Senin, 30 Juni 2008

SOLITER & SOLIDER

Penjaga Gawang dan Kehidupan Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores ****************************************************** LUSA dini hari pesta bola kaki kejuaraan Eropa yang menyita perhatian hampir seluruh dunia akan berakhir. Pertandingan final ini akan menghadirkan kesebelasan Jerman yang dijuluki tim panser melawan pasukan dari Spanyol yang disebut tim matador. Biasanya matador bertarung melawan banteng dalam jarak dekat, sementara panser adalah senjata peperangan untuk menghadapi musuh yang tidak harus dekat. Pertarungan matador dengan banteng adalah pertarungan berhadap-hadapan, sementara serdadu di dalam panser dapat menembaki musuhnya yang berada jauh di sana. Dalam pertandingan terakhir sebelum masuk ke final, tim matador harus berhadapan dengan tim yang disebut-sebut sebagai kuda hitam. Karena sudah terbiasa dengan binatang, banteng atau kuda sama saja, dibabat habis ole si matador.. Sementara itu, tim panser toh tidak seganas yang dibayangkan ketika bertarung melawan Turki. Agaknya, panser juga turut larut dalam pesta damai masyarakat Jerman dan Turki yang berlangsung di Berlin selama pertandingan tersebut. Lalu, bagaimana nanti kalau kedua tim ini berhadapan? Panser adalah lambang konsistensi dan kedahsyatan sebuah serangan, yang menggilas siapa saja yang sudah ditargetkannya secara sistematis. Panser dipakai sebagai alat berperang, dan perang tidak memperhatikan keindahan. Inti dari perang adalah mematahkan pertahanan musuh dan mengalahkannya. Memang tidak ada alasan cukup untuk mengharapkan keindahan dari tim Jerman. Apakah minimnya dimensi estetis tim ini akan diimbangi dengan efektivitas permainan untuk mencapai kemenangan? Sementara itu, tim matador selain bermain indah, juga efektif dan terarah. Dalam putaran final Piala Eropa kali ini, tim ini merupakan salah satu dari yang belum pernah dikalahkan. Apakah prestasi ini akan terulang pada pertandingan terakhir nanti? Saya tidak hendak membuat analisis untuk kemudian meramalkan. Apa pun yang terjadi, bagaimanapun kualitas pertandingan final itu nanti, dan siapapun yang akan keluar sebagai pemenang, yang pasti adalah dengan berakhirnya pertandingan itu putaran final kejuaraan Eropa kali ini akan menjadi sejarah. Perhelatan itu tidak akan lagi menjadi sesuatu yang melahirkan ketegangan dan menjadi dasar untuk taruhan. Yang ada tinggal kenangan. "Es war ja nur Fussball," kata orang Austria. Orang boleh merasa sangat tegang sebelum dan selama pertandingan, boleh punya banyak musuh dan mungkin juga banyak mengumpat. Namun pada akhirnya, itu hanyalah bola kaki, itu hanya sebuah permainan. Ketegangannya tidak kalah dari sebuah ketegangan saat penghitungan hasil pilkada, namun efek yang ditimbulkannya tidak sedalam dan seluas hasil pilkada. Perasaan kebangsaan yang dapat digalangnya bisa jadi hampir sama dengan nasionalisme yang timbul dalam sebuah aksi perang, namun yang disisakannya bukanlah reruntuhan dan luka yang mendalam. Itu hanyalah sepak bola. Dalam kenangan yang menyusulinya, orang sering akan teringat akan pencetak gol terbanyak atau gol terindah. Ya, seputar pencetakan gol selalu ada selebrasi. Dan mata kita diarahkan oleh kamera menuju pencetak gol dan selebrasi yang dilakukannya bersama teman-temannya. Pasti akan diingat pula gol-gol yang kontroversial, yang tercipta karena kesalahan yang luput dari pantauan wasit. Di tengah berbagai kenangan itu, yang sangat mudah dilupakan adalah orang yang mungkin paling merasa getir setiap kali ada gol yang dicetak : penjaga gawang. Tidak ada penghormatan untuk penjaga gawang yang paling sedikit kemasukan gol. Sekitar seorang penjaga, tidak banyak ada selebrasi. Kalau ada, itu terjadi pada pertandingan yang hasilnya ditentukan melalui adu pinalti. Penjaga gawang akan disorak dan disanjung apabila dia sanggup menepis sejumlah tendangan yang sanggup memperbesar selisih gol dengan tim lawannya dan akhirnya mengantar timnya kepada kemenangan. Kendati demikian, boleh jadi penjaga gawang adalah figur dalam pertandingan sepak bola yang paling tepat menghadirkan sebuah gambaran yang relatif lengkap mengenai kehidupan manusia. Dia bisa banyak berkisah tentang kehidupan. Goenawan Mohamad membuat sebuah permenungan menarik tentang penjaga gawang dalam bukunya Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai (Jakarta: Katakita 2007). Goenawan menulis: "Seorang penjaga gawang adalah seorang yang soliter, tetapi juga solider: ia seorang yang paling tersisih, tapi ia hadir dalam sebuah kesetiakawanan. Ia mungkin sang kapten kesebelasan, tapi dalam sebuah permainan yang agresif, ia jarang sekali sang pemberi arah, irama, ataupun semangat timnya di medan pergumulan. Ia teramat jauh di garis belakang."Seorang penjaga gawang mesti berhadapan dengan pemain lawan, membaca secara cermat reaksi mereka. Yang paling menentukan dan sekaligus menantang adalah bahwa dia harus cepat membuat keputusan pada waktu yang tepat. Setiap keputusannya mengandung risiko besar, dan taruhannya adalah keseluruhan tim. Para pemain di depan masih dapat mengandalkan orang lain di belakangnya apabila dia melakukan kesalahan. Tidak demikian seorang penjaga gawang. Biasanya dialah yang terakhir, setelah dia hanya ada jaring, yang selalu siap mengisyaratkan kegagalannya. Dia seorang yang soliter, sering ditinggal sendirian di gawang dan mesti sendirian mengambil keputusan besar. Serentak dia adalah seorang yang solider, yang mesti menanggung segala konsekuensi dari reaksi pada pemain lainnya, dan harus merasa satu dengan mereka. Gawang adalah kerajaannya, di mana dia boleh menikmati sejumlah hak khusus dan dilindungi secara istimewa. Dia boleh menggunakan tangannya untuk menangkap atau menepis bola, dan pemain lawan tidak diperkenankan merebut bola yang sudah digenggamnya. Namun di gawang pula dia seolah terlempar dalam kesendirian pengambilan keputusan itu. Kerajaannya bukanlah tempat untuk berleha-leha. Kewaspadaan adalah keutamaan pertama yang harus dimiliki seorang penjaga gawang. Dia berada pada titik penentuan, bola di kaki atau kepala lawan dan jaring yang siap untuk digetarkan.. Soliter dan solider, kata Goenawan Mohamad mengikuti sang sastrawan besar Albert Camus, adalah dua sisi dalam kehidupan. Keduanya harus dilihat secara berimbang. Di satu pihak, kita perlu mencegah tendensi untuk menggunakan solidaritas sebagai sarana penindasan. Solidaritas akan menindas, apabila individu dipaksakan untuk sekadar menjadi elemen tak berdaya dari sebuah struktur sosial yang anonim dan besar. Kolektivisme dapat saja menghancurkan kebebasan individu dan merampas ruang kreativitas serta tanggung jawab pribadi. Solidaritas pun akan dirasakan sebagai wujud penindasan, apabila orang menggunakannya hanya untuk menghancurkan atau mengalahkan orang lain. Di sini kita berbicara mengenai primordialisme. Solidaritas kesukuan dipakai untuk menggalang kekuatan politik mendukung orang tertentu yang masih terjalin dalam relasi primordial dengan kita, dan dengan demikian mengalahkan orang lain hanya karena dia tidak berada dalam relasi demikian dengan kita. Watak penindasan dari solidaritas pun dapat dialami, kalau orang menjadikan isu agama yang memang sangat sensitif, untuk menggalang massa hanya untuk melampiaskan berbagai kejengkelan dan ketidakpuasan terhadap seseorang. Kita memerlukan solidaritas, bela rasa dan bela tindak, namun kita harus waspada agar kita sendiri tidak hanyut dan tidak menghanyutkan orang lain ke dalam arus massa solidaritas itu. Goenawan menulis: "Sebab kebersamaan terus-menerus punya batas dan bahayanya: totalitas itu tidak hendak mengakui bahwa pada akhirnya manusia berdiri sendiri di gawang di ujung garis itu." Pada akhirnya, setiap manusia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada pihak lain, kita juga tidak dapat hidup dalam keterasingan yang berkepanjangan. Menurut Goenawan, "keterasingan bukanlah hidup." Memisahkah diri dari kebersamaan menempatkan diri di atas kebersamaan secara terus-menerus dapat merupakan satu tanda arogansi yang bermuara pada kesewenang-wenangan. Soliter, menjadi manusia yang sendirian, yang sadar akan haknya atas kesendiriannya, dapat saja menggunakan hak ini menjadi sewenang-wenang. Keterasingan dipakai sebagai pembenaran untuk melakukan hal-hal aneh atau membuat pernyataan-pernyataan yang tidak lazim tanpa kesediaan untuk mempertanggungjawabkannya. Penjaga gawang sebagai orang yang soliter adalah pribadi yang mempunyai pertimbangan yang mendalam dan memiliki alasan yang cukup untuk apa yang dilakukannya. Betapapun terkesan ganjil dan terdengar aneh, apabila kita bersedia dan sanggup menunjukkan alasan dari tindakan atau pernyataan kita, ini adalah pratanda bahwa kita tidak sedang tenggelam dalam keterasingan. Kedua hal dimensi hakiki dari kehidupan ini, tampaknya mesti selalu disegarkan kembali dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa. Masyarakat tampaknya cukup gampang latur dalam solidaritas yang memperhamba. Tersulut oleh berbagai isu dan digiurkan oleh berbagai janji, mereka gampang meleburkan diri di dalam aksi massa, tanpa sadar sepenuhnya akan tujuan dari aksi seperti itu. Tanggung jawab pribadi tampaknya terlalu mudah menguap oleh panasnya suhu politik yang dipicu oleh isu atau agenda politik tertentu. Selama kita masih menggantungkan keputusan pribadi kita pada suara massa dan menyerahkan pertimbangan kita kepada teriakan massa, kita belum menjadi warga yang demokratis. Demokrasi mengandaikan kesanggupan untuk menjadi warga yang mandiri, yang memberikan suaranya karena pertimbangannya sendiri. Sementara itu, para pemimpin masyarakat kita mudah jatuh dalam kesewenang-wenangan solitarisme. Yang dilakukannya adalah apa yang dipertimbangkan sendiri tanpa memperhatikan aspirasi dan suara masyarakat. Keputusannya adalah keputusan final, dan dia tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan apa yang diputuskannya. Pemimpin seperti ini bukanlah pemimpin yang demokratis. Seorang pemimpin baru dikatakan demokratis apabila keputusan yang diambilnya, juga dalam kesendiriannya, selalu bertolak dari aspirasi masyarakat dan terarah kepada kepentingan warga. Setiap keputusan itu harus dipertanggungjawabkan, karena inti dari demokrasi adalah penyelenggaraan kehidupan bersama yang dipertanggungjawabkan. Kesewenang-wenangan dikenal dalam totalitariniasme dengan berbagai bentuknya. Pada hari Senin dini hari kita akan menyaksikan bagaimana Lehmann dan Casillas menunjukkan diri sebagai manusia yang soliter dan solider. Kita memang akan juga mengatakan, itu hanyalah bola kaki. Namun peran para penjaga gawan ternyata tidak hanya sebatas bola kaki. Mereka dapat banya berkisah tentang kehidupan, tentang menjadi solider dan soliter. *