Selasa, 19 Februari 2008

Pelurusan Polemik Misa Arwah oleh Pakar hukum Gereja

Teman-teman yang baik! Saya (P. Kletus Hekong,SVD) yang sedang check up kesehatan di RKZ Surabaya - diberitahu oleh Jack Toonay mengenai diskusi hangat seputar misa penguburan Alfredo. Pertanyaan mendasar adalah apakah untuk orang semacam Alfredo layak dibuatkan misa arwah dan dikuburkan secara kristiani. Ya, kematian Alfredo memang memancing pelbagai reaksi. Ada yang menganggapnya sebagai pengkianat atau penjahat negara dan tak kurang juga jumlah orang yang memandangnya sebagai pembela kebenaran. Saya tidak mempersoalkan hal itu. Yang saya mau soroti adalah soal layak tidaknya dia dimisa-arwahkan dan dikuburkan secara kristiani. Sudut pandangan saya tentu hanya dari segi hukum kanonik. Untuk itu saya mengemukakan beberapa hal berikut. Pertama, undang-undang tertinggi dalam Gereja Katolik adalah salus animarum atau keselamatan jiwa-jiwa (cf. Kan. 1752). Salah satu sarana keselamatan yang diwariskan Kristus dalam Gereja adalah misa kudus. Ekaristi kudus adalah sumber dan puncak hidup kristiani. Setiap orang yang sudah dibaptis dan tidak terkena hukuman Gereja (cf. Kan. 915-916) dapat menerima komuni kudus. Sebagai sarana keselamatan jiwa dan pengampunan dosa, hemat saya, tidak salah kalau misa arwah juga dirayakan untuk pengampunan dosa dan keselamatan jiwa dari Alfredo. Apalagi, misa kudus ini, malah bisa diaplikasikan untuk kepentingan orang bukan katolik (cf. Kan. 844) kalau orang itu sebelumnya pernah memintanya atau dimintakan oleh keluarganya. Kedua, misa kudus (misa arwah atau misa pebguburan) sebagai sarana keselamatan atau pengampunan dosa bisa diaplikasikan kepada setiap orang yang dibaptis secara katolik, kecuali kalau dia sudah terkena hukuman Gereja (cf. Kan. 915). Larangan itu lasimnya berkaitan dengan kejahatan lahiriah dan yang sengaja dilakukan dan sudah dihukum demikian oleh pihak Gereja. Hukuman yang terbesar dalam hukum Gereja Katolik adalah censura atau poena medicinalis (hukuman medisinal). Ada tiga jenis hukuman medisinal itu, yakni: ekskomunikasi, interdik dan suspensi (cfr. Kan. 1312; 1331-1333). Ekskomunikasi adalah pencabutan sebagian atau seluruh hak yang diterima melalui sakramen baptis. Interdik adalah pencabutan sebagian dari hak yang diterima dari sakramen baptis atau juga hak-hak jabatan tertentu dalam Gereja. Sedangkan suspensi adalah pencabutan wewenang yang diterima melalui tahbisan suci. Selama seseorang tidak pernah dilarang secara tegas dan dijatuhkan hukuman, baik yang bersifat otomatis (poena latee sententiae) maupun yang hukumannya masih harus dijatuhkan (poena ferendae sententiae), maka hak seseorang untuk menerima sakramen dan sakramentali tidak bisa diganggu-gugat. Ketiga, jenis hukuman di atas kalau pernah dijatuhkan kepada seseorang maka harus diampuni dan malah harus dicabut pada saat orang menyesali kesalahannya. Poena medicinalis adalah obat yang untuk menyembuhkan orang. Kalau sudah ada indikasi pertobatan sudah jelas maka hukuman harus dicabut. Lagipula, dalam keaadaan sakratul maut atau bahaya mati, semua hukuman Gereja harus ditangguhkan atau menjadi luluh samasekali (cf. Kan. 1352; Kan. 976). Alfredo, bukan saja berada dalam bahaya maut tetapi sudah direnggut maut. Kalau hukuman bagi yang berada dalam bahaya mati saja sudah luluh, apalagi yang sudah mati. Keempat, sekedar informasi bahwa pada bulan September 2007, pak Ignas Jehanu meninggal dunia. Dia meninggal pada hari sabtu dan rencana penguburan terjadi pada hari minggu sore. Namun apa yang terjadi? Pastor Paroki Wairpelit melarang misa penguburan dan yang dibuat hanya upacara sabda. Reaksi umat sangat marah. Mereka memprotes kebijakan Gereja. Saya dan beberapa imam lain yang saat itu sudah siap untuk misa penguburan juga mengalami kecewa berat. Ya, menurut aturan Gereja (General Guidlins on Roman Missal, 1971 dan Dekrit Kongregasi Kongregasi Sakramen dan Ibadat Ilahi pada tahun 1974, cfr. Juga Tabel Misa Votif dan Misa Arwah pada bagian pendahuluan Diffini Offici-SVD), misa penguburan hanya dilarang pada perayaan solemnitas, minggu-minggu pada masa advent dan puasa, trihari suci. Di luar itu tidak dilarang. Ya, walaupun kebijakan keuskupan itu bertentangan dengan norma umum, akan tetapi karena sudah ada larangan maka terpaksa ditaati. Saya mengankat hal terakhir ini hanya sebagai contoh, kalau sudah ada larangan eksplisit dari Ordinaris wilayah maka sebaiknya ditaati. Catatan khusus, kami masih berusaha mau mendekati Uskup Agung Ende dan kemudian Maumere untuk mengetahui latarbelakang pastoral larangan itu dan kalau boleh supaya dicabut karena bertentangan dengan norma umum. Sekian saja jawaban saya. Semoga berguna bagi samasaudara sekalian.