Minggu, 03 Februari 2013

Homili Minggu 3 Februari 2013



 “BUKAN SIAPA  TETAPI  APA “

Yer 1 : 4 - 5; 17 -19;
1Kor 13 : 4 - 13;
 Luk  4 : 21 – 30

Homili Minggu 3 Februari 2013
Dari Surabaya Untuk Dunia


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Kalau diminta memilih antara undangan Seminar dari seorang anak muda yang belum punya nama dengan seorang senior yang sudah terkenal, pasti kebanyakan di antara yang menerima undangan akan lebih tertarik pada pembicara yang lebih senior dan mempunyai nama daripada anak muda yang tidak terkenal. Walapun barangkali anak muda itu lebih kreatif dalam membawakan makalahnya. Mengapa demikian? Karena para undangan terpola dengan sistem berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian juga seorang anak muda yang berbicara meyakinkan, penuh kuasa serta penuh dengan sikap kritis  di dalam sebuah kampung di hadapan  mayoritas para tetua dan para sesepuh, belum tentu semua orang sekampung itu menerima pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang tergolong sesepuh bisa jadi merasa bangga dengan kehadiran anak muda itu dan bisasanya datangnya dari keluarga dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.”  Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat dengan kacamata iri hati pada si anak muda itu bahkan secara terang-terangan dengan kata maupun sikap ataupun dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam kapitel terakhir adalah kesenjangan antara senior dengan yang yunior dalam hidup berkomunitas. Dalam kehidupan bersama, yang senior seringkali bahkan banyak kali memandang yunior dengan paradigma “ kau baru lahir kemarin belum tahu apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini melahirkan tanpa apresiasi dari senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan menghasilkan karya pelayanan yang baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman yang demikian membawa dampak pada kehidupan berkomunitas, dimana antara senior dengan yunior semakin berjalan jauh dari kekompakan di dalam karya pelayanan. Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam kehidupan bersama mengandalkan sistem berpikir “merendahkan senior” karena usia dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi yang yunior, sehingga konflik pun bisa semakin kelihatan. 
Solusi yang mau ditempuh adalah komunikasi dan evaluasi dari hati ke hati sebagai jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior dengan Senior di dalam kehidupan bersama di Pastoran atau komunitas karya agar yang diutamakan adalah “Misi Allah” bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior maupun senior. Untuk itu paradigma yang menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior) sama tahu untuk melaksanakan Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus adalah Yunior dalam usia tetapi  pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan dunia itu  ditanggapi dengan penolakan dari orang-orang sedesanya atau sekampungnnya.
Mayoritas orang sekampung Yesus  bahkan para pemuka agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa depan dari Kampung Nazaret.
Apakah penolakan itu membuat Yesus mundur dari perjuangannya memberikan yang terbaik dan terbenar bagi masyarakat setempat, agar mendapatkan rasa aman dan tanpa konflik di dalam komunitas Nazareth?

Sikap kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi penolakan yang dialaminya. Bahkan Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam terhadap BangsaNya sendiri, lewat mujizat yang terjadi atas orang non Israel: janda Sarfaat di saat kelaparan hebat dan Naaman yang sakit disembuhkan karena memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang asing non Israel diselamatkan karena mereka yang dulunya dicap sebagai bukan bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa terpilih oleh iman dan harapan dan kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang Israel yang dulunya dikenal sebagai bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat dari Tuhan karena kehilangan iman, harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang Asing berjalan bersama Yesus sebaliknya Orang Israel berjalan bersama egoismenya.

Introduksi Perayaan Ekaristi :

Allah membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang mengandung kita. Menjadi imam dan bruder  bahkan sebagai awam pun telah direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang tua kita.

Kini kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di dalam perjalanan panggilan hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk kita sejak awal kekhidupan kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada kehendakNya.
Tuhan memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal kehidupan yang berasal dari Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita menyetir kendaraan perjalan hidup kita, entah ke kiri atau ke kanan atau berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap dan kasih, kita mengendarai kendaraan hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan Yesus dalam suka maupun duka kita, bukan berdasarkan kesombongan yang menghilangkan iman harap dan kasih kepada Tuhan Yesus.