Rabu, 28 November 2012

Kotbah Misa Harian, Kamis 29 November 2012



RUNTUHNYA
BANGUNAN ROHANI
YANG TAMPAK KOKOH

Why 18:1-2.21-23;19:1-3.9a; Luk 21:20-28
Kotbah Misa Harian,
Kamis 29 November 2012
di Soverdi Surabaya


P. Benediktus Bere Mali, SVD



Sebuah bangunan yang kelihatan kokoh mengalami keruntuhan karena berbagai penyebabnya. Barangkali keruntuhan itu terjadi karena kesalahan atau kelalaian pembangun yang membangun di atas fondasi yang rapuh. Barangkali usia tua bangunan yang kelihatan dari luar kokoh itu sehingga sudah tiba waktunya runtuh. Barangkali juga bangunan yang kokoh itu runtuh karena kekuatan alam atau bencana alam yang menghancurkannya. Barangkali juga bangunan yang kokoh itu diruntuhkan dengan alat-alat berat yang digunakan manusia dalam meruntuhkannya. Barangkali keruntuhan bangunan yang kokoh itu karena dibom dalam peperangan atau karena teroris.
Keruntuhan Yerusalem bahkan Yerusalem diinjak-injak karena kehilangan kekuatan pertahanan dan kehilangan kewibawaannya. Demikian juga Babel jatuh karena kehilangan kekuatan pertahanan dan dengan demikian kewibawaannya pun hilang. Yerusalem yang dahulu kokoh, diruntuhkan oleh serangan tentara romawi yang saat itu menjadi penjajah dan Yerusalem. Babel yang dahulu kokoh, jatuh karena dijajah oleh Yunani.


Keruntuhan Yerusalem dan Babel itu selain dipandang dari sudut pandang lahiriah, dapat juga direfleksikan secara spiritual atau rohani. Keruntuhan Yerusalem simbol kekuatan dan kekokohan keagamaan dan spiritualitas bangsa Yahudi, menunjukkan keruntuhan imannya kepada Tuhan.


Pada saat itu umat kristen awal, yang percaya kepada Kristus sedang dikejar dan dianiaya oleh penjajah romawi. Serangan yang terus menerus, membawa dua hal ini. Mereka yang tetap kuat dalam iman kepada Kristus akan diundang ke dalam perjamuan anak domba pada akhir zaman. Mereka yang mengalami keruntuhan iman di tengah jalan, mengalami tanpa keselamatan.


Mereka yang diundang ke Perjamuan Anak Domba adalah orang-orang yang layak karena tetap setia kepada Kristus dalam suka maupun duka. Perjamuan Anak Domba adalah kebahagiaan dan sukacita abadi di dalam Surga. Tentu siapa saja yang beriman kepada Kristus, setelah akhir hidup di dunia ini, berharap mengalami Pesta Perjamuan Anak Domba di dalam Surga. Untuk  itu dalam kesulitan apapun, bangunan rohani tidak boleh diruntuhkan oleh keputusasaan yang disertai berbagai godaan duniawi yang menutupi pintu menuju Undangan Pesta Perjamuan Anak Domba di Surga pada akhir zaman. Berikut saya membagi pengalaman pastoral tentang kesulitan yang membangun bangunan rohani pribadi yang semakin kokoh, bukan meruntuhkannya.


Beberapa waktu lalu saya mengunjungi sebuah keluarga untuk didoakan agar dikuatkan dalam kesulitan berturut-turut yang dialaminya. Beberapa bulan terakhir anaknya mengalami kecelakaan dan cacat hanya duduk di kursi roda. Sebulan kemudian, usahanya mengalami jatuh pailit. Bulan berikutnya lagi suaminya meninggal mendadak. Sang isteri dan anak didoakan agar diberi kekuatan iman di dalam menghadapi kesulitan dan tantangan hidup ini.


Ketika persoalan hidup silih berganti dialami, seolah mereka berada pada situasi batas, tak dapat andalkan kemampuan manusiawi saja, tetapi mereka harus mengandalkan kekuatan yang berasal dari Tuhan yang mereka imani.

Usai didoakan, beberapa bulan kemudian, keluarga ini mendapat banyak pertolongan dari sahabat-sahabatnya, tetangga-tetangganya, baik secara moril spiritual maupun secara materi, sehingga keluarga yang dulunya mengalami "kematian" kini mulai "bangkit dan hidup" kembali menatap masa depan yang masih penuh dengan aneka peluang untuk berkembang dan maju.


Tuhan sungguh luar biasa bagi setiap orang yang mengandalkanNya dalam suka dan duka hidupnya. Bangunan Rohani Keluarga yang dulunya nyaris runtuh kini kembali kokoh berkat Tuhan adalah andalannya.

Kotbah Misa Harian, Rabu 28 November 2012



SETIA SAMPAI MATI
DALAM PANGGILAN DAN PROFESI

(Why 15:1-4; Luk 21:12-19)
Kotbah Misa Harian
Rabu 28 November 2012
di Soverdi Surabaya

P. Benediktus Bere Mali, SVD


Kita hidup dalam panggilan kita masing-masing. Ada yang hidup berkeluarga. Ada yang hidup berjubah sebagai biarawan-biarawati atau rohaniwan. Panggilan itu menuntun kita manusia untuk senantiasa setia bahkan setia sampai mati dalam  menjalani panggilan hidup kita masing-masing. Kita  tidak boleh luntur dalam kesetiaan ketika ada keputusasaan dan hidup tanpa harapan. Entah dalam sukacita maupun di dalam dukacita, kita selalu setia dalam panggilan kita.                                                 

Mengapa kita harus setia di dalam panggilan hidup kita masing-masing? Kita memilih panggilan itu disertai ritus rohani dan dalam ritus itu kita menyampaikan janji setia satu terhadap yang lain, dan janji setia kepada Tuhan. Misalnya seorang biarawan atau biarawati mengikrarkan kaul kaul kesetiaan  kepada Tuhan dan sesama dalam pelayanan sebagai garam  dan terang masyarakat sejak jadi baiarawan-biarawati sampai mati. Setiap  orang yang menjalani panggilan hidup berkeluarga, dalam sakramen pernikahan, mengikat satu dengan yang lain sebagai suami isteri, dengan janji setia baik dalam suka maupun duka, baik dalam untung dan malang, baik dalam sehat maupun sakit, baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh karena tugas dan karya.                                         

Bagi mereka yang selalu setia dalam panggilannya, pasti mendapat berkat berlimpah dari Tuhan yang selalu setia kepada kita umatNya dalam setiap saat maupun dalam setiap tempat. Mengapa? Pengalaman saya wawancara dengan beberapa keluarga yang semua anaknya sukses dan berhasil, mengungkapkan bahwa keberhasilan semua anak dan kesuksesan semua anak dalam meraih cita-cita, dan menjadi orang yang baik dan benar di dalam hidupnya, bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Tetapi melalui usaha kedua orang tua dalam ketekunan dan kesetiaan yang hanya fokus pada keluarga, masa depan keluarga, tanpa membuang banyak energi pada masalah-masalah yang merusak dan menodai kesetiaan suami isteri dan orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tua, karena masing-masing dalam keluarga memiliki kerja sama yang baik dan benar, menjalankan kesetiaan di dalam tugas panggilan dan profesinya masing-masing. Demikian juga wawancara saya dengan beberapa pastor senior sampai 90 tahun usianya, tampak tetap cerah dan tetap disegani karena kewibawaannya yang diperoleh dari ketekunan dan kesetiaannya pada panggilan sebagai iman.                                 

Kesetiaan kepada Kristus dalam suka maupun duka, dalam untung dan malang, dalam sakit dan sehat, dalam situasi perang maupun damai, dalam setiap tempat dan waktu adalah jalan lebar atau jalan tol tanpa hambatan menuju memperoleh Kehidupan yang sejati.  Sebaliknya orang yang tidak setia kepada Tuhan dalam panggilan dan profesinya, mempersempit jalan menuju kehidupan yang abadi di surga. Maka tepat Yesus bersabda : "Hendaklah engkau setia sampai mati, sabda Tuhan, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." Ini adalah janji Tuhan bagi kita yang percaya kepadaNya. Kita pun hidup oleh janji-janji keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus sebagai sàtu-satuNya nama yang menyelamatkan (Kis 4 :12) dan satu-satunya jalan dan kebenaran dan kehidupan (Yoh 14 : 6).  Mahkota kehidupan  ada di dalam Tuhan Yesus. Maka setia pada Yesus dalam pikir , kata dan perilaku menjadi jalan lebar atau bahkan jalan tol masuk surga.

Dalam masa antara kelahiran dan kehidupan, kita menata hidup dan karya kita, panggilan dan profesi kita dalam ketekunan dan kesetiaan kita kepada Kristus, pada setiap tempat dan setiap waktu, dalam kesusahan karena dianiaya maupun dalam sukacita karena pesta pora, dalam sehat maupun sakit, dalam untung maupun malang, dalam duka maupun suka. Dengan demikian kita menghadirkan  mahkota kehidupan itu di dalam hidup panggilan dan profesi kita, kini dan disini, yang akan mengalami kepenuhan dan atau kesempurnaan di Surga.