Jumat, 08 Agustus 2008

SOSIALISME AMERIKA LATIN

Oleh: Juan de Dios PN. PENDAHULUAN Sejak tahun 2005 Amerika Latin menarik perhatian dunia dengan kehadiran sosialisme dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi di negara-negara tertentu. Banyak orang langsung menghubungkannya dengan ajaran Marx - Engels dan faham sosiodemokrat. Orang teringat akan Cuba yang hingga saat ini masih setia dan kukuh menghidupi komunisme, pemerintahan sandinista di Nicaragua, pemerintahan socialis Allende, sosiodemokrat Ricardo Lagos dan Bachelet di Chile, pemerintahan sosiodemokrat Tabares di Uruguay, fenomen Lula di Brasil, Revolución Bolivariana Hugo Chávez di Venezuela, Movimiento al Socialismo Evo Morales di Bolivia, orientasi politis menuju sosialisme Rafael Correa di Ecuador dan fenomen Fernando Armando Lugo di Parguay. Andrés Oppenheimer, dalam bukunya “Cuentos Chinos” menilai proyek dan program politis Hugo Chávez di Venezuela berhaluan leninista. Di lain pihak Evo Morales mengatakan bahwa Movimiento al Socialismo (MAS, partai politiknya) didirikan oleh rakyat miskin dan orang-orang kampung; pada saat awal pembentukannya MAS tidak memiliki seorang ideologpun yang berhaluan sosialis atau komunis; MAS lahir dari penderitaan rakyat. Keberadaan sosialisme di Amerika Latin boleh saja dianggap sebagai usaha untuk menghidupkan kembali apa yang dikatakan oleh Marx dan Engels beberapa abad yang lalu, tetapi benih sosialisme yang sedang tumbuh itu lahir dari situasi hidup kelompok masyarakat yang sangat menderita sejak zaman kolonial hingga saat ini. Dewasa ini Sosialisme Amerika Latin baru sampai pada tingkat wacana karena pertama-tama masih membutuhkan proses untuk menentukan identitasnya, kedua karena memiliki hubungan dengan apa yang disebut dengan SOSIALISME ABAD XXI, ketiga karena Sosialisme Abad XXI sendiri masih dalam proses pembentukan baik dari segi teoretis maupun praxisnya, keempat kontektualisasi atau praxis dari Sosialisme Abad XXI di Amerika Latin dicetuskan (dengan sangat berani) oleh Hugo Chávez, Presiden Venezuela, kelima karena hampir sebagian besar negara di belahan dunia tersebut belum mengambil sikap dan tindakan yang pasti dan tegas, dan yang terakhir karena politik dan sistem ekonomi di Amerika Latin pada umumnya masih dikuasai oleh Neoliberlaisme-kapitalisme yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Oleh karena itu, Sosialisme Amerika Latin membutuhkan proses yang sangat panjang untuk sampai pada sebuah sistem yang bukan saja untuk menjawabi dan mengatasi persoalan yang disebabkan oleh sistem aktual (neoliberalisme) tetapi juga untuk memudahkan negara - negara membawa masyarakatnya ke arah yang lebih manusiawi. Kesulitan-kesulitan dan tantangan, lebih-lebih usaha membela dan mempertahankan eksistensi Neoliberalisme (oleh negara-negara kapitalis dan kroni-kroninya), tidak akan menghentikan perjuangan rakyat kecil dan miskin di Amerika Latin. Semangat dan roh sosialisme di Amerika Latin yang telah lama didera dan diperkosa (sejak kolonialisme) sudah kembali. Martín Sivak, seorang wartawan Argenitna yang meneliti sepak terjang perjuangan sosial di Bolivia, dalam bukunya “Jefazo, Retrato Íntimo de Evo Morales” mengutip salah satu penggalan pidato Evo Morales sehari sebelum dilantik menjadi Presiden di puncak Tihuanaku (reruntuhan tempat sakral orang Aymará yang berumur kurang lebih lima ribu tahun): “Kita sudah kembali…selama lima ratus tahun orang-orang indian dikuasai, dijajah dan diperlakukan secara sangat tidak manusiawi, sekaranglah saatnya mengangkat kembali martabat dan roh orang-orang indian. Saudara dan saudari, lima ratus tahun kita dijajah, mulai sekarang kita telah bangkit untuk memerintah dengan semangat bersama, warisan nenek moyang kita, selama lima ratus tahun ke depan, mari kita bersatu membangun Bolivia untuk semua….” Apa yang dikatakan oleh Evo Morales itu memiliki arti yang sangat luas dan mendalam. Kata-katanya itu tidak bisa dibatasi dengan isu diskriminasi melainkan sebaliknya merupakan suatu expresi yang mengandung kebenaran dan harapan akan angin kebebasan sosial untuk seluruh rakyat Bolivia. Selain itu terpilihnya Evo menjadi Presiden Bolivia benar-benar mempengaruhi seluruh perjuangan sosial di Amerika Latin. Dalam bukunya “Ciudadano X, la Historia Secreta del Evismo” Emilio Martínez , seorang wartawan terkenal Bolivia menulis bahwa pada pelantikan Evo Morales, hadir hampir semua wakil dari suku-suku asli Indian di benua Amerika: Amerika Utara (Greenland, Canada dan USA) dan Amerika Latin, bahkan hadir juga saat itu wakil dari penduduk asli Philipina dan China, wakil-wakil dari organizasi sosial mundial pendukung sosialisme abad XXI dan ONG internasional. Di depan wakil - wakil itu, Evo juga mengatakan hal yang sama bahwa “kita sudah kembali”. Sosilisme Abad XXI pertama kali dicetuskan oleh Heinz Dieterich Steffan. Dia berasal dari Jerman, doktor ilmu-ilmu sosial - ekonomi dari RFA, sekaligus anggotanya (Escuela Bremen) dan dosen di Universidad Autónoma Metropolitana (UNAM) - Mexico. Dalam bukunya “Socialismo del Siglo XXI” dia menggarisbawahi kebutuhan dunia akan sebuah sistem yang baru, untuk mengakhiri kebiadaban dari neoliberalisme dan membuka jalan menuju kebebasan sosial. Situasi Amerika Latin merupakan salah satu bukti nyata dari kegagalan sistem aktual itu, sekaligus merupakan kesempatan untuk memulai sistem yang lebih melibatkan rakyat banyak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Heinz Dieterich mengembangkan pemikirannya berpijak pada ajaran Marx, sekaligus menekankan perbedaan-perbedaan utama. Misalnya dia tidak menganjurkan rehabilitasi pentingnya Negara (Estado) sebagai manifestasi semua perjuangan sosial, melainkan peran dan partisipasi dari masyarakat (el pueblo, la gente) dalam politik dan ekonomi. Kalau Marx menekankan kekuasaan Negara, Dieterich melihat kekuasaan tertinggi secara natural berada di tangan rakyat langsung tanpa perwakilan. Dieterich juga tidak menganjurkan ide dari Anthony Giddens sebagai alternatif ketiga di samping Neoliberalisme dan Sosialisme - Komunis. Selain itu, Sosialisme Abad XXI mendapat roh dan inspirasi dari mobilisasi sosial yang tersebar di seluruh Amerika Latin. Sejak awal tahun 2005, idenya mendapat tanggapan dan pengembangan dari Hugo Chávez, Presiden Venezuela sekaligus pelopor dan penggerak Sosialisme Amerika Latin yang bersifat teoretis, etis dan estetis. Hanya dua negara Amerika Latin yang sudah mulai menerapkan sistem Sosialime Abad XXI yaitu Venezuela dan Cuba. Di Venezuela misalnya, di bawah Hugo Chávez penerapannya dimulai dengan menciptakan Konstitusi baru, sebuah Konstitusi yang sangat bersifat sosialis. Sedangkan negara-negara lain belum memiliki arah dan ide yang jelas. Bolivia misalnya, di bawah Evo Morales sedikit demi sedikit membuka jalan ke arah sosialisme tersebut karena mendapat tantangan yang sangat besar dari pihak kaum borjuis dan pendukung neoliberalisme. Sesudah kurang lebih satu tahun memerintah, Evo Morales me-nasionalisasi-kan perusahaan-perusahaan swasta multinasional dan transnasional seperti perusahaan telekomunikasi, pertambangan dan energi (minyak dan gas bumi, pertambangan batu mineral dan permata). Usaha yang paling penting dan historis dari Evo Morales adalah melaksanakan Asamblea Constituyente untuk membuat Konstitusi Baru yang sudah disosialisasikan dan menunggu waktu untuk disahkan, lewat referéndum dan pengesahan di Congreso. Hal yang sama terjadi di Ecuador, di bawah Rafael Correa, perjuangan dalam bidang politik dan ekonomi lebih mengarah kepada Sosialisme Abad XXI. Paraguay adalah salah satu negara Amerika Latin yang akhir-akhir ini menarik perhatian dunia dengan kemenangan Fernando Armando Lugo. Sudah cukup jelas bahwa Lugo akan memilih jalan sosialisme, karena didukung oleh kelompok sosial korban dari neoliberalisme. Kemenangan tersebut merupakan awal dari perjuangan, jalan dan usaha ke arah sosialisme abad XXI masih sangat panjang dan sulit. Mungkin Paraguay juga membutuhkan Konstitusi yang baru, dan untuk itu harus melewati Asamblea Constituyente. Fernando Lugo akan berhadapan dengan kaum borjuis kapitalis yang menguasai beberapa partai politik dan ekonomi nasional, dan pada saat yang sama dia harus meyakinkan rakyat Paraguay untuk mengubah haluan dari neoliberalisme menuju sosialime baru. Adanya mobilisasi sosial di negri Guraní itu yang menolak sistem politik dan ekonomi aktual, bukan tidak mungkin baginya untuk membawa rakyat ke jalan politis yang lebih sosial dan partisipatif. Sosialisme Amerika Latin memiliki kekhasan tersendiri.Sosialisme yang akan dibangun di setiap negara di Amerika Latin berdasar pada konteks nasional masing-masing. Hugo Chávez dari Venezuela membangun sebuah sosialisme bertolak dari ajaran Marx, Engels dan Lenin, dan berusaha menghubungkannya dengan sosialisme kristen yang mengandung ajaran Yesus dari Nazareth. “Saya adalah seorang kristen”, itulah pernyataan yang selalu dikatakannya dihadapan lawan politiknya dan lebih-lebih para uskup se Venezuela. Pada kesempatan lain dia mengatakan kepada para uskup: “Bacalah Marx, Engels dan Lenin, lalu bacalah Kitab Suci, lebih-lebih Perjanjian Baru - Injil dan bandingkan apakah tidak ada sosialisme?” Menurutnya ada hubungan antara Sosialisme dari Marx dan Engels dengan Proyek Historis Yesus dan Simón Bolívar. Evo Morales dari Bolivia berniat membawa negaranya kepada sosialisme berbasis komunitas (Socialismo Comunitario) yang menurutnya lebih mendalam dari pada sosialisme klasik Marx dan Engels, bahkan lebih mendalam dari politik - ekonomi dari Inacio Lula dari Brasil dan Hugo Chavéz dari Venezuela; sebuah sosialisme yang berasal dari budaya dan tradisi, berdasar pada solidaridad, reciprocidad, comunidad dan consenso. Di Ecuador, perjuangan pergerakan dan mobilisasi sosial telah sampai pada tingkat Asamblea Constituyente yang baru saja berakhir. Seluruh lapisan masyarakat Ecuador berpartisipasi di dalamnya, sehingga Konstitusi Baru sifatnya sangat kontekstual. Sambil menunggu keputusan dan sepak terjang kepemimpinan dari Fernando Lugo, Paraguay diharapkan mendapat angin segar untuk mengadakan perubahan dan perbaikan. Perjuangan Lugo mendampingi orang-orang yang tidak memiliki tanah (Movimiento Sin Tierra) dan masyarakat miskin umumnya, tidak mungkin melewati begitu saja refleksi kritis tentang sistem ekonomi aktual neoliberalisme dan sosialisme klasik. Seperti negara-negara Amerika Latin lainnya, demokrasi di Paraguay tidak memiliki fungsi yang sebenarnya, karena pada dasarnya kaum borjuis yang memiliki kuasa untuk menentukan dan memutuskan kebijakan-kebijakan pembangunan. Maka Fernando Lugo diharapkan memimpin Paraguay untuk pertama-tama mengembalikan hak dan kekuasaan riil rakyat. Dengan kata lain, kalau memang Lugo mau mengembalikan hak dan kekuasaan rakyat miskin, maka mau tidak mau dia harus memperbaiki atau mengubah formulasi yang tepat tentang sistem politik ekonomi dan demokrasi. Dari latar belakang dan sepak terjangnya selama ini, bisa saja dia akan memeteraikan sosialisme dengan semangat pembebasan sosial yang diwariskan oleh Maha Gurunya el Nazareno, nilai budaya dan situasi hidup masyarakat. SOSIALISME ABAD XXI Menurut beberapa analis dan para kritikus, Sosialisme Abad XXI merupakan reaksi atas kegagalan neoliberalisme dan sekaligus untuk menghidupkan kembali sosialisme klasik yang dicetuskan oleh Karl Marx. Mantan Presiden Pemerintahan Spanyol José María Aznar misalnya menilai bahwa Sosialisme Abad XXI sama saja dengan Sosialisme Abad XX bedanya bahwa lebih monoton dan membosankan. Sebenarnya Heinz Dieterich sendiri tidak bermaksud menempatkan Sosialisme Abad XXI sebagai kritik atas baik Neoliberalisme maupun Sosialisme - komunis. Kritik atas Neoliberalisme dari perspektif ekonomi - politik Karl Marx dan Engels sudah dilakukan oleh Robert Kurz dalam bukunya “El Libro Negro del Capitalismo, Réquiem para la Economía de Mercado y Guerras por el Orden Mundial” (Terj. Spanyol), István Mészáros lewat karyanya “Mas Allá del Capital” (Terj. Spanyol), Hal Draper melalui bukunya “La Teoría de la Revolución de Karl Marx” (Terj. Spanyol). Selain itu, beberapa penulis ahli dan pemerhati dari sistem aktual secara jujur dan berani memperlihatkan kepada dunia kesalahan -kesalahan, kelemahan-kelemahan dan kejahatan yang dilakukan dan dimiliki oleh Neoliberalisme. Di antaranya: Joseph E. Stiglitz “El Malestar en la Globalización” (Terj. Spanyol), Samir Amin “El Capitalismo en la Era de la Globalización” (Terj. Spanyol), Hernando de Soto “El Misterio del Capital” (Terj. Spanyol), “El Otro Sendero”, Ulrich Beck “¿Qué es la Globalización?” (Terj. Spanyol), Michel Albert “Capitalismo Contra Capitalismo” (Terj. Spanyol), Noam Chomsky dan Heinz Dieterich “La Aldea Global”, Andrés Oppenheimer “Ojos Vendados”, Naomi Klein “No Logo”, “La Doctrina del Shock, el Auge del Capitalismo del Desastre” (Terj. Spanyol). Menurut Dieterich, Neoliberalisme sudah masuk pada tahap final. Struktur dari institusi borjuis (ekonomi pasar, demokrasi formal, Negara dan para pelakunya) sudah masuk pada tahap penghabisan (agonía) . Neoliberalisme mengalami autodestrucción. Michel Albert dalam bukunya “Capitalismo Contra Capitalismo” memperlihatkan salah satu keganasan dari kapitalisme yaitu mengubah dirinya menjadi bumerang. Mungkin siapa saja tidak akan percaya kalau Amerika Serikat sebagai negara terkaya di dunia, sekaligus sebagai negara yang memiliki utang luar negri terbesar sepanjang sejarah (misalnya George W. Bush diperkirakan “menghadiahkan” utang sebanyak kurang lebih 500.000 juta Dólar USA kepada Presiden terpilih pada Pemilu 2008 ini). Maka Sosialisme Abad XXI merupakan Proyek Historis Baru yang akan mengembalikan eksistensi dan esensi bangsa manusia. Memang benar bahwa lahirnya ide tentang sosialisme baru tersebut berdasarkan kenyataan kegagalan dari Neoliberalisme, namun Heinz Dieterich pun berpendapat bahwa Sosialisme-komunis mengalami kegagalan dan menyebabkan kemiskinan. Para penganut sosialisme Marx / klasik malahan mengatakan bahwa Sosialisme Abad XXI adalah sosialisme palsu. Artinya ide dari Heinz Dieterich itu memiliki karakter independen walaupun ada hubungan dengan sosialisme Marx dan Neoliberalisme. Kalau Francis Fukuyama berani mengatakan bahwa kapitalisme adalah salah satu fin dari proses historis bangsa manusia, maka Heinz Dieterich, Hugo Chavéz dan penganut lainnya berpendapat bahwa manusia adalah mahkluk sosial selalu dan di mana saja. Kapitalisme, seperti dikatakan oleh Max Weber adalah salah satu manifestasi dari etika Kristen, pada dasarnya diilhami oleh predestinación dari John Calvin: sejak lahir seseorang sudah ditentukan nasibnya untuk menjadi yang terbaik dan mendapatkan kemalangan; oleh karena itu masing-masing harus berjuang untuk keluar sebagai pemenang; dunia dan hidup bagaikan medan perang. Kenyataan yang dialami oleh bangsa manusia zaman kapitalis adalah bahwa dalam peperangan itu tidak ditemukan semangat persaudaraan, yang ada hanyalah ego dan musuh. Weber juga mengatakan bahwa yang menjadi pemimpin dan penentu kebijakan dalam pembangunan hanyalah orang-orang tertentu, yang terpilih, mereka yang memiliki kelebihan, kemampuan dan talenta di atas rata-rata orang kebanyakan. Semangat predestinación ini terlihat sangat jelas dalam Kapitalisme modern. Hugo Chávez sebaliknya melihat Kerajaan Allah yang dikumandangkan oleh Yesus Kristus, yang awalnya sudah dimulai di dunia ini, adalah sebuah bentuk sosialisme yang penuh dengan semangat persaudaran, yang kuat membantu yang lemah; di sana tidak ada lagi kau-aku, kamu-mereka melainkan kita. Semua harus terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Rakyat baik di pedesaan maupun di kota memiliki martabat yang sama. Sosialisme Abad XXI di dalam pikiran Hugo Chávez bukan saja sebagai kritik atau negasi atas kapitalisme global dan hermeneutik atas pikiran Marx dan Engels, melainkan satu alternativa viable dari civilisasi yang lebih manusiawi, satu alternatif antisistemis dan antikapitalis. Prinsip-prinsip dari Sosialisme abad XXI juga mendapat ilham dari teori tentang demokrasi partisipatif, budaya - tradisi nasional (semangat kekeluargaan) dan mobilisasi sosial yang ditemukan di setiap negara Amerika Latin. Kalau dalam sosialisme klasik keputusan hanya dilakukan oleh Partai Komunis dan sekelompok orang yang ahli dalam berbagai bidang, hal yang sama terjadi pada Neoliberalisme; sedangkan dalam Sosialisme Abad XXI para pekerja dan masyarakat terlibat dan ikut dalam setiap keputusan dan kebijakan politik dan ekonomi. Oleh karena itu sikap kritis tentang sosialisme abad XXI tidak sama dengan sikap antipati baik terhadap teori-teori dan ide-ide dari Karl Marx dan Engels maupun Kapitalisme. Peter F. Drucker, dalam bukunya “La Sociedad post Capitalista” (terj. Spanyol) mengatakan bahwa Komunisme tidak lagi memiliki roh dan kekuatan untuk hidup, komunitas mundial di masa depan adalah komunitas post-kapitalis yang tidak antikapitalis; pada masa yang akan datang negara-negara kapitalis mulai meninggalkan kapitalisme, tetapi tetap menggunakan pasar bebas sebagai sarana bisnis untuk menghidupi dirinya. Sebaliknya komunitas Sosialisme Abad XXI di Amerika Latin adalah antikapitalis dan berusaha untuk meninggalkan ekonomi pasar global. Naomi Klein dalam bukunya “La Doctrina del Shock” menguraikan kelihaian dari FMI (motor utama dari kapitalisme dan globalisasi) merencanakan dan menggunakan kesempatan krisis di Asia pada tahun 1996/1997 untuk memaksakan pemerintah dan pengusaha swasta nasional menjual perusahaan kepada pihal multinasional dan transnasional. Di pihak lain Sosialisme Abad XXI Amerika Latin memperjuangkan kepemilikan sah dan hak utama dari negara (Estado) atas perusahaan-perusahaan vital seperti gas-minyak bumi dan komunikasi, tanpa menyepelekan kehadiran pihak luar (multinasional dan transnasional). Evo Morales dan Hugo Chávez misalnya telah menjalankan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan penting, tanpa “mengusir” pihak multinasional dan transnasional yang telah bertahun-tahun mengeruk keuntungan. Pihak multinasional dan transnasional dilibatkan (pemegang saham/tanam modal) tetapi tidak sebagai pemilik seperti dulu. Dalam Sosialisme abad XXI, seluruh keputusan dan kebijakan perusahaan ditentukan oleh negara (Estado) melalui demokrasi partisipatif, sekaligus sebagai pihak yang secara natural dan logis mendapat mayoritas keuntungan. Proyek Historis Baru: Demokrasi Partisipatif. Heinz Dieterich mengangkat salah satu unsur vital dalam kehidupan bernegara yaitu demokrasi. Sistem aktual neoliberalisme menekankan dan mengandalkan salah satu bentuk demokrasi yaitu demokrasi formal. Demokrasia formal memiliki karakter utama yaitu mewakili (representativa). Logika dari demokrasi tersebut adalah sebagai berikut: kuasa tertinggi ada di tangan rakyat, karena rakyat banyak tidak dapat menjalankannya secara langsung, maka dimandatkan kepada orang yang mewakili, melalui Pemilihan Umum. Dalam kenyataan, orang-orang yang dimandatkan itu tidak memperjuangkan nasib hidup rakyat yang mereka wakili, melainkan dua hal: kelompok elit dan kepentingan. Kelompok elit termasuk partai politik, para penguasa ekonomi. Kepentingan, misalnya dalam hal hukum: hukum seharusnya dibentuk berdasarkan opini, diskusi dan argumen publik, tetapi kenyataannya berdasarkan kepentingan golongan tertentu. Konsekwensi dari itu adalah bahwa negara dan rakyat kehilangan autoritas dan soberanía, kepentingan rakyat banyak disepelekan. Teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan yudikatif, eksekutif dan legislatif tidak diterapkan secara benar, karena dikuasai oleh kaum borjuis (penguasa ekonomi, kapitalis). Sosialisme abad XXI dalam hal ini tidak mulai dengan mengevaluasi dan mengembalikan kepercayaan dan mandat dari rakyat (demokrasi formal) untuk dilaksanakan secara benar, karena sturktur politik ekonomi dan sosial dari neoliberalisme sudah baku. Di samping itu kaum borjuis memang merasa dirinya sebagai yang terbaik dan terpilih. Heinz Dieterich dan para pendukung Sosialisme Abad XXI justru melihat kelemahan fatal dari sistem aktual yaitu bahwa kepentingan, situasi hidup dan kebutuhan rakyat tidak dikenal, tidak diperhitungkan dan tidak diperhatikan oleh yang mewakilikinya. Pendekatan yang dilakukan oleh Kapitalisme adalah dari atas ke bawah, dari mereka yang memiliki uang. Yang menjadi subyek dari segala keputusan dan kebijakan adalah kaum yang beruang. Rakyat sebagai obyekpun tidak termasuk di dalamnya, malah disingkirkan dari tempatnya, dari tanahnya, dari hutannya, dari rumahnya dsb. Inonge Mbikusita Lewanika seorang anggota parlemen dari Zambia dalam sebuah kompilasi “La Comunidad del Futuro” (terj Spanyol), mengatakan bawah di Afrika, banyak suku bangsa miskin tidak termasuk dalam kelompok baik dunia ketiga maupun dunia keempat. Kalau milyaran rakyat dari dunia ketiga dan keempat tidak digubris dan diperhatikan kebutuhan dan kepentingannya, maka bagaimana nasib mereka yang tidak termasuk di dalamnya? Dari Afrika, setiap saat kekayaan batu permata dibawa ribuan ton oleh kaum kapitalis, setiap tahun setiap kapitalis paling kurang mendapat keuntungan 1000 juta dólar USA, ironisnya bahwa jutaan rakyat Afrika tinggal di bar-bar pengungsi menunggu bala bantuan dan mujizat dari langit. Mereka itulah yang tidak termasuk baik dalam dunia ketiga maupun dunia keempat. Mereka bagaikan tikus mati karena terjatuh di dalam lumbung beras. Oleh karena itu Sosialisme Abad XXI menganjurkan demokrasi partisipatif, karena dalam hal pembangunan, pendekatan akan dimulai dari bawah dengan semangat persaudaraan, kekeluargaan dan keterlibatan penuh. Pendekatan dari bawah sangat berguna dalam menentukan kebijakan karena sesuai dengan keadaan dan kepentingan riil, bukan ditafsir dan dilihat dengan kaca mata kaum tertentu. Ekonomi Equivalen. Ekonomi pasar yang beroperasi dalam sistem aktual, menurut Dieterich tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, karena memiliki paling kurang lima kekurangan sistematis. Pertama; tidak adanya keseimbangan antara karakter sosial produksi dan kepemilikan pribadi. Adanya kontradiksi sistem: dalam proses produksi dilibatkan banyak tenaga kerja dengan segala dedikasi, sedangkan hanya satu atau sekelompok orang saja yang menjadi pemilik dan penentu nilai produksi. Kedua; adanya sistem asimetris, artinya akumulasi modal dan kekayaan sosial terjadi pada sebagian kecil orang, pada saat yang sama politik demokrasi tidak memiliki kekuatan untuk mengontrolnya. Ketiga; logika evolusi ekonomi pasar-nasionalis: artinya pelaku utama dari ekonomi adalah perusahaan transnasionalis yang dikendalikan oleh kelompok elit ekonomi; dilindungi dan dijamin keberadaan dan keamanannya oleh politik militer dari negara asalnya. Amerika Serikat misalnya melindungi perusahaan-perusahaan transnasionalnya yang beroperasi di luar negri dengan melibatkan kekuatan militer. Keempat; perusahaan-perusahaan transnasionalis sifatnya sangat ekslusif, artinya tidak memilki hubungan baik dengan perusahaan lain maupun dengan masyarakat. Perusahaan-perusahaan itu beroperasi hanya untuk mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kelima; Kelompok elit ekonomi global tidak memiliki alternatif yang bersifat rasional; sangat sedikit kapital untuk memperbaiki ekonomi rakyat miskin yang merupakan kelompok mayoritas. Di negara miskin seperti Bolivia, neoliberalisme tidak menyentuh secara langsung kebutuhan rakyat akan lapangan kerja. Sejak tahun 1985 (pertama kali masuknya Neoliberalisme) kurang lebih hingga tahun 2006 program kapitalisme hanya dapat menghasilkan 3000 lapangan kerja. Itupun masih dibumbuhi oleh ketidakadilan, korupsi, dan diskriminasi. Bolivia sejak tahun 1985, dengan masuknya Kapitalisme, tingkat korupsi bertambah dari tahun ke tahun dan menjadi salah satu negara terkorupsi di dunia. Di perusahaan-perusahaan besar misalnya, tidak akan ditemukan karyawan berdarah asli Indian, di bank-bank asing hanya menerima karyawan keturunan bermata biru, berkulit putih dan berambut coklat. Salah satu konsekwensinya adalah bahwa banyak orang asli terpaksa mengubah nama suku/keluarga (apellido) supaya bisa mendapatkan pekerjaan dan pengakuan sosial. Misalnya seorang bernama Juan Quispe (Aymará) diganti menjadi Juan Ramos (Spanyol). Gregorio Irriarte (seorang imam oblatus-OMI), seorang peneliti terkenal, bersama kelompok kerjanya, setelah melewati investigasi yang panjang dan lengkap, menyimpulkan (menurut data) bahwa hingga tahun 2006 di Bolivia kurang lebih 86% rakyat bergelut dengan ekonomi informal; artinya rakyat sendiri yang menciptakan lapangan kerja, bukan diberikan dan dihadiahkan oleh pemerintah atau kaum kapitalis. Dari sudut pandangan Neoliberalisme kenyataan ini sangat kontradiktif dan memalukan, karena program kapitalisme di Bolivia dilaksanakan dengan tujuan salah satunya untuk membuka lapangan kerja, tetapi kenyataannya lain. Hal yang sama terjadi di Perú. Hernando de Soto dalam bukunya “EL Otro Sendero” mengatakan (lewat satu penelitian yang mendalam) bahwa di kota Lima, lebih-lebih di zona periferis terdapat sembilan perumahan (keluarga) informal dari sepuluh perumahan. Kitapun boleh melihat keadaan Indonesia, khususnya NTT; Pemerintah Daerah dari tahun ke tahun berkoar-koar dengan tema ciptakan lapangan kerja sendiri, jangan hanya mau menjadi PNS atau menunggu bantuan dari pemerintah baik gratis maupun lewat proyek padat karya. Pernyataan ini sebenarnya menunjukkan kelemahan dan sifat lari dari tanggung jawabnya. Yang utama dari program politik ekonomi adalah ekonomi formal, ekonomi yang diprogram oleh pemerintah sendiri untuk membantu rakyatnya yang dilindungi dan diatur oleh hukum. Kalau seandainya program ekonomi formal itu tidak menjangkau sebagian besar sakyat, maka untuk apa menjadi Bupati dan Gubernur? Kalau ekonomi neoliberalis-kapitalis tidak menjangkau rakyat banyak dan hanya memperbesar kemiskinan, korupsi, memperkaya kelompok dan orang tertentu, maka untuk apa masih membiarkannya hidup? Sosialisme abad XXI menganjurkan suatu ekonomi equivalen terencana secara demokratis. Heinz Dieterich menilai, bahwa dalam sejarah, manusia tidak memiliki opsi untuk mengadakan planifikasi atau no-planifikasi sistem reproduksi secara material, yang ada dalam sejarah adalah tipe dan kelompok manusia yang berbeda untuk melakukan planifikasi. Misalnya dalam Sosialisme Aktual (Komunisme), perencanaan (planifikasi) dilaksanakan oleh fungsionaris, spesialis Negara dan Partai yang berkuasa (Partai Komunis), dalam Kapitalisme tugas untuk itu didominasi oleh kaum kapitalis, funsionaris, politikus dan profesionalis. Hak demokrasi dalam hal ini tidak menjangkau tenaga kerja dan seluruh rakyat, terutama situasi hidupnya. Konsekwensinya adalah bahwa anggaran Negara dan penanaman modal perusahaan-perusahaan berada di luar dari kepentingan rakyat banyak. Dieterich menerapkan teori, ide dan penjelasan dari Arno Peters (rekannya, ekonom dari Escuela de Bremen). Arno Peters, mengembangkan ekonomi equivalen berdasar pada logika dari “nilai pakai” (valor de uso); menggabungkan teori tentang “nilai kerja” dengan “prinsip equivalen”. Gaji dalam hal ini sepadan dengan waktu kerja, di luar dari perhitungan akan umur, jenis kelamin, status civil, dsb. Harga sepadan dengan nilai-nilai (valores) yang memiliki kesamaan absolut dengan kerja yang terjadi dalam proses produksi. Ekonomi semacam ini berdasar pada nilai kerja, bukan pada harga. Dalam hal ini tidak akan ada lagi explotasi dan penghambaan, tidak ada lagi kepemilikan atas pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain. Harus diperhitungkan dalam teori tentang nilai kerja atas aktivitas yang tidak masuk secara langsung dalam produksi, seperti dokter, guru, tukang cukur, hakim, jaksa, perawat, penasihat hukum, pendeknya termasuk dalam pelayanan umum (servicio público). Pekerjaan yang berhubungan langsung dengan produski dan pelayanan (servicio), ditentukan oleh nilai obyektif dan absolut; dan berbasis prinsip kesamaan yang mulai dengan individu dan berakhir dengan individu. Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri harus memiliki orientasi untuk kepentingan umum. Perdagangan / bisnis dalam hal ini dibatasi sebagai usaha untuk menyalurkan dan menyimpan produksi. Aktivitas bisnis akan berubah menjadi salah satu bagian dari pembagian kerja dan dinilai seperti pekerjaan yang lain. Bagi pemilik perusahaan yang berhubungan dengan produksi, harus membayar diri sendiri sepadan dengan nilai kerja yang dimilikinya. Dalam ekonomi equivalen, otomatis para pemilik perusahaan tidak lagi memiliki keuntungan seperti pada masa kapitalisme. Akumulasi pekerjaan dan produksi dialihkan ke pihak negara. Alat-alat / sarana produksi disosialisasikan, dialihkan ke tangan negara; maka nilai yang diperoleh dari produksi lebih diperuntukan kepada komunitas dalam hal ini diwakili oleh negara. Maka untuk mempermudah pengalihan dari ekonomi no-equivalen ke equivalen, kekayaan alam natural menjadi miliki bersama dan dikontrol oleh negara untuk kepentingan umum. Hak akan papan (perumahan, tempat tinggal) berhubungan dengan penggunaan akan tanah dan harta yang tidak bergerak. Supaya semua mendapatkan hak dan kepastian, maka penggunaan akan hak atas tanah harus disesuaikan dengan kebutuhakn riil umum. Semua aktivitas umum yang tidak menghasilkan nilai produksi (servicio: pendidikan, pelayanan kesehatan,dll.) dapat dibayar dengan uang yang diperoleh dari pajak. Supaya kedua bentuk pekerjaan (produksi dan pelayanan) tidak mengalami perbedaan nilai, maka digunakan term “jerih payah” (Leistung). Oleh karena itu semua proses ekonomi dibatasi sebagai usaha atau “jerih payah” individu untuk memenuhi kebutuhan. Maka prinsip equivalen diterapkan di semua jenjang melalui kesepadanan antara jerih payah atau usaha (Leistung) dan kompensasi (Gegenleistung). Untuk mempermudah transisi kepada ekonomi equivalen digunakan komputarisasi ekonomi (socialismo computarizado). Persoalan tentang akumulasi kekayaan dan kemiskinan dapat diselesaikan secara bersama. Artinya kalau seluruh dunia bisnis (baik negara industria dan kaya maupun negara berkembang) berbasis pada waktu laboral (nilai kerja), maka hubungan harga antara produksi natural dan produksi industri, otomatis membawa kesamaan dalam hal hak ekonomis di antara bangsa di dunia. Usaha menyamakan hak ekonomis bagi negara-negara miskin sebenarnya juga adalah suatu usaha pertobatan (actitud moral) dari kolonialisme. Kolonialisme merupakan dasar industrialisasi Eropa dan Amerika Serikat. Hasil jarahan kekayaan di tanah jajahan merupakan modal untuk memperkaya negara-negara tersebut. Maka, proses ekonomi equivalen merupakan juga pengembalian hak kepada negara-negara bekas jajahan dari pihak negara-negara eks kolonial. Ekonomi equivalen adalah sistem ekonomi yang dapat mengakhiri persaingan-persaingan di antara Negara yang bisa menjurus ke pada peperangan dan konflik yang tidak sehat. Selain itu ekonomi equivalen dapat mengakhiri revolusi berdarah yang selalu terjadi dari abad ke abad. Lebih-lebih dewasa ini, revolusi membawa bangsa manusia kepada kegelapan dan kaos. Prinsip equivalen mengakhiri hubungan antara manusia dan alam yang selama ini berdasarkan pada explotasi. Alam memiliki kekayaan terbatas, dan masih banyak bangsa manusia yang akan datang mendiami bumi ini. Singkatnya, Dieterich menganjurkan satu bentuk ekonomi yang tidak berdasar pada nilai pasar bebas, karena ekonomi pasar adalah roh dari kapitalisme yang menyebabkan asimetris / ketidakadilan sosial dan explotasi yang berlebihan atas kekayaan alam. Menurutnya ekonomi dalam arti politis tidak boleh bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan untuk memiliki kekayaan secara pribadi, tetapi harus berdasar pada produktivitas. Sebagai penggantinya dia menganjurkan ekonomi yang bedasar pada nilai kerja, bukan pada hukum permintaan dan penawaran. Nilai kerja yang dimaksudkannya diukur dengan waktu kerja untuk menghasilkan produksi tertentu. Ekonomi Sosialisme Abad XXI dibangun berdasarkan pada nilai produksi yang sepadan dengan waktu produksi; dan demokrasi partisipatif. Demokrasi Langsung. Demokrasi, menurut Dieterich lahir dan berkembang sepanjang sejarah bangsa manusia. Demokrasi bukan saja milik orang-orang Yunani zaman dahulu. Demokrasi adalah satu unsur yang lahir ketika adanya perkumpulan dua atau tiga orang dan lebih. Demokrasi ditemukan di setiap suku bangsa di dunia ini. Demokrasi mengalami evolusi dan mendapat legitimasi akan kemampuan adaptasi dari zaman ke zaman. Lahirnya negara nasionalis baik pada zaman monarqui absolut (abad XV), maupun zaman modern sejak abad XVIII menunjukkan kemampuan demokrasi yang bukan saja menjawabi kepentingan dan kebutuhan intern (kekuatan produksi, perkembangan penduduk, urbanizasi, kelas sosial, dsb.) tetapi juga merupakan sarana atau medio interaksi dengan tanda-tanda zaman dan situasi sosial. Suatu negara lahir bukan karena dikehendaki oleh satu orang atau kelompok orang yang memiliki kemampuan lebih, melainkan berdasarkan gejolak sosial dalam segala bentuk dan derajatnya. Demokrasi memiliki nilai etis dan positif, memiliki kekuatan superior bukan saja atas organizasi sosiopolitik, tetapi lebih-lebih kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus menerus yang terjadi dalam masyarakat (sociedad) dan alam sekitar (naturaleza). Menurut Dieterich, usaha dan perjuangan politik sosial pada abad XXI tidak terlepas dari situasi dan gejolak kehidupan demokrasi sejak lama. Mobilisasi sosial terutama di Amerika Latin pada abad XXI sangat erat kaitannya dengan kelemahan demokrasi formal yang dianut oleh Neoliberalisme. Neoliberalisme dan Kapitalisme mengalami masa-masa emasnya (di negara-negara tertentu) karena didukung oleh bentuk demokrasi tersebut. Tetapi kenyataannya di negara-negara berkembang tidak mampu menjawabi kebutuhan dan kepentingan rakyat secara utuh dan penuh malah membuatnya semakin miskin dan sengsara. Rakyat miskin yang tergabung dalam mobilisasi sosial bukan saja menuntut agar mereka diberi pekerjaan, makanan, rumah, pakaian, pendidikan dan sebagainya, melainkan juga menuntut agar sistem itu diubah karena mereka menyadari bahwa sistem itulah yang menyebabkan mereka miskin dan kehilangan kebebasan dan hak. Rakyat bukan saja berjuang agar tidak ada lagi diskriminasi dalam segala bentuk, tetapi lebih dari itu mereka ingin supaya mekanisme politik sosial dan ekonomi diubah atau diganti. Juan García Barañado, seorang peneliti dan aktivis gerakan sosial Bolivia, dalam bukunya “La Asamblea Popular, el Poder de las Masas, mengatakan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai kelompok di seluruh Amerika Latin merupakan reaksi otomatis atas sistem politik ekonomi dan sosial aktual, karena rakyat yang merupakan subyek atau pelaku utama dari sistem demokrasi mengalami krisis dan terancam hak dan kuasanya. Semua usaha dan perjuangan politik sosial dan ekonomi abad XXI menuntut eksistensi dan praxis demokrasi partisipatif serta keadilan sosial. Demokrasi pada dasarnya memiliki tiga dimensi. Pertama, sosial yang dipahami sebagai kualitas hidup secara material; kedua, formal yang dimengerti sebagai peraturan-peraturan umum tentang kekuasaan, hak dan kewajiban yang membentuk suatu sistem; ketiga, partisipatif yang diartikan sebagai keputusan real dan konkrit atas hal-hal umum dan transenden dari pihak mayoritas dan minoritas. Ketiga dimensi tersebut bersifat dinamis dan saling berinteraksi. Demokrasi dalam hal ini mempermudah setiap pelaku untuk melaksanakan hubungan sosial dalam ekonomi, politik, kebudayaan, militer, institusi dan dalam tingkat micro, meso dan macro kemasyarakatan. Demokrasi formal dalam kenyataan dimanipulasi dan menjadi instrumen untuk menguntungkan kaum borjuis, maka sociedad di masa yang akan datang berfungsi bukan saja untuk mengembalikan kekuasaan dan hak rakyat tetapi juga menempatkan kaum borjuis dalam posisi sosial yang sama dengan rakyat kebanyakan. Demokrasi partisipatif dimengerti sebagai kemampuan riil dari pihak mayoritas (rakyat miskin) untuk memutuskan hal-hal dan kepentingan-kepentingan umum dalam suatu negara. Rakyat miskin yang merupakan kelompok mayoritas secara langsung menentukan dan memutuskan pelaksanaan hal-hal vital dan prinsipiil dari negara. Dieterich berpendapat bahwa demokrasi formal yang berindikasi manipulasi dan ketidakadilan dalam berpolitik, bukan saja harus diganti, tetapi eksistensi dan esensi demokrasi sendiri dilengkapi oleh demokrasi langsung. Alasan lahirnya dan praxis demokrasi formal adalah karena rakyat banyak tidak dapat menjalankan fungsinya atau haknya secara langsung, menurut Dieterich, alasan tersebut yang telah menjadi bagian dari logika demokrasi formal, dewasa ini tidak relevan lagi, karena rakyat banyak akan dimudahkan oleh penggunaan teknologi. Rakyat banyak yang miskin itu akan mendapat kembali hak demokrasinya lewat kemajuan teknologi. Di Venezuela misalnya pada masa Hugo Chávez, beberapa konsultasi publik dibuat lewat teknologi internet. Pelaku Perubahan: rasional, etis dan estetis. Ada tiga jalan menuju perubahan atau transformasi sosial. Pertama, manipulasi manusia secara generis; kedua, usaha menciptakan manusia baru; ketiga, mengubah institusi atau struktur yang membimbing dan mendampingi manusia menuju perubahan. Dieterich menilai Neoliberalisme dan Kapitalisme menggunakan jalan pertama: untuk menjadi sukses, seseorang harus menjadi seperti mereka yang telah sukses secara ekonomi. Ada banyak cara yang ditempuh oleh Amerika Serikat dalam hal ini, misalnya lewat proyek amerikanisasi; semua negara harus berada di bawah bendera USA (homo americano). Jalan kedua digunakan oleh kelompok extrim atas nama agama, dunia sekulir dan metafisis; kelompok yang menganggap diri dipilih, suci, pahlawan, mártir dan kelompok terpilih dalam bidang politik. Sosialisme XXI sebagai Proyek Historis Baru menggunakan jalan ketiga. Rakyat miskin dan sengsara beraksi berdasarkan kenyataan yang benar-benar mereka alami. Mereka tidak pernah merasa diri suci dan terpilih, malah mereka menyadari diri sebagai yang lemah, manusiawi. Menyadari akan kesulitan yang dihadapi dan alasan-alasan mendasar, rakyat (la gente, el pueblo) bersedia dan rela berkorban untuk kepentingan bersama. Memang dalam usaha dan perjuangan itu selalu ada korban, ada pahlawan dan martir, tetapi bukan dalam arti seperti yang dianuti oleh kelompok kedua. Rakyat kebanyakan beraksi berdasarkan budaya, tradisi dan falsafah hidupnya, melewati proses, tahap demi tahap. Dalam kebudayaan andina (suku bangsa asli di sekitar pegunungan Los Andes), misalnya, dikenal tahun matahari. Setiap siklus tahun matahari diperkirakan sebanyak 500 tahun. Ada tahun matahari berahmat (cadencia) dan ada tahun matahari bencana (decadencia). Menurut penghitungan tahun andina, terutama suku Quechua (Bolivia, Perú Ecuador) dan Aymará (Bolivia) zaman kolonial yang berlangsung selama kurang lebih lima ratus tahun adalah siklus tahun matahari bencana. Zaman kemerdekaan, terutama sejak adanya penghapusan sistem penghambaan (1952 di Bolivia) adalah saat-saat awal siklus tahun berahmat, tahun kemenangan, tahun reparasi eksistensi dan esensi manusia dan komunitas. Sikap antineoliberalisme dan revolusi berdarah tidak cukup untuk membuka jalan menuju perubahan yang mendasar. Prinsip formal dan material harus berjalan seiring dan seimbang. Oleh karena itu, suatu perubahan memerlukan prinsip materialnya yaitu bahwa rakyat yang berjuang itu harus dikumpul dan diberi garis organisasi yang jelas, karena perubahan itu butuh proses, tahap demi tahap, butuh perencanaan dan proyek yang jelas. Di samping itu, rakyat korban neoliberalisme akan berhadapan dengan kaum kapitalis (kapital-modal, sarana produksi, negara-negara kapitalis dan media komunikasinya), maka konsolidasi sosial ke dalam sangat penting melalui sistem organisasi dan politik yang kuat. Sehingga perjuangan sosial tidak dilihat dan beraksi sebagai kekuatan sporadis, tanpa arah dan tanpa kekuatan. AMERIKA LATIN DAN SOSIALISME ABAD XXI Blok Kekuatan Regional Amerika Latin hingga saat ini masih dikuasai oleh Neoliberalisme - kapitalisme. Neoliberalisme di Amerika Latin didukung oleh satu blok kekuatan ekonomi tingkat internasional. Strategi yang digunakan oleh kaum kapitalis untuk memperkuat dirinya dan menguasai ekonomi dunia salah satunya adalah: harus bersifat nasional-regional-mundial. Konsolidasi, perlindungan dan pengawasan kapitalisme dimulai dari tingkat nasional, kemudian regional dan global. Di tingkat nasional, kaum kapitalis saling memperkuat diri, kemudian bergabung dengan kaum kapitalis tingkat regional (transnasionalis) dan terakhir menjadi bagian dari komunitas global kapitalis. Selain itu, blok ekonomi tersebut didukung oleh kekuatan militer. Dengan cara ini, menurut Dieterich, UE, USA dan Jepang, menguasai 85% ekonomi dunia. Apa yang harus dibuat oleh Amerika Latin dalam hal ini? Sama, harus menciptakan satu kekuatan yang bersifat regional. Kekuatan regional ini harus berdasar pada demokrasi partisipatif. Rakyat miskin harus dilibatkan. Ekonomi yang dibangun adalah ekonomi rakyat, dimana subyek atau pelaku dan sekaligus obyeknya adalah rakyat sendiri. Rakyat, lebih-lebih kaum asli, memiliki hak untuk menuntut misalnya mengurangi atau menghapus utang luar negri, karena Amerika Latin adalah salah satu bagian dunia yang selama ratusan tahun diambil (malahan dicuri) kekayaan yang menjadi dasar untuk memperkaya negara-negara kapitalis. Untuk memperkuat blok ekonomi regional, secara ke dalam, di masing-masing Negara dibuat program yang difokuskan pada: usaha kecil dan menengah, korporasi atau kerja sama transnasional, koperasi, dan perusahaan strategis nasional. Di Bolivia, pemerintahan Evo Morales, misalnya mendirikan sebuah bank (Banco del Desarrollo) secara khusus untuk membantu para pengusaha kecil dan menengah. Pada tingkat regional, ada satu blog regional yang dikenal dengan nama MERCOSUR. Brasil, di bawah Lula, sangat giat dalam korporasi ini walaupun mendapat tantangan luar biasa dari ALCA. Selain itu, ada kerja sama antara Perusahaan Minyak dan Gas Bumi dari negara Venezuela (PdVSA), Bolivia (YPFB), Argentina (YPF Argentina) dan Brasil (Petrobras). Blog ini sebenarnya cukup kuat karena misalnya USA mengimpor minyak dari Venezuela sebanyak 30% dari kebutuhan nasionalnya. Jadi bayangkan kalau Hugo Chávez menghentikan penjualan minyaknya ke USA, pasti tiga perempat kebutuhan akan energi di USA akan mengalami kemacetan. Inilah salah satu faktor mengapa Chávez tidak takut mengata-ngatai Bush dan kebijakan luar negrinya. Hal lain untuk memperkuat blog regioanal adalah melaksanakan demokrasi partisipatif. Demokrasi partisipatif harus menjadi tujuan utama dari civilisasi Amerika Latin. Masyarakat postakapitalis di Amerika Latin harus ditunjang oleh demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat terutama kaum mayoritas yang menjadi korban kapitalisme. Mobilisasi sosial adalah satu tuntutan utama akan demokrasi jenis ini, karena sampai kapanpun, rakyat kecil di Bolivia misalnya tidak akan berhenti beraksi sampai haknya benar-benar dihormati. Rakyat di Bolivia pada dasarnya tidak meminta makanan untuk menghilangkan rasa laparnya, juga tidak lapangan kerja, melainkan suatu sistem yang benar-benar menghargai eksistensi dan esensinya sebagai manusia yang punya budaya, sejarah dan masa depan. Blog Kekuatan Militer Regional. Negara-negara kapitalis mengikutsertakan kekuatan militer untuk memperkokoh dominasi ekonomi dunia. Hal ini secara jelas terlihat dalam dua kali perang teluk melawan Sadham Husein. Kalau memang benar bahwa perang - perang itu juga dibumbuhi oleh masyalah ekonomi (petrodólar) maka bisa dimengerti mengapa Spanyol misalnya mau tidak mau harus mengirim pasukannya, walaupun sebagian besar rakyat negri matador itu tidak setujuh. Kawasan Amerika Latin juga membutuhkan kekuatan militer yang mampu melindungi kewibawaan dan stabilitas setiap Negara. Pengalaman yang dimiliki Cuba, Sandhinista di Nicaragua, Zapatista di Mexico, Gerakan Pembebasan di El Salvador, FAR di Colombia dll menjadi contoh betapa kuat militer yang bisa diandalkan negara-negara Amerika Latin untuk melindungi, mengawasi dan memberikan ketenangan kehidupan rakyatnya dalam segala hal. Amerika Latin juga memiliki kepemimpinan militer yang yang tidak kalah dengan negara-negara lain di dunia. Dan yang terakhir, doktrin-doktrin militer nasional Amerika Latin secara umum dapat mempersatukan dan menciptakan kekuatan yang sangat berpengaruh di dunia, bukan untuk berperang, tetapi untuk melindungi kewibawaannya. Politik Hugo Chávez. Hugo Chávez seperti dikenal secara mundial sebagai pencetus Sosialisme Amerika Latin, adalah pelopor dan penggerak pembentukan Blok Kekuatan Regional, lewat programa Bolivariana. Proyek tersebut bersifat nasional dan internasional. Ada beberapa hal yang mendukung gerakan ini. Dukungan dunia usaha Amerika Latin. Sebelum referéndum pada tahun 2004, Hugo Chávez mengundang para pengusaha dari Colombia dan Argentina yang tidak termasuk dalam kontrol USA, untuk berpartisipasi menanam modalnya di Venezuela. Kegiatan itu ditantang oleh kaum kapitalis neoliberal dari Venezuela dan Argentina, mereka memboikot pertemuan itu. Hugo Chávez dan Nestor Kirchner menjawabnya dengan memperkuat kerjasama dalam bidang energi, industria kelautan, pertanian, perkebunan dan peternakan. Hugo Chávez malahan memperluas kerjasama dengan para pengusaha dari Brasil untuk mengerjakan proyek pembangunan jembatan penghubung di Orinoco dan proyek energi di bagian tenggara amazon. Pergerakan Popular Setelah mendapat dukungan dari dunia usaha regional, Hugo Chávez melebarkan sayap perjuangan bolivariana menyentuh kelompok-kelompok pergerakan sosial di seluruh Amerika Latin. Hugo Chávez memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seluruh kelompok sosial di belahan benua Amerika Latin, mulai dari kelompok indígena sampai dengan orang-orang kampung dari Movimiento Sin Tierra (di Brasil, Paraguay, Ecuador dan Bolivia). Kelompok - kelompok sosial itu selalu diundang oleh Hugo Chávez untuk menghadiri even-even penting di Venezuela. Lewat peristiwa - peristiwa itu, Hugo Chávez menjelaskan kepada mereka tentang revolusi bolivariana dan sekaligus memberikan motivasi dan dukungan untuk perjuangan di masa - masa yang akan datang. Kaum intelektual. Hugo Chávez berusaha mempertemukan ilmuwan atau kaum intelektual yang berhaluan sosialis dan mereka yang mendukung pergerakan sosial di Amerika Latin. Kontak diantara ilmuwan tersebut dilaksanakan lewat pertemuan-pertemuan internasional, seperti Foro Social de Porto Alerge a la India (2004). Sampai dengan akhir tahun 2005, Hugo Chávez berhasil mengumpulkan kaum intelektual sosialis sedunia lewat pertemuan di Caracas; kelompok intelectual sosialis pecahan Uni Soviet, Cuba, Sandinista, Zapatista, FARC, pendukung Raúl Prebish dan John Maynard Keynes, sampai Frei Beto. Aliansi dengan negara-negara. Hugo Chávez sebenarnya memiliki hubungan yang cukup solid dengan pemerintah negara-negara lain, lebih-lebih dengan rakyat di Amerika Latin seluruhnya. Ketika dia diturunkan secara tidak hormat dan Carmona menyatakan diri sebagai Presiden baru, hampir semua negara di Amerika Latin saat itu tidak mendukung adanya pemerintahan baru di Venezuela. Bush dari USA dan Aznar dari Spanyol berusaha mempengaruhi seluruh región tatapi tidak mendapat dukungan baik dari rakyat Venezuela sendiri maupun dari pihak Amerika Latin. Contoh lain misalnya menolak ide dari Rumsfeld dan Uribe untuk membentuk kekuatan militer multinasional Amerika Latin untuk beraksi di Colombia. Seluruh negara Amerika Latin saat itu mendukung penolakan dari Chávez. Hingga saat ini, dukungan Negara-negara di kawasan tetap diperolehnya khususnya untuk melawan politik konspirasi dari Uribe-Bush. Proyek Historis Baru Proyek tersebut dilebur dalam sepuluh tujuan strategis dari masa pemerintahannya sampai dengan Pemilu tahun 2006. Karakter dari proyek tersebut sbb. Bolivarianismo: Proses atau gerakan pembentukan institusi antikapitalista yang secara konkrit membentuk: ekonomi yang secara demokratis dikontrol oleh para produktor langsung/para pekerja, dan yang beroperasi berdasar pada waktu kerja (valores-time inputs); sebuah demokrasi riil secara langsung oleh rakyat yang bersifat formal, social dan participativa; satu Negara hukum berdasarkan kehendak umum, lewat contradictio in adiecto, sebuah Negara no-clasista. Proses integrasi bolivariana: Hugo Chávez melihat revolusi bolivariana sebagai suatu transisi menuju reino terrenal, suatu sociedad tanpa kelas. Bagi Chávez, sangat urgen usaha untuk memperjuangkan Amerika Latin menjadi sebuah bangsa tanpa kelas, sebuah Bangsa Besar (Patria Grande)untuk semua. Masa depan Amerika Latin tergantung dari apa yang dibuat saat ini. Masa depan Amerika Latin adalah Persatuan atau Kematian (unión o muerte). Gerakan bolivariana adalah jalan menuju Persatuan sedangkan Neoliberalisme membawa Amerika Latin menuju Kematian. Aliansa antara Negara dan kelompok sosial - popular. Untuk sampai pada persatuan menuju sosialisme, Negara dan sektor sosial popular harus bekerja sama. Sektarisme Satu kekuatan regional Amerika Latin bukanlah buah pikiran Hugo Chávez, tetapi pada dasarnya merupakan kebutuhan vital. Semua negara, pemerintah dan rakyat Amerika Latin menyadari hal tersebut, tetapi beberapa negara lewat pemerintahannya berusaha mengambil jalan keluar sendiri. Maka Hugo Chávez melihat “perpisahan” itu sebagai proses sektarisme yang akan membahayakan kekuatan Amerika Latin sendiri. PENUTUP Sekali lagi, sosialisme abad XXI di Amerika Latin masih membuka kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh rakyatnya untuk berpartisipasi membangun batang tubuhnya. Segala kebutuhan, perlengkapan atau materinya sudah tersedia. Semangat dan roh sosialisme sudah kembali dan sedang berhembus di dalam sanubari setiap insan di Amerika Latin. Untuk benar-benar menguburkan Neoliberalisme dan Kapitalisme, tidak sekedar menunjukkan sikap antipati (demonstrasi, blokade ekonomi, nasionalisasi perusahaan, merebut tanah kaum borjuis dsb), tetapi harus mulai dengan mengubah, mengganti institusi dan strukturnya. Sikap Gereja? Untuk menjawabnya, simak kutipan Dieterich atas pertanyaan Martin Luther terhadap Gereja Katolik: ¿Bagaimana mengubah sistem totaliter global, korupsi dan represif? Neoliberalisme dan Kapitalisme kini seperti monstruo yang sangat menakutkan. Evo Morales banyak kali mengatakan bahwa kehendak, roh dan dukungan dari el pueblo membuat dirinya bebas berbicara dan beraksi. Tidak ada rasa takut di dalamnya karena dia bersuara dan berjuang bersama saudara dan saudarinya yang paling miskin dan menderita. Gereja di Amerika Latin di Medellín pada tahun 1968 memproklamirkan dirinya sebagai Gereja Orang Miskin; orang miskin adalah sebuah sakramen. Maka sikap arif Gereja adalah ada bersama orang-orang itu, seperti Yesus dari Nazareth. Untuk para Uskup Gereja Katolik, bersuaralah atas nama orang kecil dan bersikaplah seperti mereka. Sikap-sikap eklesial terhadap kehidupan sosial sebaiknya melewati konsultasi dengan umat dan rakyat kecil. Refleksi teologis dalam segala bentuk seyogyanya lebih terfokus pada kehidupan dan diri orang-orang miskin. Sejak dua ribu tahun yang lalu sudah banyak refleksi yang mulai dari “atas”, tetapi masih sangat kurang refleksi teologis yang mulai dari kefanaan manusia. Daftar Kepustakaan: Albert, Michel Capitalismo Contra Capitalismo (terj. Spanyol), Paidós Estado y Sociedad, Buenos Aires 1999. Amin, Samir El Capitalismo en la Era de la Globalización (terj. Spanyol), Paidós, Barcelona 2000. Beck, Ulrich ¿Qué es la Globalización? (terj. Spanyol) Paidós, Barcelona 1997. Chomsky, Noam dan Heinz Dieterich La Aldea Global, Editorial Txalaparta, Nafarroa 2002. de Soto, Hernando El otro Sendero, Editorial Sudamericana, Buenos Aires 1987. El Misterio del Capital (terj. Spanyol), UCB, La Razón, El Día, La Paz 2001. Dieterich Steffan, Heinz Hugo Chávez y El Socialismo Del Siglo XXI, Grito del Sujeto, Editorial Filigrana, La Paz, 2006 El Socialismo del Siglo XXI, ídem Peter F. Drucker, La Sociedad Post Capitalista (terje. Spanyol), Editorial Sudamericana, Buenos Aires 2003. García Barañado, Juan La Asamblea Popular, el Poder de las Masas, C&C Editorial, La Paz, 2005. Garcia Linera, Álvaro Sociología de los Movimientos Sociales en Bolivia, Editorial Plural, La Paz 2008. Hesselbein, Frances (ed.) La Comunidad del Futuro (terj. Spanyol), Granica, Barcelona 1999. Irriarte, Gregorio, OMI Realidad Nacional de Bolivia, Editorial Kipus, Cochabamba 2006. Klein, Naomi La Doctrina del Shock, el Auge del Capitalismo del Desastre (terj. Spanyol), Paidós, Buenos Aires 2007. No Logo (terj. Spanyol), Paidós, Barcelona 2001 Martínez, Emilio Ciudadano X, la Historia Secreta del Evismo, Editorial El País, Santa Cruz 2008. Marx, Carlos El Capital (terj. Spanyol), Ediciones Norte, Rosario, 2000. Oppenheimer, Andrés “Ojos Vendados”, Editorial Sudamericana, Buenos Aires 2001, “Cuentos Chinos” Editorial Sudamericana, Buenos Aires 2006. Sachs, Jeffrey El Fin de la Pobreza (terj. Spanyol), Sudamericana, Buenos Aires 2006. Sivak, Martín Jefazo, Retrato Íntimo de Evo Morales, Editorial El País, Santa Cruz 2008. Shultz, Jim y Melissa Crane Draper (ed.) Desafiando la Globalización, Historias de la Experiencia Boliviana, Editorial Plural, La Paz, 2008. Stiglitz, Joseph E. El Malestar en la Globalización (terj. Spanyol), Taurus, Buenos Aires 2002. La Paz, 6 de Agosto de 2008. Juan de Dios PN.