Minggu, 11 Mei 2008

SVD GAMPANG BANGUN GEREJA DI SURABAYA

___________________________________________________________ SEKILAS MISI SVD DI SURABAYA: STASI ROH KUDUS DIBAPTIS USKUP JADI PAROKI TERMUDA PADA 11 MEI 08. Juanda Paulus dibaptis Uskup Surabaya 1 Mei 08. ____________ _________ _________ _________ Wish you all HAPPY PENTECOST, especially to SSpS Congregation which dedicates their lives and mission under the patron of Holy Spirit. Besok, Hari Minggu Pentecosta Uskup Surabaya akan meresmikan Gereja Roh Kudus Surabaya menjadi paroki Baru. Gereja Roh Kudus merupakan pemekaran dari Paroki Gembala Yang Baik. Gereja GYB didirikan pada tahun 1982 dan dalam kurun waktu 26 tahun Gereja GYB yang diasuh oleh para misionaris SVD Surabaya telah bertumbuh dan berkembang menjadi 5 paroki: Paroki Gembal yang Baik, Gereja Salib Suci Tropodo, Gereja Sakramen Mahakudus pagesangan (dekat Mesjid Agung Sidoarajo), Gereja St. Paulus Juanda (yang baru diresmikan sebagai paroki baru 1 Mei yang lalu - pemekaran dari gereja Salib Suci) dan akhirnya Gereja Roh Kudus - Rungkut. Itu berarti dalam setiap lima tahun berdiri sebuah paroki baru. Dalam konteks Surabaya atau Jawa pada umumnya, tidak mudah mendapatkan ijin untuk dirikan gereja. Akan tetapi, berkat penyelenggaraan Ilahi dan karya Roh Kudus selalu memberi jalan keluar di tengah situasi krisis dan kesulitan yang dialami. Apa yang tampaknya sulit dan bahkan mustahil, menjadi mungkin. Selain divine factor, human factor - terutama peran para misionaris, baik imam maupun awam - turut memberi andil dalam menumbuh-kembangkan misi SVD di Surabaya. Misionaris yang paling berjasa dalam mengembangkan paroki-paroki tersebut - di antara sekian banyak imam dan misionaris SVD - adalah Rm. Yohanes M. Hejne SVD - asal Belanda. The growth of Churches in Surabaya, even in the difficult time, validates the legacy of Holy spirit as the main agent of church's mission. Thanks and welcome Holy Spirit. We always need your help in our journey of lives and missions on the earth. Wish you all a happy Pentecost**** Paul Rahmat ___________________________________ Kotbah Misa peresmian itu tentang Karigma, liturgia, diakonia. Koinonia. Sambutan Uskup, supaya umat merasa kerasan di Paroki Juanda. ***** Beny M ___________________________________________

USKUP SVD PERTAMA JADI PRESIDEN

Fernando Lugo: Uskup yang Jadi Presiden (4 – selesai) --------------------------------------------- Bastian Limahekin Mengulang tregadi Aristide? Sepak terjang Fernando Lugo mengingatkan orang akan Jean-Bertrand Aristide. Aristide (1953-sekarang) adalah seorang pembela teologi pembebasan dan pernah bekerja di antara orang-orang miskin Haiti di bawah masa pemerintahan diktator Duvalier. Ia belajar teologi dan sosiologi di Kanada, Inggris, Italia dan Israel. Ditahbiskan imam pada 1982, Aristide kemudian dikeluarkan dari ordonya enam tahun sesudah itu karena ajaran-ajarannya yang revolusioner. Dalam pemilihan presiden Haiti tahun 1990, ia menjadi kandidat yang diusung koalisi partai-partai berhaluan sosialis dan memenangkan mayoritas suara. Hanya tujuh bulan menjalankan roda pemerintahan, dia diturunkan paksa dari kursi kekuasaan dalam sebuah kudeta militer berdarah dan pergi ke pembuangan di Venezuela dan kemudian Amerika Serikat. Ia kembali ke kursi kepresidenan di tahun 1994 atas bantuan tentara Amerika Serikat. Diselingi pemerintahan Rene Preval pada 1995, Aristide terpilih kembali menjadi presiden di tahun 2000. Namun lantaran pergolakan politik akibat pemilihan parlemen yang dianggap penuh kecurangan di tahun 2004 yang mengharuskan tentara angkat senjata, atas Aristide dipaksa Amerika Serikat dan Perancis untuk turun dari kursi kepresidenan Haiti nama keamanan nasional. Ia secara resmi meninggalkan imamat di tahun 1994 dan menikah dua tahun kemudian. Lugo dan Aristide memiliki sejumlah kesamaan. Keduanya gandrung akan teologi pembebasan, terbilang progresif, pernah bekerja di antara orang-orang miskin, mengalami getirnya hidup di bawah sebuah rezim diktator, maju sebagai kandidat presiden atas dukungan partai-partai berhaluan sosialis dan sama-sama imam. Akankah Lugo sukses merealisasikan janji kampanyenya untuk mengusahakan keadilan sosial, membentuk pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, menciptakan lapangan kerja dan menarik Paraguay keluar dari kubangan kemiskinan? Ataukah ia hanya akan mengulang tragedi Aristide? Sulit dijawab. Seperti di Haiti di masa pemerintahan Aristide, kepentingan Amerika pun kental bermain di Paraguay beberapa tahun belakangan sebagaimana ditandai dengan kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan itu. Ini lantaran kawasan antara Brasil, Argentina, Uruguay dan Paraguay, yang dikenal dengan daerah "Perbatasan Segitiga", disinyalir sebagai teman persembunyian teroris Islam. Selain itu, Paraguay memiliki arti geo-politik yang penting bagi Amerika Serikat karena di sana terdapat sumber air bawah tanah yang juga dikonsumsi Amerika Serikat. Analisis politik mensinyalir bahwa Lugo yang menurut mereka berhaluan sosialis dapat membuat Amerika Serikat gerah dengan kebijakan-kebijakannya, sehingga nasib Lugo bisa jadi akan setragis Aristide. Juga diprediksi bahwa Lugo yang getol mengkampanyekan kedaulatan Paraguay atas Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Itaipu dan Yacyreta bakal bersitegang dengan Brasil dan Argentina. Paraguay akhir-akhir ini merasa dirugikan secara ekonomis karena kerja sama itu lebih menguntungkan Brasil dan Argentina. Namun politik berjalan dengan logikanya sendiri yang kadang sulit dipahami. Dalam politik, premis-premis yang sama bisa berujung pada kesimpulan yang saling berbeda. Apalagi premis-premis yang rada berbeda dalam kasus Lugo. Tentang ideologi politik, Lugo sendiri tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan aliran kiri-tengah alias sosialis moderat sebagaimana yang dilekatkan sejumlah analis politik ke atasnya. Ia memang pernah mengatakan bahwa “sosialisme abad 21” yang diluncurkan Hugop Chaves yang notabene anti-Amerika itu “menarik dan sangat merangsang”. “Bagiku, nilai dari eksperimen Chaves di Venezuela adalah dimensi sosialnya, yakni distribusi kekayaan untuk mayoritas masyarakat miskin,” kata Lugo. Namun ia juga kritis. “Sistem itu mengandung benih negaraisme dalam dosis tinggi, terpusat pada satu orang dan kurang pluralis sehingga berbahaya bagi demokrasi yang sejati.” Ia menjanjikan sebuah hubungan yang tulus dan terbuka dengan Amerika Serikat. Karena menurut Lugo, demikian dikutip Pater Martin Bhisu, misionaris Paraguay asal Riung, teman dekat Lugo, “Dalam ikhwal pengentasan kemiskinan, ideologi sudah mati. Kita tak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan dengan ideologi tertentu. Kemiskinan adalah hal konkret dan perlu penanganan konkret juga.” Mungkin karena pemikirannya yang multi-lateral itu Lugo diterima semua pihak di Paraguay, termasuk Partai Colorado, rival politiknya. Premis lain yang rada berbeda dalam kasus Lugo adalah gaya berpolitiknya yang menekankan kerja sama ketimbang konfrontasi dan kepemimpinan yang kolaboratif ketimbang kultus individu. “Sebagai seorang imam, ia memiliki kemampuan dinamika kelompok yang luar biasa dan kecakapan mengorganisasi yang jempolan,” demikian kesaksian Marcial Riquelme, seorang sosiolog Paraguay. “Ia tahu bagaimana mengumpulkan orang-orang berbeda yang tidak saling menyukai dan kemudian memediasi tiap-tiap kelompok itu untuk tiba pada satu kesepakatan.” Akankah uskup dan presiden yang risih dan gerah disebut mesias itu mengulang tragedi Aristide? Kita tunggu. Politik bukan matematika. Namun yang pasti, sepasti matematika: orang-orang miskin Paraguay selalu ada di lubuk hati Lugo!