Minggu, 20 Januari 2013

Homili Sabtu 19 Januari 2013




“MENELANJANGI DIRI
DI HADAPAN TUHAN”

Sabtu 19 Januari 2013
Ibr 4 : 12 –  16 Mrk  2:13-17
Homili Misa di Biara St.Maria
Jl. Dharmo – Surabaya

P. Benediktus Bere Mali, SVD


Setiap wilayah yang berada dalam kekacauan karena peperangan pasti mengundang pihak keamanan untuk memelihara keamanan dan kedamaian di tempat tersebut. Sebaliknya kalau sebuah daerah sudah damai dan masing-masing orang sadar menegakkan kedamaian di dalam hidupnya maka kebutuhan akan pihak kemanan dari luar tidak dibutuhkan lagi. Masing-masing orang dalam masyarakat adalah penjaga kemanan bagi diri dan sesamanya.
Dengan kata lain antara konflik sosial dengan pihak kemanan berlaku prinsip ini. Semakin tinggi kekacauan semakin tinggi kebutuhan akan kehadiran pihak keamanan di daerah konflik. Sebaliknya semakin aman atau semakin rendah tingkat konflik sosial atau semakin damai sebuah wilayah semakin kurang atau semakin kecil atau semakin tidak ada kebutuhan akan pihak keamanan dari luar.
Persoalannya adalah apakah dengan tidak ada konflik, kesejahteraan pihak keamanan yang kembali ke barak itu selalu terjamin dan atau apa pekerjaan alternatif bagi mereka sebagai mahkluk yang memiliki martabat sebagai makhluk bekerja? Kalau tidak ada lapangan pekerjaan alternatif yang mendukung kesejahteraan keluarga, pimpinan tidak memperhatikan kesejahteraan mereka, apakah tidak ada di dalam benak mereka dengan rancangan yang sistematis untuk menciptakan konflik agar nilai pihak keamanan tetap dibutuhkan dan pekerjaan mereka tetap ada dengan harga material yang baik untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah arahan menuju pemahaman yang global untuk menciptakan keamanan dan kedamaian universal dalam kehidupan bersama. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah tuntunan yang mengantar manusia pada umumnya dan pihak kemanan untuk mengadakan pembaharuan diri dalam membangun keamanan dan kedamaian bersama melintas batas.
Sama seperti pihak keamanan membutuhkan konflik sosial, dalam memainkan perannya memelihara keamanan dan kedamaian bersama, dan seorang dokter membutuhkan orang sakit, dalam memainkan perannya menyehatkan kembali yang sakit, demikian juga Yesus datang untuk menyelamatkan orang berdosa. Yesus membutuhkan orang berdosadalam memainkan peranNya sebagai Adam Baru yang menuntun orang berdosa yang telah meninggalkan Firdaus pertama yang dihilangkan oleh Adam Lama dengan dosanya, kembali ke Firdaus Baru yang telah di temukan di dalam Yesus sendiri.
Yesus makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Yesus memangil Lewi si pemungut cukai itu menjadi muridNya. Jawaban Lewi si pendosa mengikuti Yesus menunjukkan bahwa Lewi bertobat dari cara hidup yang lama dan menempuh cara hidup yang baru. Kalau pada masa lalu Lewi memainkan perannya sebagai pemungut pajak dengan pungutan yang memeras dan mencari keuntungan untuk diri sendiri, kini dengan jawaban atas panggilan Yesus dan menjadi MuridNya, berarti dia telah meninggalkan kerja lama yang membuat dia berjalan semakin jauh dari Tuhan, dan kini dia berjalan kembali di jalan menuju jejak Yesus yang menyelamatkan. Lewi sadar akan dosanya dan kini bertobat. Lewi menelanjangi diri di hadapan Tuhan Yesus sebagai orang berdosa yang telah bertobat.
Sebaliknya Ahli Taurat yang setiap hari cukup dekat dan akrap dengan kehidupan keagamaan, membeda-bedakan sesama manusia ciptaan Tuhan, dalam relasinya. Prinsip pembedaan Ahli Taurat adalah boleh bergaul dengan orang yang tidak berdosa, tidak boleh bergaul dengan orang yang berdosa. Bagi Ahli Taurat Yesus adalah seorang yang tidak berdosa. Maka aneh, kalau Yesus itu duduk bersama orang berdosa dan makan bersama Lewi dan kawan-kawannya yang digolongkan sebagai orang berdosa.  Di sini kita menemukan bahwa Ahli Taurat itu menganggap diri mereka orang yang baik dan benar. Mereka menentukan siapa yang berdosa dan tidak berdosa. Mereka membatasi orang dalam berelasi. Orang yang berdosa hanya berelasi dengan orang yang berdosa. Orang yang berdosa tidak boleh berelasi dengan orang yang tidak berdosa. Orang yang tidak berdosa bergaul dengan orang yang tidak berdosa.

Yesus datang ke dunia untuk membongkar tembok rohani ciptaan Ahli Taurat yang sangat diskriminatif itu. Tirai pembedaan itu harus diruntuhkan. Yesus meruntuhkannya bukan dengan kekerasan. Tetapi dengan teladan dan kata. Ketika Yesus duduk makan bersama orang berdosa dan ditegur Ahli Taurat, Yesus menelanjangi pemahaman mereka yang sangat diskriminatif itu dengan berkata : “ Seorang dokter membutuhkan orang sakit. Aku datang membutuhkan orang yang berdosa, bukan orang benar.” Artinya, Yesus tidak membutuhkan orang yang menganggap diri benar seperti Ahli Taurat. Yesus membutuhkan orang yang berdosa seperti Lewi yang bertobat dengan mengikuti jalan yang dilalui Yesus yaitu jalan yang menyelamatkan, bukan menyesatkan.

Sabda Allah menelanjangi diri Lewi, Ahli Taurat dan kita para beriman, karena di hadapan Sabda Allah semuanya telanjang. (Bdk. Ibr 4 : 12 -13).

Homili Jumat 18 Januari 2013



ADA JALAN ALTERNATIF KE TUJUAN

Jumat 18 Januari 2013
Ibr 4 : 1– 5, 11,  Mrk  2:1-12
Homili Misa di Biara St.Maria
Jl. Dharmo – Surabaya

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Apa perasaan Anda ketika Anda secara tiba-tiba mendapat telephone dari Rumah, bahwa orang tua Anda sedang sakit kritis? Di samping ada rasa panik dan cemas, anda akan berjuang mencari  dan menemukan berbagai jalan alternatif untuk memberikan kesembuhan  kepada orang tua yang sakit kritis. Ketika sebuah jalan tidak dapat memberikan kesembuhan, ada jalan alternatif lain yang ditempuh untuk memberikan yang terbaik kepada orang tua yang sakit kritis.  
Ada empat pemuda yang menghadapi sahabatnya yang sakit lumpuh. Mereka telah menemukan berbagai jalan untuk memberikan yang terbaik kepada kesembuhkan sahabatnya yang lumpuh itu. Jalan alternatif terbaik yang mereka temukan dan ini adalah jalan alternatif final yaitu mereka berempat bekerja sama menggotong si lumpuh itu dan mengantarnya kepada Yesus sang penyembuh yang sangat diharapkan.
Mereka membawa Si Lumpuh itu kepada Yesus, selama berjalan di jalan menuju Yesus bukan melawati jalan tol tanpa hambatan.  Penghambat itu adalah para pendengar pengajaran Yesus yang menutupi jalan masuk kepada Yesus.
Ribuan massa yang menghalangi jalan ke Yesus, tidak membuat para pengantar Si Lumpuh itu mengalami putus asa. Mereka dalam kesulitan dan halangan itu, masih berpikir kreatif, menciptakan jalan alternatif dalam perjalanan mereka menuju dan tiba di hadapan Yesus. Jalan itu adalah mereka naik ke atas atap rumah, membuka atap rumah, lalu menurunkan si Lumpuh persis di depan Yesus yang sedang mengajar  banyak orang yang mengerumuniNya.
Apakah Yesus marah? Apakah Yesus kaget? Tidak, Yesus memberikan apresiasi yang mendalam kepada keempat orang yang berjuang dan dengan tulus hati membawa orang sakit lumpuh kepadaNya. Iman mereka itulah memberikan kesembuhan kepada si lumpuh. Iman mereka itulah yang melahirkan  mujizat.
          Ada dua mujizat yang terjadi atas orang lumpuh itu berkat iman keempat orang yang menjadi pengantar orang lumpuh kepada Yesus. Penyembuhan rohani yang dialami si lumpuh, terungkap dalam Sabda Allah :”Dosamu sudah diampuni.” Mujizat penyembuhan fisik tampak dalam Sabda Allah :”Bangunlah dan berjalanlah”.

          Iman kita berdampak sosial.  Upaya tulus hati kita mendoakan sesama, menolong sesama adalah wujudnyata bahwa kehadiran kita adalah penyelamatan bagi sesama  bukan penyesatan.