Sabtu, 02 Februari 2008
"Menuju Suku Bunaq yang Berkelimpahan"
Kesejahteraan keluarga menjadi fokus dalam kehidupan berkeluarga. Kesejahteraan itu ditakar dari tiga hal ini.
1. Kejahteraan ditakar oleh materi. Ini dapat dicapai kalau suami isteri sama-sama bekerja. Hasil dari pekerjaan mereka dapat membuat keluarga sejahtera.
2. Kesejahteraan ditakar oleh kehidupan rohani. Kehidupan rohani akan terpenuhi dengan baik kalau kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi. Kesejahtearaan materi di atas dapat memperlancar kehidupan rohani keluarga-keluarga.
3. Pemahaman perlu agar kesejahteraan materi dan rohani itu harus mengantar orang dalam hal ini para keluarga untuk mengalami kesejahteraan kemanusiaan. Keluarga-keluarga tidak melakukan kekerasan dalam sebuah keluarga. Mengapa? Manusia perlu dihargai martabat dan derajatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan sekaligus memiliki kemanusiaan yang sama. Jalur pendidikan menjadi jembatan yang mengantar semua orang kepada pola pikir dan pola hidup yang digerakkan oleh roh kemanusiaan dan keilahian sebagai dua sisi mata uang yang tidak terlepaspisahkan.
Jumat, 01 Februari 2008
Refleksi Seabad Wafat Santo Joseph Freinademetz SVD
Refleksi-refleksi untuk Peringatan Seabad Wafatnya St. Joseph Freinademetz SVD
Disiapkan oleh Pater. Pietro Irsara, SVDDirektur Rumah Leluhur dan Tempat Ziarah St. J. Freinademetz, di Oies, Badia, Italy
dipublikasikan tgl. 25. Oktober 2007
klik di sini untuk format PDF
"Tahun-tahun hidup saya begitu cepat berjalan menuju kesudahan. Hal ini membuat seorang merasa sedih secara mendalam karena tidak menggunakan dengan lebih baik serangkaian tahun berahmat dalam hidupnya di kebun anggur Tuhan; setidak-tidaknya, seorang ingin bangkit pada saat-saat terakhir dan bekerja dengan kekuatan penuh selama masih ada waktu. Doa-doa tulus Anda membantu saya." Joseph Freinademetz kepada Theodor Buddenbrock, Feb. 1907
Kata Pengantar
Pater Joseph Freinademetz, meninggal dunia karena demam tifus pada tanggal 28 Januari 1908, di Taikia, Rumah Pusat Misionaris Serikat Sabda Allah di Shantung Selatan. Dia sudah sangat letih dan tidak mempunyai sisa kekuatan untuk melawan penyakit menular tersebut. Dua hari sebelum wafatnya, Pater Theodore Bücker, atas nama semua misionaris, meminta berkatnya seraya berkata: "Kami berjanji untuk setia meneruskan karya misi dalam semangat Anda". Dengan menebar senyum di wajahnya, beliau menjawab: Anda ingin berkarya terus dalam semangatku? Padahal sejauh ini saya belum mengerjakan semuanya dengan baik ". Freinademetz berusaha mencintai dan melayani Allah dan manusia dengan segenap hatinya dan dengan segenap jiwanya. Dia memahami bahwa hidupnya merupakan suatu ibadah bagi Allah. Pelayanannya yang singkat di tanah airnya, dan pelayanan bertahun-tahun di Cina hanya mempunyai satu tujuan: kemuliaan Allah. Pernyataan sederhana pada akhir hidupnya "Sejauh ini saya belum mengerjakan semuanya dengan baik. Kini kita benar-benar dapat mengatakan bahwa Pater Freinademetz tidak mencari kemudahan bagi dirinya dan menunaikan karya misionernya dengan baik. Dia adalah seorang misionaris sejati.
Refleksi-refleksi singkat berikut ini bertujuan untuk membantu kita dalam persiapan rohani untuk peringatan seabad wafatnya St. Joseph Freinademetz. Semoga dapat membantu kita untuk merefleksikan hidup kita, karya kita sebagai Misionaris Sabda Allah, relasi kita dengan Allah dan misi kita.In den folgenden Abschnitten wird vor allem zitiert aus:
1. Augustinus Henninghaus, P. Jos. Freinademetz S.V.D., Sein Leben und Wirken, Zugleich Beiträge zur Geschichte der Mission in Süd-Shantung, Yenchowfu, Verlag der katholischen Missionen 1920, 633.
2. Fritz Bornemann, Der selige P.J.Freinademetz 1852 – 1908, Ein Steyler China-Missionar, Ein Lebensbild nach zeitgenössischen Quellen, Analecta SVD – 36, Rom 1976. Edisi berbahasa Inggris: As Wine Poured out: Blessed Joseph Freinademetz SVD Missionary in China 1879-1908, Rome: Divine Word Missionaries, 1984.
3. Fritz Bornemann (Hsg.), Der ehrwürdige Diener Gottes Josef Freinademetz, Berichte aus der China-Mission, Rom 1974 (pertama diterbitkan sebagai Analecta SVD 27, 1973).
4. P. Pietro Irsara SVD (Hsg.), Lettere di un santo, Giuseppe Freinademetz, L'amore per il prossimo, la famiglia e la Badia (Suatu koleksi surat-surat original berbahasa Italia).
Refleksi 1:Mengucapkan "Selamat Tinggal"
Dalam musim panas tahun 1878, tibalah saat bagi Josef Freinademezt untuk mengucapkan selamat tinggal pada lingkungan yang sudah dikenalnya dengan baik, kepada orang tua, sanak saudara dan sahabat-sahabat, pada kebiasaan kehidupan dimana dia tumbuh; selamat tinggal pula pada hidup yang telah dipersiapkannya sekian lama yaitu rasa aman dan hangat rumah paroki dan tugasnya sebagai asisten pastor paroki yang sangat dia senangi. Mengucapkan selamat tinggal berarti pergi, meninggalkan apa yang sampai saat itu penting, yang memenuhi dan memberi makna pada kehidupan Joseph Freinademetz. Mengapa dia melakukan semuanya ini, apa yang menggerakkannya? Tahukah dia tentang apa yang sedang dia lakukan, dan kehidupan apa yang menantinya? Pada hari Minggu, tanggal 11 August, 1878, dia minta pamit dengan paroki St. Martinus di Thurn, dimana dia mengabdi sebagai asisten pastor paroki dan guru sekolah dasar. "Gembala Ilahi yang baik dalam kemurahan hati-Nya yang tak dapat diduga, mengundang saya untuk pergi bersama Dia ke padang gurun untuk membantu-Nya mencari domba yang hilang. Apa yang mesti saya perbuat selain mencium tangan-Nya dengan sukacita dan rasa syukur dan berkata dalam kata-kata Kitab Suci: Lihatlah aku datang!" dan dengan Abraham meninggalkan rumah ayahku, tanah air dan Anda sekalian yang kucintai dan pergi ke tanah yang akan ditunjuk Tuhan bagiku. Seminggu kemudian, di gereja parokinya St. Leonardus, Joseph mengatakan: Saya tidak menyangkal bahwa sangat sulit bagiku untuk meninggalkan orang tuaku dan begitu banyak penderma dan sahabat-sahabat. Namun pada akhirnya, manusia tidak diperuntukkan untuk dunia ini. Dia diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar: tidak untuk menikmati hidup, tetapi untuk bekerja kemanapun Tuhan memanggilnya."
Joseph Freinademetz tidak mencari pengorbanan diri, dia tidak mengikuti keinginan besar untuk berpetualang atau nafsu berkelana romantis. Joseph Freinademetz merasa terpanggil, dia menerima sebuah undangan – dan seperti Abraham dia pergi untuk mengadakan sebuah perjalanan. Sulit baginya untuk berpisah dan mengucap selamat tinggal tetapi dia tidak ragu-ragu karena yakin bahwa dia akan menempuh perjalanan menuju tanah yang akan ditunjuk Allah baginya, seperti apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Abraham. Dia pergi untuk melaksanakan kehendak Allah dan dengan demikian dibimbing untuk menemukan dirinya sendiri dan kepenuhan hidup.Perasaan batin Joseph terungkap dengan sederhana dan jelas dalam suratnya pada tanggal 18 Februari 1879 kepada Franz Thaler, sahabat dan penderma dari Sottrù, sebuah desa kecil tetangga Oeis, beberapa hari sebelum upacara keberangkatan di Steyl. "… Sahabatku yang terkasih, terkadang saya merasa sulit untuk tinggal jauh dari mereka yang sangat kukasihi, untuk meninggalkan tempat asalku, yang telah memberiku banyak teman dan kegembiraan, dan untuk mencari rumah baru dimana seorang harus mulai dari awal seperti anak kecil memulai hidup baru, dimana seorang harus belajar bahasa-bahasa yang sangat sulit dan mengenal orang-orang yang mempunyai minat dan adat kebiasaan yang secara total berbeda Sulit bagiku untuk memulai hidup setelah sangat bahagia di antara kalian para Ladins. Dan dengan sangat jujur saya mau mengatakan hal ini kepadamu: Saya tidak akan pernah melakukan hal seperti ini untuk memperoleh sesuatu di dunia, bahkan tidak untuk jutaan dunia sekalipun. Tetapi saya sangat bahagia dan puas bahwa saya dapat melakukan semuanya untuk Tuhan yang baik, sekalipun saya berjumpa dengan kematian untuk sekian juta kalinya. Dan saya yakin, rahmat-Nya tak akan meninggalkan saya. Satu-satunya yang kuinginkan adalah membawa sangat banyak saudara kita yang miskin kepada-Nya. Hanya dengan alasan inilah saya meninggalkan ayah, ibu, saudara-saudari, sanak keluarga dan sahabat-sahabat, dan diantara mereka Anda dan paroki
St.Martinus yang kucintai mempunyai salah satu tempat utama dalam hatiku." Quellen: Bornemann p. 40f. und p. 546 (Original in Italienisch: Lettere p. 15f.)
Untuk refleksi:
Joseph Freinademetz meninggalkan tanah airnya, bukan mencari tanah air baru. Dia tetap orang "tanpa negara", dan bahkan kemudian di tengah orang-orang Cina yang sangat dicintainya, dia merasa seorang asing. Alasan mengapa dia "mengadakan perjalanan" adalah imannya, iman yang memberinya jaminan bahwa dia akan menemukan rumahnya dalam Allah, bahwa dia akan dinaungi "di bawah kepak sayap-Nya" seperti dikatakan oleh pemazmur. Surat pertama Petrus 2:13 menyatakan: Saudara-saudariku yang kukasihi, kamu adalah pendatang dan perantau," "Pada akhirnya, manusia tidak diperuntukkan untuk dunia ini "kata Feinademetz yang masih muda itu kepada umat parokinya. Dalam hidupku, hal-hal apa yang mungkin telah kutinggalkan dengan rasa sakit, yang telah kuucapkan 'selamat tinggal'? Dimanakah aku merasa 'at home' dan dilindungi? Apakah aku sedang berada dalam perjalanan menuju "tanah" yang ingin Allah tunjukkan kepadaku, seperti Abraham dan Freinademetz? Apakah saya mencari tahu tentang tanah ini, apakah saya mencarinya? Ketika Freinademetz pamitan dari paroki St. Martinus, dia mengatakan: "Demi kerahiman Allah yang tak berkesudahan, yang memilih orang lemah sebagai alat-Nya, saya berharap dapat ikut ambil bagian dari rahmat yang mana saya tidak pantas memperolehnya untuk keabadian",
############################################### Refleksi-refleksi untuk Peringatan Seabad Wafatnya St. Joseph Freinademetz SVD
Disiapkan oleh Pater. Pietro Irsara, SVDDirektur Rumah Leluhur dan Tempat Ziarah St. J. Freinademetz, di Oies, Badia, Italy
dipublikasikan tgl 30 November ,2007
klik di sini untuk format PDF
"Tahun-tahun hidup saya begitu cepat berjalan menuju kesudahan. Hal ini membuat seorang merasa sedih secara mendalam karena tidak menggunakan dengan lebih baik serangkaian tahun berahmat dalam hidupnya di kebun anggur Tuhan; setidak-tidaknya, seorang ingin bangkit pada saat-saat terakhir dan bekerja dengan kekuatan penuh selama masih ada waktu. Doa-doa tulus Anda membantu saya." Joseph Freinademetz kepada Theodor Buddenbrock, Feb. 1907
Refleksi 2:Hidup dalam kekecewaan
Joseph Frienademetz, seorang misionaris muda, menginjakkan kakinya di tanah Cina dengan Te Deum di bibirnya dan dengan hatinya yang berdebar-debar karena sukacita. Tetapi yang dia alami dan harus dihadapi pertama kalinya adalah kekecewaan-kekecewaan yang pahit. Dia sungguh-sungguh tiba "di sebuah tanah asing". Di tanah asalnya, dia sangat dihargai dan dihormati sebagai imam dan diterima dengan baik sebagai seorang pribadi. Tetapi disini orang-orang dengan sikap ingin tahu memandang wajahnya dan mengamati tingkah laku Eropanya. Rupanya tidak seorangpun yang tertarik mengetahui mengapa dia berada di tempat ini. Kesepian mulai mempengaruhi pikirannya Joseph. Segala sesuatu sangat berbeda dengan harapannya. Pikirannya melayang kembali ke rumahnya dan dia menulis: "Apa yang saya lihat, dengar dan alami hari demi hari, seringkali bertentangan dengan keyakinan yang saya pegang sampai saat ini". Tetapi apa yang sama sekali tidak dapat dimengertinya dan yang paling pahit baginya adalah sikap acuh tak acuh terhadap iman. Rupanya tidak seorang pun yang lapar akan roti kebenaran dan rahmat. Dia tidak menemukan sesuatupun yang lazim. Sebagai orang dari jamannya dan dengan latar belakang Eropanya, tidak ada ruang baginya untuk memahami budaya dan cara hidup asing: "Seorang hampir belum dapat berjalan sepuluh langkah tanpa menjumpai wajah-wajah yang meringis dengan jahat dan aneka bentuk kejahatan. Udara yang dihirup sama sekali kafir. Tidak ada inspirasi yang datang dari luar; tidak ada kata-kata yang mendorong, tidak ada keteladanan yang dijumpai. Tidak terdengar bunyi lonceng gereja, tidak ada pesta religius, tidak ada prosesi khidmat yang menyentuh hati; pada umumnya kapela-kapela dihiasi sama pada hari Jumat Agung dan Minggu Paskah. Tidak ada perbedaan antara Natal dan hari Rabu Abu secara lahiriah; dan dimana-mana orang banyak yang sama, tak henti-hentinya bergerak kian kemari secara ramai.
Joseph sendiri melukiskan dua tahun pertamanya di misi sebagai "Novisiat misi". Dua tahun tersebut merupakan sekolah yang keras baginya karena dua pertanyaan eksistensial yang muncul: Untuk apa dia meninggalkan rumahnya? Sungguhkah negeri Cina yang ingin ditunjukkan Allah kepadanya? Mungkin saja Joseph menghabiskan banyak waktu untuk berpikir, bermeditasi, bergulat dengan diri sendiri dan berdoa sebelum dia dapat menulis kalimat yang bernada mistik berikut ini: "Kesunyian dan kesepian dengan cara yang unik berbicara dalam hati seorang misionaris, dan semakin kita sendirian, Allah semakin dekat, dan seorang misionaris tidak tahu apakah dalam situasi tersebut dia akan menangis karena sakit hati ataukah bersorak-sorai karena sukacita yang besar, maka dia melakukan keduanya".Kesulitan-kesulitan pada awal hidup misionernya tidaklah cukup. Berulang kali kekecewaan melintas pada jalan hidupnya: "Pada musim semi tahun 1890, dia mengalami sesuatu yang menurutnya paling menyedihkan dalam hidup misionernya. Dua ratus katekumen batal dibaptis karena katekis yang dibaptisnya sendiri dan dipekerjakannya, berhasil membujuk mereka untuk murtad dan menghasut mereka untuk melawan Pater Freinademetz. Inilah kekecewaan yang sangat pahit, namun dia tahu menguasai diri. Tidak lama kemudian katekis tersebut bersikap sulit sehingga sebagian besar katekumen kembali pada imannya." Menjelang akhir hidupnya, ketika kesulitan-kesulitan fisik berkurang, penganiayaan berakhir, dan kesepian bukan lagi masalah karena kasih sayang dan kesetiaan umat Kristen, kedatangan banyak konfrater, serta misi yang sedang berkembang, Freinademetz menjadi takut bahwa bunga-bunga yang sudah nyata secara cepat menjadi layu, karena terasa adanya tingkah laku tidak beriman dari gelombang arus orang-orang Eropa. Dia mengeluh tentang hal ini dalam surat kepada anak baptisnya pada tanggal 28 Mei 1902: "Saat ini kami hidup dalam damai di Cina, dan sekali lagi banyak yang menjadi Kristen. Momok utama bagi kami dan orang-orang Cina miskin adalah banyaknya orang Eropa tanpa iman dan tabiat kurang baik mulai membanjiri Cina. Ya, mereka adalah orang Kristen tetapi mereka lebih buruk daripada orang-orang kafir. Mereka tidak ada pikiran lain kecuali memperoleh banyak uang dan kenikmatan duniawi; mereka adalah orang-orang malang!"
Dia membela orang-orang Cinanya: "Orang-orang Cina tidak bermusuhan dengan agama, dan seandainya orang Eropa bersikap Kristiani dan seharusnya demikian, saya yakin seluruh negeri Cina akan menjadi Kristen… angin yang datang dari Eropa sangat dingin dan jahat; sehingga adanya ketakutan bahwa orang-orang Cina akan tetap kafir dan bahkan lebih buruk daripada kaum kafir." Sebulan sebelum kematiannya, dia menulis dengan rasa pahit: Contoh buruk dari mereka yang datang di Cina menjadikan mereka (orang-orang Cina) acuh tak acuh terhadap agama atau bahkan musuh agama Kristen."References: Bornemann p.52; Berichte pp.37, 39f., 41; Nova et Vetera (internal SVD publication) p.1091; letter to his godchild Franz Thaler, China, 28. 05. 1902, Lettere p. 86f.; letter to Elisabetta Thaler, Yenfu, 23. 01. 1907, Lettere p. 93; letter to Elisabetta Thaler, 26. 12. 1907, Lettere p. 96;
Untuk refleksi:
Kekecewaan dan krisis merupakan bagian kehidupan kita. Kekecewaan mengecilkan hati kita, merintangi mengalirnya kehidupan dan menyebabkan hal-hal tertentu tidak berkembang. Tetapi kekecewaan itu justru penting karena memaksa kita untuk berhenti sebentar, berefleksi dan menjadikannya sebagai peluang; menantang kita untuk mempertimbangkan cara-cara lain, memberanikan diri untuk mencari terobosan baru. Allah membiarkan kita mengalami krisis yang tidak dapat diatasi dengan doa dan latihan kesalehan saja. Bagi orang beriman, krisis merupakan tantangan yang memaksa kita untuk berefleksi dan memunculkan kemampuan yang tersembunyi dalam diri kita guna memajukan perkembangan kepribadian kita. Iman tidak menyembuhkan persoalan dan kesulitan tetapi memberi kekuatan serta keberanian untuk melihat masalah sebagaimana adanya. Apakah saya menerima bahwa Allah bertindak dengan cara berbeda, daripada apa yang saya harapkan dan inginkan merupakan soal iman. Seringkali Allah mengatur sesuatu sedemikian rupa sehingga melalui kekecewaan, krisis dan penderitaan, saya sampai pada suatu relasi dengan-Nya yang tidak mungkin terwujud tanpa pengalaman yang tidak menyenangkan.
Apakah aku sanggup melihat bahwa rintangan-rintangan dalam hidup dapat membuat diriku terbuka terhadap kehadiran Allah yang melingkungi aku?Dapatkah aku mengerti bahwa krisis yang datang dari Allah merupakan perwujudan cinta yang dapat mendewasakan dan memperkaya hidupku?
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Refleksi-refleksi untuk Peringatan Seabad Wafatnya St. Joseph Freinademetz SVD
Disiapkan oleh Pater. Pietro Irsara, SVDDirektur Rumah Leluhur dan Tempat Ziarah St. J. Freinademetz, di Oies, Badia, Italy
dipublikasikan tgl 1 Januari 2008
klik di sini untuk format PDF
"Tahun-tahun hidup saya begitu cepat berjalan menuju kesudahan. Hal ini membuat seorang merasa sedih secara mendalam karena tidak menggunakan dengan lebih baik serangkaian tahun berahmat dalam hidupnya di kebun anggur Tuhan; setidak-tidaknya, seorang ingin bangkit pada saat-saat terakhir dan bekerja dengan kekuatan penuh selama masih ada waktu. Doa-doa tulus Anda membantu saya." Joseph Freinademetz kepada Theodor Buddenbrock, Feb. 1907
Refleksi 3:Kebaikan yang Menarik Hati"Kelembutan dan kebaikan hatinya, memancarkan daya tarik yang memenangkan hati mereka yang berkontak dengannya". Inilah cara Uskup Henninghaus menggambarkan Joseph Freinademetz dan beliau melanjutkan: "Acapkali matanya bersinar dengan kebaikan yang memesona, dengan ketenangan yang begitu menyejukkan, sehingga orang-orang Cina dengan mudah percaya padanya dan merasa krasan dengannya".
Meskipun bahasa dan ungkapan-ungkapan pada awal abad ke duapuluh rupanya berlebihan-lebihan untuk masa kini, tidak dapat diragukan bahwa Freinademetz memiliki "kebaikan hati dan kebajikan yang tak mengenal lelah" dan dikaruniai kesabaran tak habis-habisnya, memancarkan sikap cinta luhur dan tidak mementingkan diri sendiri".Henninghaus mengutip ucapan orang-orang Kristen Cina tentang Freinademetz: "Kebaikan hati tidak pernah meninggalkannya, bahkan pada saat dia "menegur dan memberi hukuman", sekalipun "tuntutannya tidak kecil" terhadap para konfrater dan umat Kristen. Bila pada situasi tertentu dia bersikap keras dan marah, kata-katanya mengguncang orang-orang sedalam-dalamnya. Dengan jelas dia tidak pernah terbawa oleh emosi untuk menggunakan hukuman badani. " Tangan-tangan seorang imam diperuntukkan untuk memberkati dan bukan untuk memukuli", merupakan salah satu prinsip hidupnya.Semakin lama Freinademetz tinggal dan berkarya di antara orang Cina, semakin dia mengerti mereka dan cara hidup mereka, dan semakin nampak pola watak kepribadian dirinya. Uskup Henninghaus menghubungkan " sikap ramahnya yang menyenangkan dan menenangkan itu" pada sifat dasarnya dan juga pada sebuah alasan yang lebih mendalam yaitu pemurnian "Wataknya telah dimurnikan dalam sekolah Hati Kudus Yesus sehingga menjadi emas murni kemurahan hati adikodrati, dan dalam sekolah tersebut dia memperoleh penguasaan diri sehingga suasana hati dan lingkungan pun tidak mempengaruhinya."Bapak Uskup, menekankan pula bahwa Freinademetz juga mengalami "hari-hari sedih". Dia yakin bahwa Freinademetz cukup sering mengalami saat-saat dimana dia dapat berkata bersama Pemazmur: "Aku mencampuri menumanku dengan tangisan" (Mzm. 102, 10).Dia tidak menuntut sesuatu dari sesama atas kekecewaan, kegagalan dan kejengkelan. Sikap tidak mementingkan diri yang menyebabkannya bersikap demikian karena sikap tersebut merupakan " inti karakternya". "Tidak menolak permintaan sesama, tidak menuntut sesuatu untuk diri sendiri" adalah salah satu prinsip hidupnya yang lain. Pater Johannes Blick SVD mengutip ucapannya: "Orang-orang kafir hanya dapat dibawa kepada iman Kristiani oleh rahmat Allah, dan dengan cinta kita," karena "bahasa cinta merupakan bahasa asing yang dapat dimengerti oleh orang-orang kafir". Freinademetz dengan nyata telah belajar berbicara dengan sangat baik "bahasa asing" itu.
Sumber: Henninghaus hal. 69, 77f., 81, 82, 83; Erinnerungen hal. . 99;
Untuk refleksi:
Seorang teman kelas Freinademetz di Brixen, Fr. Mair, CSsR, menggambarkan dia sebagai berikut: "Saya tidak dapat menemukan gambaran lain tentangnya selain ini: Freinademetz adalah penjelmaan kedua belas buah Roh Kudus, kepribadiannya memancarkan kebijakan adikodrati yaitu ketenangan. Semangat cinta, sukacita mendalam, kedamaian batin, kelembutan, dan kesopanan dengan jelas terpancar dalam hidupnya". Apa pengaruh sikap hidup Joseph bagi diriku?Apakah aku akan mengusahakan kebajikan-kebajikan tersebut?Kita tahu dari pengalaman sehari-hari, betapa sulitnya menunjukkan pengertian dan cinta yang sabar terhadap sesama. Dapatkah teladan orang kudus ini mendorong dan membantu kita untuk melatih diri dalam cinta dan kebaikan hati yang terwujud dalam pelayanan tanpa pamrih? Bagaimana sikapku terhadap orang yang bersikap acuh tak acuh dan yang sama sekali tidak menunjukkan cinta padaku? Iman tidak menyembuhkan persoalan dan kesulitan tetapi memberi kekuatan serta keberanian untuk melihat masalah sebagaimana adanya. Apakah saya menerima bahwa Allah bertindak dengan cara berbeda, daripada apa yang saya harapkan dan inginkan merupakan soal iman. Seringkali Allah mengatur sesuatu sedemikian rupa sehingga melalui kekecewaan, krisis dan penderitaan, saya sampai pada suatu relasi dengan-Nya yang tidak mungkin terwujud tanpa pengalaman yang tidak menyenangkan. Apakah aku sanggup melihat bahwa rintangan-rintangan dalam hidup dapat membuat diriku terbuka terhadap kehadiran Allah yang melingkungi aku?Dapatkah aku mengerti bahwa krisis yang datang dari Allah merupakan perwujudan cinta yang dapat mendewasakan dan memperkaya hidupku?
Melayani dalam Hal Kecil dengan Sepenuh Hati
hari ini kamis 31 Januari 2008, 9 frater menerima tahbisan diakonat dari Mgr. Herman Yosef Pandoyo Putro, O Carm di Katedral Malang. 9 Frater itu adalah Fr. Agus Yustinus SVD, Fr. Emut SVD dan Fr. Markus Situmorang, SVD, 3 lagi dari Ordo Carmel dan 3 dari SMM. Ada tiga hal yang sempat direkam penulis tentang diakon sebagai pelayan:
1. Para diakon menjadi pelayan berangkat dari bekal yang telah dimiliki dan di dalami selama masa formasi. Kharisma ordo dan spiritualitas Serikat sebagai kekayaan untuk melaksanakan tugas perutusan sebagai seorang diakon
2. Mendalami iman yang rasional selama pendidikan di STFT adalah satu kekayaan tersendiri sebagai modal bagi kelancaran tugas karya pelayanan.
3. Menghidupi point satu dan dua di atas dalam sebuah relasi yang mendalam dengan Tuhan dalam Doa sebagai kekuatan bagi tugas pelayanan kepada sesama.
Dalam sambutan, Diakon Markus Situmorang SVD di komunitas Seminari Tinggi SVD "Surya Wacana" Malang, menyampaikan bahwa hakekat diakon adalah menjadi pelayan sabda, altar dan karya amal. Pekerjaan dan pelayanan sesederhana apapun adalah mulia dan suci. Maka jangan pikir yang muluk-muluk, tetapi melayanilah dalam hal sederhana, kecil dengan sepenuh HATI.
Apakah kita masih ingat pesan - pesan iman ketika dithabis menjadi diakon? Atau pesan itu sudah mulai susut termakan oleh usia kita? Hehehehe.. ini merupakan penggemaan kembali pesan tahbisan diakonat yang pernah kita alami.....
Selasa, 29 Januari 2008
Apakah Agama Katholik bukan sebagai satu Primordialisme Baru?
___Refleksi atas Tulisan Dr. Budi Kleden____
Setiap manusia religius menerima sang kekuatan ilahi atau wujud tertinggi. Biarkanlah setiap kehidupan religius berkembang seperti rumput di musim hujan yang memberi keindahan alam. Jangan membawa dan mewartakan atau mengajarkan satu kehidupan religius menjadi superior terhadap yang lain. Janganlah mengindoktrinasikan bahwa hidup religius yang kuanuti lebih sempurna dari kehidupan religius yang dianuti oleh orang lain. Menguasai kehidupan religius kelompok lain adalah sama dengan membakar bensin dengan api. Agama Katholik masuk Cina menghadapi budaya dengan kehidupan religiusnya tersendiri. Penolakan terhadap cara religius lain atau mengusai kehidupan religius lain hanyalah sebuah pembunuhan atau pengaborsian terhadap kehidupan wujud tertinggi dan pertumbuhan religius dalam kandungan rahim kebudayaan yang dikuasai atau diobyekkan. Perilaku religius yang demikian merupakan satu misi tanpa permisi dan sangat tidak tahu adat dan bahkan melanggar kemanusiaan. Pertanyaan iman sekaligus filosofis apakah agamaku yang kuwartakan dengan semangat empat lima, bukan merupakan satu primordialisme gaya baru? Bukan, kalau semakin religius semakin berkemanusiaan. Ya, kalau semakin beriman semakin tidak berkemanusiaan. Agama-iman-kehidupan religius dan kemanusiaan adalah tiang-tiang penopang yang mengokohkan setiap perziarahan iman menuju sang kesempurnaan yang mengandung yang ilahi dan kemanusiaan dan melahirkan dua anak kembar itu kepada umat manusia untuk membentuk hati dan gaya hidup manusia agar semua manusia memiliki SATU HATI dalam ANEKA WAJAH.
----------------------------------
Melampaui primordialisme
(Mengenang 100 tahun wafatnya misionaris Yosef Freidanemetz)
Oleh : Dr. Paul Budi Kleden
-----------------------------------------
Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores. Lahir di Waibalun, Larantuka, 16 November 1965. Mulai belajar filsafat dan teologi di STFK Ledalero, 1986. Tahun 1988 belajar lanjut di Universitas Wina, Austria dan meraih gelar magister teologi. Tahun 1993 ditahbiskan menjadi imam di Wina. Tahun 2000 meraih gelar doktor dalam bidang teologi di Albert Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman. Sejak Mei 2001 menjadi staf pengajar pada STFK Ledalero. Menulis beberapa buku teologi dan filsafat.
-----------------------------------------
SALAH satu ciri dasar manusia adalah kesanggupan bertransendensi. Dengan daya imaginasi, pikiran dan perasaannya, manusia mampu melampaui batas-batas yang sudah digariskan dan telah dipandang baku. Ikatan-ikatan tradisional dan alamiah dilampaui, manusia membuka bagi dirinya segudang kemungkinan baru. Peluang untuk bereksperimen terhampar di hadapannya. Apabila kemungkinan-kemungkinan baru itu ternyata lebih meningkatkan kualitas hidup, maka batas yang alamiah dan tradisional pun digeser. Batas-batas lama itu sebaliknya diperkuat, jika eksperimen manusia mengantarnya pada lebih banyak masalah. Kemajuan hanya tercapai karena kesanggupan bertransendensi. Ilmu pengetahuan dapat bertumbuh karena adanya daya bertransendensi, juga perkembangan peradaban manusia hanya dapat lahir dari rahim daya ini.
Religiositas, daya manusia untuk melampaui ruang dan waktu untuk bersentuhan dengan yang Tak Terbatas, yang Ilahi dan Kekal, adalah satu bentuk kesanggupan bertransendensi yang sudah sangat berperan sebagai satu daya ubah sejarah dan peradaban. Dalam keyakinan agama-agama, bakat religius atau daya trasendensi ini adalah akibat dari sentuhan Yang Kekal dan Ilahi itu sendiri. Manusia sanggup bertransendensi, karena Yang Transenden telah mendatanginya terlebih dahulu. Terdorong oleh keyakinan religius, banyak orang bersedia mengatasi berbagai ikatan primordial dan alamiahnya. Ikatan dan kewajiban keluarga direlativisasi untuk memenuhi sebuah panggilan religius. Ideologi negara dan kerangka budaya dilampaui ketika berbenturan dengan pandangan religius. Itu bukan berarti bahwa semua ikatan itu tidak penting dan tidak bernilai. Dalam kesanggupan bertransendensi itu ikatan-ikatan itu tidak dialami lagi sebagai yang membelenggu, dan batasan-batasan itu tidak lagi menjadi penjara.
Dorongan ini menjadi sangat nyata dalam agama-agama dunia. Selalu saja ada orang yang melintasi ikatan keluarga, melampaui batas wilayah dan budayanya, untuk bertemu dengan berbagai kelompok manusia demi sebuah panggilan keimanan. Panggilan keimanan itu tidaklah lain dari penerusan kesadaran dan pengalaman, bahwa setiap manusia dan seluruh dunia adalah ciptaan dari Yang Kekal dan Ilahi, dan karena itu mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil dan bertanggung jawab. Dalam tradisi kekristenan, mereka ini disebut dan dikenal sebagai misionaris.
Namun bukan mustahil, ketika melampaui berbagai batas itu, seorang misionaris justru membangun sebuah perangkap bagi dirinya sendiri. Agama yang diwartakannya menjadi sebuah ikatan primordial baru, yang mengurung dirinya dan orang lain dalam sebuah kesempitan. Ikatan keagamaan dapat menjadi sebuah belenggu yang tidak memerdekakan. Ketika inti transendensi religius diabaikan, maka agama-agama dunia justru melupakan dan meminggirkan manusia dan dunia, membiarkan dirinya menjadi kerangka pemikiran yang membenarkan penghancuran atas manusia lain dan eksploitasi penuh kerakusan atas alam. Pada saat seperti ini, agama-agama dunia mengingkari dirinya sebagai agama-agama dunia.
Mengatasi bahaya penyempitan doktrinal seperti ini, semangat transendensi mesti selalu diwartakan ke dalam agama-agama. Triumfalisme merupakan bahaya yang mengantar kepada idolatri atau pemberhalaan agama. Karena itu, peringatan sosok-sosok dalam sejarah agama-agama yang telah menunjukkan apa makna sebenarnya dari transendensi religius, dapat membantu membongkar penyempitan itu. Salah seorang tokoh seperti itu adalah Yosef Freidanemetz, salah satu dari dua misionaris perdana Serikat Sabda Allah (SVD) yang dikirim ke China.
Yosef dilahirkan pada tanggal 15 April 1852 di Abtei, Oies, sebuah kampung kecil yang dikitari gunung-gunung yang menjulang. Sekarang wilayah itu menjadi bagian dari negara Italia. Yosef bergabung dalam serikat misi SVD yang baru saja didirikan Arnold Janssen pada tahun 1875. Saat bergabung, Yosef sudah ditahbiskan sebagai seorang imam. Sudah lama dia memendam dalam dirinya semangat untuk melampaui batas primordial yang dikenalnya saat itu. Pada tahun 1879 dia diutus ke China. Tentang perpisahannya dari keluarga, Yosef kemudian menulis: "Saya tidak mau melukiskan adegan-adegan perpisahan di rumah orangtuaku. Tiap-tiap orang bisa membayangkannya. Jangan orang lupa bahwa misionaris juga manusia seperti tiap orang lain. Di dalam dadanya terdapat juga sebuah hati yang penuh rasa. Dia juga berpikir dan merasa sebagai manusia. Dia melihat ayah yang baik dan ibu tercinta yang penuh kelembutan, dan delapan saudara/inya yang diliputi dukacita dan menangis... Cukup! Saya meminta berkat dari ayah lalu saya memberi berkat imam kepada sanak keluarga. Pada altar (keluarga) kami mengukuhkan ikatan kami, lalu saya meninggalkan Abtei, desaku tercinta, barangkali untuk tak kan melihatnya kembali" (dikutip dalam buku "Hidup - Mati untuk China. Mengenang 100 Tahun Wafatnya Santo Yosef Freinademetz", Maumere: Ledalero 2008, hlm. 4). Ikatan keluarga dikukuhkan, namun bukan untuk membelenggu, melainkan untuk mendukung sebuah pengembaraan seorang misionaris.
Dorongan untuk melampaui batas-batas primordial dari seorang misionaris dapat pula membantu orang lain untuk memperluas carkrawalanya sendiri dan melihat kebutuhan-kebutuhan lebih luas. Hal ini menjadi nyata misalnya dalam diri Uskup Brixen, Mgr. Gassner. Dia memang sangat membutuhkan imam muda Freinademetz yang penuh semangat dan dedikasi dalam pelayanan umat di keuskupannya di Italia. Namun dia juga sadar bahwa di tempat lain ada kebutuhan yang penting dan mendesak, yang harus ditanggapi. Sebab itu, menanggapi surat Arnold Janssen yang meminta restunya membiarkan Freinademetz bergabung dengan SVD, Uskup Gassner menulis: "Sebagai Uskup Brixen saya katakan: Tidak; tetapi sebagai uskup Katolik saya katakan ya. Nah, silakan mengambil puteraku Freinademetz, dan jadikan dia seorang misionaris sejati" (ibid., hlm. 8).
Freinademetz, dalam semangat zamannya, pergi ke China dalam satu semangat misi yang triumfalistis. Dia merasa membawa terang ke tengah kegelapan, dan ini dilihatnya sebagai legitimasi bagi penghargaan dan ketaatan orang-orang yang akan didatangnya. Tetapi justru yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki keyakinan yang mendalam akan kuasa ilahi, orang-orang yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Selama bertahun-tahun hidup di China, dalam melayani karya misi di China dengan berbagai peran, entah sebagai pastor paroki, sebagai pembesar serikat atau sebagai wakil uskup, dan terakhir sebagai perawat para penderita tipus, dia menjalani sebuah jalan panjang pertobatan batin.
Kerendahan hati di hadapan kebudayaan lain, masuk ke dalam pola pikir orang lain, dan dari dalam membantu transendensi sosial dan kultural dari masyarakat tersebut, inilah yang menjadi tugas seorang misionaris. Freinademetz sadar akan hal ini. Dia menulis, tugas pertama seorang misionaris adalah 'mengadakan perubahan dalam batin: mempelajari pandangan hidup orang China, adat dan kebiasaannya, sifat dan bakat pembawaannya, dan ini bukan soal gampang yang dapat selesai dalam satu hari, tidak juga dalam satu tahun'.
Hanya dari kesediaan untuk mengatasi batasan kesempitan pandangan sendiri tentang orang lain, seorang misionaris dapat menemukan daya transformatif yang ada di dalam agama dan kebudayaan lain. Dalam kerangka berpikirnya, mungkin saja kebudayaan lain disebut sebagai yang tidak beriman, namun ada banyak kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang terbuka dan berdaya ubah. Freinademetz pernah mencatat: "Saya harus mengakui bahwa selama 23 tahun brada di China, saya tidak kehilangan sesuatu dari cinta saya terhadap orang-orang China. Sebagai satu bangsa yang tidak beriman (Kristen), mereka adalah dan tetap bangsa yang dibanggakan, yang tidak ada duanya di dunia, yang memiliki keistimewaan begitu banyak" (ibid., hlm. 12). Cinta dan penghargaan inilah yang sanggup membuat Freinademetz melakukan transendensi yang terus menerus, yang dapat mengubah pandangannya tentang orang lain dan melampaui penilaiannya mengenai budaya lain. Ini dilihatnya sebagai konsekuensi dari sentuhan Yang Transenden, yang tak bisa dan tak boleh dikurung atau dibelenggu dalam wadah agama manapun.
Pada tanggal 28 Januari 1908 Freinademetz meninggal karena terjangkit tipus yang diderita dari para pasien yang dirawatnya di Taikia. Dalam revolusi pada tahun 50-60-an, makamnya di Taikio dihancurkan, tulang-tulangnya dibakar dan abunya dihamburkan di tanah. Dia menyatu dengan masyarakat dan tanah China. Daya transendensi inilah terutama menjadi alasan keyakinan gereja untuk melihatnya dalam dirinya karya istimewa Tuhan sendiri. Sebab itu, pada tanggal 19 Oktober 1975 dia dibeatifikasi, dan pada tanggal 5 Oktober 2003 digelar sebagai orang kudus.
Bersama banyak orang lain dari berbagai agama lain, Freinademetz menjadi salah satu inspirasi bagi bangkitnya agama-agama di negara China yang secara resmi berideologi komunis. Ya, setelah rezim komunis mengambil alih kepemimpinan di China pada 1949, agama-agama mengalami mimpi buruk. Masa gelap ini dimulai dengan banyak aksi kekerasan negara, baik terhadap para misionaris, para biarawan/ti pribumi dan awam. Para misionaris dipaksa keluar dari China. Dari 300 lebih anggota SVD yang bekerja di China, pada tahun 1955 tinggal hanyalah 15 imam dan 19 bruder orang asli China. Selanjutnya negara mengontrol secara ketat kehidupan beragama. Kelima agama resmi China (Buddhisme, Taoisme, Islam, Protestan dan Katolik) berada sepenuhnya di bawah awasan aparat negara. Untuk mendukung patriotisme dan komunisme, Gereja Katolik mesti dipisahkan dari Roma. Maka pada tahun 1957 dibentuklah Perkumpulan Patriotis Gereka Katolik China, atau Gereja Patriotis. Bagai makan buah si malakama, di bawah tekanan pemerintah, banyak orang Katolik tidak melihat adanya pilihan lain selain mengikuti regulasi negara demi mempertahankan imannya. Karena itu, menjadi anggota Gereja Patriotis bukanlah satu pilihan karena orang hendak memberontak terhadap Roma, melainkan satu keputusan yang lahir dari kesetiaan kepada iman Katolik di tengah himpitan kesulitan.
Represi pemerintah ternyata tidak dapat memadamkan daya transendensi manusia. Karena itu, kendati di bawah tekanan penmerintah, agama-agama berkembang pesat di China. Tak berlebihan ungkapan seorang sarjana China kepada seorang misionaris SVD: "Apa yang dibutuhkan oleh China sekarang adalah agama". Di dalam agama orang menemukan kekuatan dan inspirasi untuk membangun masyarakat. Konsep tentang Allah dan manusia, pandangan tentang harkat dan hak-hak asasi manusia merupakan gagasan-gagasan yang dicari. Tidak sedikit warga menemukan jalan ke agama-agama, termasuk agama-agama Kristen. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang muda dan kaum cendekiawan.
Menurut perkiraan pada tahun 2005, jumlah orang Protestan sekitar 50 juta (ada yang menyebut 80 juta atau 5 persen dari jumlah penduduk seluruhnya). Sementara jumlah orang Katolik dewasa ini sekitar 13 juta manusia (sekitar 1 persen). Pada tahun 2005, tercatat 1800 imam dari gereja patriotis China, dan tidak kurang dari 1000 imam yang melayani gereja bawah tanah. Sebagian besarnya adalah orang-orang muda. Di seluruh China ada 19 seminari, masing-masingnya memiliki 10 sampai 20 calon yang masuk setiap tahun. Diperkirakan jumlah total calon imam sekitar seribu orang. Sekitar 3600 suster dari gereja patriotis, sementara dalam gereja bawah tanah berkarya 1200 orang suster.
Perkembangan di China menunjukkan bahwa keimanan merupakan daya transendensi manusia yang sanggup membuatnya melampaui ikatan-ikatan primordial. Memperhatikan situasi agama-agama di China dewasa ini, memperingati para misionaris yang pernah berkarya di China dapat merupakan momen yang penting untuk mengingatkan agama-agama agar terus mengawasi diri supaya tidak jatuh ke dalam bahaya penyembahan berhala. Agama yang sadar akan bahaya ini, tidak akan membiarkan diri menjadi kerangka untuk melegitimasi pembelengguan masyarakat secara politis dan sosial. Beriman berarti merelativisasi ikatan-ikatan primordial. *
Bahasa Cinta adalah Bahasa Asing yang Dimengerti "Orang Kafir" termasuk Suku Bunaq (Refleksi Kontekstual Atas Pemikiran Santo Joseph Freinademetz)
Hari ini Selasa 29 Januari 2008, Societas Verbi Divini (SVD) merayakan seabad meninggalnya Santo Josep Freinademetz. Perayaan ini bukan misa arwah. Perayaan ini adalah perayaan kebangkitan Santo Josep Freinademetz. Perayaan ini adalah perayaan kehidupan abadi. Perayaan ini adalah perayaan membangkitkan kembali ide-ide gemilang Santo Freinademetz bagi kita para misionaris pada zaman ini. Perayaan ini adalah satu perayaan yang meneguhkan misionaris oleh teladan Santo Freinademetz yang mendharmabhaktikan seluruh hidupnya hanya untuk Cina.
Perayaan kehidupan abadi yang bagaimana? Secara fisik Josef Freinademetz sudah tidak ada lagi. Tetapi secara rohani Josep masih tetap hidup. Ada tiga hal pokok yang mengungkapkan bahwa terbukti masih ada kehidupan kekal Santo Joseph Freinademetz yang kita alami dan rasakan dewasa ini di dalam perziarahan iman kita menuju kesempurnaan dalam Allah.
Pertama, kata-katanya yang langsung keluar dari dirinya, merupakan satu ungkapan iman dan teladan hidup yang mendalam bagi kita yang hidup pada zaman ini dan bagi semua yang akan hidup pada zaman yang akan datang di dunia sebagai kemah sementara ini. Kata-katanya itu terdapat dalam surat-surat pribadi dan refleksi pribadinya.
Satu kalimat asli yang keluar dari Santo Josep Freinademetz yang selalu hidup dalam diri saya adalah "Bahasa Kasih merupakan Bahasa Asing yang dapat dimengerti oleh semua orang, baik orang beragama maupun orang kafir". Penulis menangkap kalimat hidup Santo Josep Freinademetz itu, tekanan utamanya terletak pada pelayanan dan tugas yang diberikan kepada Josep, yang dia lakukan pertama-tama dengan HATI. Dimanapun kita lihat, kebanyakan orang memberi simbol KASIH dengan HATI. Hati menjadi pusat cinta dan pelayanan Josep.
Hati yang bagaimana? Hati yang seperti apa? Hati itu adalah Hati Terkudus Yesus sumber Bahasa Kasih yang sejati. Ini adalah kata yang menegaskan bahwa Josep masih tetap hidup dalam pikiran, hati dan tingkahlaku serta tugas pelayanan kita, kalau teladannya itu menjadi contoh yang patut kita hidupi dalam diri kita.Kedua, Josep tetap hidup dalam relasi kita dengan dia secara rohani. Relasi rohani mengatasi relasi yang hanya dibatasi oleh fisik, harta kekayaan, kegantengan atau kecantikan atau materi lainnya. Relasi rohani ini adalah relasi yang terungkap secara konkret dalam doa-doa kita kepada Allah lewat perantaraan Santo Josep Freinademetz sebagai orang kudus bersama para kudus di sekeliling Allah melayani Allah dan mendoakan kita manusia di dunia ini agar kita tetap setia kepada Allah dalam sebuah benteng komitmen yang kokoh di tengah-tengah tembakan peluruh tantangan dan godaan zaman. Doa-doa yang keluar dari hati yang tulus dan bersih, sungguh menjadi sebuah doa persembahan yang layak di hadapan Allah.Ketiga, Kehidupan Sempurna dalam Allah, yang telah dialami Santo Joseph Freinademetz di surga. Santo Josep Freinademetz berbahagia di surga bersama persekutuan para kudus dan para malaekat yang selalu memuji Tuhan di sekitar altar Allah di Surga dan yang selalu mendoakan kita sebagai anggota Gereja yang sedang berziarah di bumi ini sebagai kemah sementara dan Gereja yang sedang menderita di dunia dan di tempat pemurnian api penyucian. Doa-doa para santa dan santo serta para malaikat di surga berorientasi menyelamatkan semua dan menuntun semua kepada Allah di Surga sumber kesempurnaan sejati. Santo Yosep doakan kami agar kami setia menghidupi bahasa Kasih dalam teladan hidup kami bagi dunia.
Santo Joseph Freinademetz diakanlah Keluarga-keluarga dalam Suku Bangsa Bunaq yang hidup tanpa bahasa Kasih. Semoga lewat perantaraan doa-doamu bersama para kudus dan para malaekat di surga, hati manusia suku Bunaq dikuasai oleh Hati Tuhan Yesus yang penuh Kasih. (bacajuga www.benymaly.blogspot.com dan www.benymali.blogspot.com dan www.lalgomo.blogspot.com Ketiga blog itu adalah tigaserangkai saling melengkapi)
Minggu, 27 Januari 2008
Suku Bunaq Berbelasungkawa atas Wafatnya Pak Harto
Pada hari ini tepat pukul 13.10 Waktu Indonesia Barat, Pak Harto meninggal dunia, di rumah sakit Pertamina Jakarta. Setelah meninggal Jenazah Pak Harto disemayamkan di Kediaman cendana. Direncanakan pemberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo, pada hari Senin 28 Januari dan langsung dimakamkan.
Putera dan puteri bangsa Indonesia dari pulau Cendana, khususnya Suku Bangsa Bunak dari pinggiran yang nyaris tak terjangkau mengucapkan Selamat Jalan kepada Pak Harto dan semoga Yang Maha Kuasa memberi tempat bahagia di Surga. Doa kami menyertaimu di jalan menuju Rumah Bapa di surga.
Teladan Baikmu selalu kami kenang dalam pikiran dan kami hidupi dalam hidup kami sebagai Putera dan puteri bangsa Indonesia berasal dari Suku Bunak. Sebagai putera dan puteri bangsa Indonesia, dari suku Bunak berbelasungkawa bersama keluarga yang ditinggalkan. Kediamanmu cendana mengharumkan namamu Pak Harto. Harumnya parfum cendana dibawa serta menuju Surga menghadapi Sang Pemilik kehidupan. Itulah "gift" istimewa untuk sang pemilik kehidupan di Surga. Salam kepada Santo Arnoldus Janssen dan Santo Josef Freinademetz di Surga dari keluarga besar SVD di dunia. Penulis yakin kedua Santo itu sangat senang karena cendana yang dibawa kesurga untuk tetap mengharumkan suasana surga. Peran pulau cendana, penghasil parfum alamiah itu bukan hanya di kediamanmu di cendana, tetapi akan terus sampai di Surga. Salam untuk Tuhan Allah yang menciptakan kita manusia sebagai citraNya dan memiliki kemanusiaan yang sama.
Satu Pencipta dan satu kemanusiaan inilah menyatukan kita, bangsa yang aneka budaya dan suku bangsa ini, baik di dunia sebagai kemah sementara ini maupun di Surga sebagai kemah/kediaman abadi dan kekal. Pola ini menyatukan kita termasuk dalam berduka atas kepergian pak Harto. Kemah abadi adalah tempat tinggal para Santo dan Santa yang selalau berbahagia melayani Tuhan dan mendoakan manusia di dunia agar selalu sehat setia kepada Tuhan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Suara Si Sulung Imam SVD dari Suku Bangsa Bunaq
Pada hari ini hari Minggu 27 Januari 2008. Penulis berbagi pengalaman bersama putera sulung Imam dari Suku Bangsa Bunaq. Siapa dia? Pater Yustus Asa, SVD. Beliau saat ini menjadi Vikjen Keuskupan Atambua. Penulis setelah misa di Soverdi Surabaya dan sarapan pagi, berdiskusi tentang figur ideal pemimpin Gereja Lokal di kamar no 10 Soverdi Surabaya. Beliau sudah banyak makan asam garam dalam dunia kepemimpinan. Sebelum menjadi Vikjen Keuskupan Atambua, beliau telah menjadi provinsial Provinsi SVD Timor.
Dalam diskusi itu, penulis menangkap satu hal yang sangat menarik yaitu seorang Uskup atau provinsial atau presiden atau Presiden suku adalah figur bijak publik sekaligus menjadi nabi. Perkataan yang dilontarkan harus dipertimbangkan secara matang bukan hanya dari perspektif logika tetapi harus dari perasaan bijak. Mengapa? Karena pemimpin Gereja Lokal atau pemimpin adat atau pemimpin negara adalah seorang figur yang menjadi pusat perhatian massa.
Terutama dalam forum-forum resmi seorang pemimpin gereja lokal atau internasional harus mempertimbangakan secara matang apa yang akan disampaikan kepada publik. Pemimpin menyuarakan suara rakyat atau umat yang dipimpinnya dengan satu kebijaksanaan dan pertimbangan logika yang matang. Dengan demikian penampilannya membawa kesejukan kepada umat atau masyarakat yang dipimpinnya. Umat atau masyarakat melihat pembicaraan pemimpin di forum sebagai satu pembicaraan yang serius dan resmi. Oleh karena itu, sebelum berbicara, seorang pemimpin harus mempertimbangkannya dengan logika yang matang dan dalam suatu koridor kebijaksanaan sehingga tidak membawa satu akibat yang fatal bagi masyarakat atau umat pada umunya. Dalam sebuah forum resmi, seorang pemimpin berbicara main-main atau guyunan atau serius, semuanya itu massa atau umat tanggapi secara serius. Barangkali ini adalah salib bagi seorang pemimpin.
Kematangan pemimpin teruji dalam pengalaman. Ketidakmatangan atau gegabahnya seorang pemimpin yang tidak bijak dalam berbicara akan rubuh sendiri dalam masa kepemimpinannya. Massa atau umat akan menarik kembali kepercayaan yang telah diberikan kepadanya dan akan memberikan kepada pemimpin berikut.Pemimpin kehilangan kepercayaan publik.
Pengalaman ini diungkap Pater Yustus Asa, SVD karena semuanya itu lahir dari pengalamannya selama menjadi pemimpin dalam Serikat SVD maupun dalam Keuskupan Atambua sebagai Vikjen. Penulis sebagai anak muda sangat senang hari ini karena mendapat pengalaman yang sangat berarti bagi penulis yang masih sangat balita dalam soal kepemimpinan dalam Gereja maupun di dalam Serikat Sabda Allah. Pengalaman Pater Yustus Asa, SVD ini memberi kekuatan dalam perjalanan panggilan penulis.
Pater Yustus Asa, SVD juga sangat peduli pada kaum biarawan dan biarawati yang berasal dari Suku Bunaq. Menurut daftar yang ada di tangan Pater Yustus Asa, SVD, sudah lebih dari 75 orang yang berjuba dari bangsa Suku Bunaq. Suku Bunaq saat ini memiliki tiga (3) buah paroki yaitu Paroki St. Theodorus Weluli, Paroki Ratu Damai Fulur dan Paroki St. Gerardus Nualain. Jumlah ini adalah buah-buah penanaman iman oleh para misionaris yang berkarya menjalankan tugas perutusan Tuhan di Suku Bunaq. Buah sulung pertama adalah Pater Yustus Asa, SVD. Beliau adalah putra sulung imam dari Suku Bunaq.
O ya... Keberadaan Pater Yustus Asa, SVD di Surabaya bukan untuk jalan-jalan tanpa tujuan. Beliau datang ke Surabaya mengadakan pemeriksaan Kesehatan. setelah pemeriksaan, beliau perlu pengobatan jalan. Trimakasih banyak pater atas pengalamanmu yang sangat memperkaya penulis yang masih sangat muda ini.
Langganan:
Postingan (Atom)