang senantiasa meyakinkan saudara-saudara yang lain untuk tidak membunuh Yusuf karena dia adalah saudara mereka.
Tuhan memberikan modal Kerajaan Allah itu kepada orang yang terpilih layak menerima Kerajaan Allah. Orang yang menerima modal itu adalah mereka  yang beriman kepadaNya. Harapan Tuhan atas penerima modal adalah membungakan modal Kerajaan Allah itu kepada sesama dalam tugas perutusannya sebagai pebisnis di perusahaan spiritual Tuhan Yesus sebagai  Kerajaan Allah yang telah menjadi nyata dan tinggal di antara kita.  Penerima modal yang tidak kreatif  progresif membungakan modal nilai-nilai Kerajaan Allah itu membangkitkan pemodal menarik kembali modal itu dan modal itu diberikan kepada orang lain yang dapat dipercaya untuk mengembangkan modal itu. Hal itu ditegaskan dalam Sabda Allah ini : "Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu".  Intisari Sabda Allah ini sangat jelas.  Bangsa Israel adalah bangsa terpilih untuk mengembangkan modal imannya kepada Tuhan. Pengembangan modal iman itu bertujuan agar setiap orang beriman dapat berkembang baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Tetapi karena Israel yang telah dipercaya Tuhan untuk mengembangkan modal Kerajaan Allah itu, tidak dapat membungakan modal yang telah diterimanya, maka Allah mengambil inisiatif mengambil kembali modal Kerajaan Allah itu, lalu modal itu diberikan kepada bangsa lain yang dipandang lebih layak dan pantas mengembangkan modal Kerajaan Allah itu.
Bangsa-bangsa lain yang menerima modal Kerajaan Allah itu termasuk kita yang beriman kepada Kristus Yesus pada saat ini di tempat kita masing-masing. Belajar dari kegagalan bangsa terpilih merambatkan Kerajaan Allah, kita semestinya membangun sebuah habitualisasi iman kepada Yesus Kristus dalam kata dan laku baik secara internal ke dalam Gereja untuk membangun kehidupan keimanan yang berkualitas maupun secara eksternal perambatan iman akan Kristus kepada dunia manusia yang belum mengenal Kristus Yesus menjadi mengenal dan beriman kepada Tuhan Yesus Kristus, sebagai upaya nyata membangun umat dalam kuantitasnya berjalan menuju pintu kualitas iman yang setia menanti.

Hari ini adalah tepat 100 Tahun SVD Misi di Lahurus – Timor – Indonesia. Serikat Sabda Allah adalah orang – orang pilihan Allah. Allah memberikan modalNya yaitu Kerajaan Allah yang isinya Kejujuran dan Transparansi merambatkan Kerajaan Allah di tanah misi baik secara eksternal kepada umat di paroki atau pastoral kategorial yang dilaksanakan setiap anggota SVD maupun secara internal komunitas SVD dan terutama ke dalam diri sendiri sebagai pawer setiap SVD dalam misi dewasa ini dan akan datang. Tanpa manajemen misi SVD yang jujur dan transparan melahirkan keraguan umat yang dilayani dan itu akan berdampak negatif bagi perjalanan misi SVD ke depan. Kerajaan Allah itu juga meliputi keadilan dan kedamaian, kebaikan dan kebenaran bagi semua orang lintas batas. Ketika misi SVD menyempitkan pandangan akan kebenaran dan keadilan, kebaikan dan kebenaran hanya secara internal atau hanya secara eksternal dalam pelayanan dan hidup berkomunitas, itu adalah awal kehilangan kepercayaan dari Allah yang hadiri di dalam diri sesama manusia atau umat yang dilayani. Tidak dipercaya mengembangkan modalNya di dalam perjalanan misi SVD meruakan sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan. SVD sejegat berjuang menjauhkan diri dari  pemodal akan mengambil modalNya dari kita dan lalu modal itu diberikan kepada orang lain yang lebih mampu membungakan modalNya di mata Allah yang secara nyata di dalam hati nurani umat manusia yang dilayani.

Pastoral kategorial menjadi fokus SVD ke depan. Mengapa? Paroki-paroki di NTT hampir semuanya tidak ditangani imam-imam SVD. Hanya satu dua paroki yang ditangani oleh SVD. Lahan misi teritorial semakin minim bagi misi SVD. Tetapi lahan misi kategorial sangat banyak. Fokus pelayanan pada pastoral kategorial tidak mematikan komunikasi dengan pemimpin Gereja Lokal. Pelayanan kategorial ada di atas teritori wilayah keuskupan. Dialog yang terbuka dengan uskup setempat merupakan awal yang baik misi kategorial SVD di Indonesia.  Tenaga-tenaga profesional di setiap lini pastoral kategorial sesegera mungkin dipersiapkan. Peran pemimpin untuk melayani, secara serius memutuskan dalam kebijaksanaan Allah untuk persiapan SDM SVD yang siap diterjunkan ke mandala misi kategorial.