Jumat, 30 Mei 2008

KEPEKAAN SOSIAL DAN AMBISI

Media IndonesiaRabu, 30 April 2008 07:31 WIB Kenaikan Yesus, Solidaritas Sosial dan Spiritual PowerDitulis oleh : Christian Wijaya, Alumnus Sekolah Tinggi Teologi JakartaKENANGAN atas penderitaan Yesus di kayu salib, mengundang kita untuk melihat realitas makna salib di Indonesia. Fenomena kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya di Tanah Air-–baik secara langsung atau tak langsung-–telah memperburuk kondisi sosial dan kemanusiaan kita. Semua itu sesungguhnya bermakna sebagai antrean panjang para korban bencana kemanusiaan yang sedang menunggu untaiansolidaritas sosial.Namun, di pihak lain, elite kekuasaan kita justru sibuk saling tuding terhadap lawan politik sebagai tukang tebar pesona atau janji kepada para korban bencana kemanusiaan itu. Para korban bencana kemanusiaan sering dijadikan sebagai objek politik, sedangkan penderitaan mereka dijadikan sebagai objek bagi politikus untuk mengangkat popularitas di depan publik. Subjek tebar pesona adalah politikus, sedangkan subjek sejati solidaritas sosial adalah masyarakat korban. Pilatus dan para pemimpin agama pada masa itu memilih eros politik, sedangkan Yesus memilih etos solidaritas sosial.Solidaritas SosialKenangan atas penderitaan Yesus di kayu salib seharusnya mengundang setiap elite kekuasaan untuk mengubah eros politik menjadi spiritualitas politik. Dalam perspektif iman, penderitaan selalu memiliki 'blessing in disguise'. John Gray, seorang penulis ternama Inggris pernah menulis, "Semua penderitaan merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh."Sering dalam perjumpaan dengan orang-orang seiman, penulis bertemu orang yang bermental kuat seperti Victor Frankl. Frankl adalah seorang psikolog berdarah Yahudi. Suatu ketika Frankl disekap dalam kamp konsentrasi maut Nazi, tempat dia mengalami penderitaan lahir-batin akibat penyiksaan di luar batas-batas kemanusiaan.Meskipun demikian, di tengah penderitaan yang tidak terperikan itu, Frankl ternyata masih selalu bisa menimba surga kegembiraan berkat imannya kepada Tuhan. Iman (dalam kepercayaan/agama apa pun) juga adalah termasuk kemampuan untuk bisa melihat harapan di tengah situasi-kondisi yang 'tanpa pengharapan'.Kenaikan Yesus Kristus ke surga, mungkin lebih tepat jika disebut Yesus kembali ke surga karena memang dari sanalah Dia semula berasal. Dia turun ke dunia untuk memperlihatkan kasih Allah dan bagaimana nilai-nilai surgawi harus dihayati dalam kehidupan dunia ini.Karena itu, peringatan Yesus kembali ke surga kali ini seyogianya dijadikan sebagai momentum untuk menyadari pesan suci Dia bahwa dalam situasi-kondisi apa pun di dunia, kita harus tetap bisa mengupayakan dan menghadirkan nilai-nilai surgawi seperti cinta-kasih, perdamaian, pengampunan, ketabahan, dan solidaritas sosial dan kemanusiaan bagi mereka yang tengah menderita.Betapa pun besar rintangannya, solidaritas sosial dan kemanusiaan harus tetap kita perjuangkan, khususnya dalam menghadapi berbagai krisis di Indonesia. Ini merupakan suatu perjuangan heroik yang belum selesai, namun sayangnya rasa kebersamaan kita masih terpuruk.Padahal, kita tengah menghadapi realitas tingginya angka kemiskinan di Tanah Air, baik masyarakat yang masih di lingkaran kemiskinan maupun di bawah garis kemiskinan, dengan berbagai dampak buruknya. Sebagian lagi memang hidup di atas garis kemiskinan atau bahkan berada dalam strata kehidupan yang berkecukupan, namun tidak pernah atau kurang peduli untuk berbagi rasa dan membantu rakyat kecil yang serbakekurangan.Dalam doktrin Kristen ditetapkan bahwa salib Yesus merupakan simbol antara keadilan dan kasih Allah. Artinya, semua pengikut Kristen wajib memerhatikan sesama manusia dan memperlakukan setiap orang tanpa pandang bulu, secara adil. Namun dalam tataran praktik, perjuangan akan hak seolah-olah menjadi segala-galanya, sehingga sering melupakan kewajiban. Misalnya kewajiban untuk menghormati hak orang lain dan kewajiban untuk memerhatikan kepentingan bersama.Yesus melalui jalan salib telah mewujudkan kasih Allah, yaitu berjiwa besar untuk mengampuni manusia dengan mengambil alih hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada manusia. Dia selalu rela mengorbankan diri-Nya untuk kepentingan sesama, yaitu semua manusia berdosa. Masalahnya, bagaimana umat Kristen memahami perannya itu di tengah-tengah masyarakat pada masa kini yang dilanda krisis hati nurani, moral dan kepentingan bersama?Tuntutan atas hak setiap orang yang populer sebagai hak asasi manusia (HAM) sangat menonjol akhir-akhir ini. Kita melihat demonstrasi marak di mana-mana sebagai ungkapan/wujud perjuangan HAM yang didasarkan atas tuntutan keadilan. Namun dalam realitas, dibandingkan dengan kewajiban, keadaannya sering tidak seimbang.Spiritual powerKeikhlasan Yesus dalam berkorban untuk solidaritas sosial dan kemanusiaan telah mengangkat Dia kembali ke surga. Hal itu timbul dari kekuatan spiritual (spiritual power). Spiritual power (SP) yang bisa dibangkitkan dari dalam diri setiap individu ini merupakan suatu kesadaran riil. Kesadaran bahwa diri kita memiliki sesuatu yang dapat diberikan untuk kepentingan komunitas yang lebih luas.SP membangkitkan kesadaran riil bagi individu berjiwa besar, dan mengalir menjadi kesadaran potensial. Bukan hanya bisa tumbuh pada diri seorang anak kecil yang rela berbagi dan memberikan apa yang dimiliki untuk suatu komunitas umat manusia, tetapi juga akan mendorong semakin banyak orang yang mau membagi potensinya dengan target sasaran yang jelas.Ini merupakan suatu akumulasi dari seluruh potensi yang dapat didayagunakan untuk memperbaiki/ meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas tanpa memandang perbedaan agama, kesukuan, bangsa, kewarganegaraan, partai, dan golongan. Akumulasi potensi tersebut akan mendorong setiap orang untuk bersinergi, saling mengisi dan melengkapi dalam mengupayakan pembangunan kualitas kehidupan sosial dan kemanusiaan yang lebih baik.Kebangkitan SP akan mengikis habis sikap mental ketergantungan yang hanya mau menerima sesuatu untuk dirinya sendiri tetapi tanpa mau memberi kepada orang lain. Buanglah mentalitas egois yang mendominasi diri kita. Saatnya kini kita harus segera membasmi mentalitas diri yang kerdil, minoritas, dan merasa tidak bisa berbuat banyak bagi kepentingan sesama secara universal. Selama mentalitas itu bercokol di hati para pemimpin, masyarakat yang dipimpin sulit untuk maju.Kini kita membutuhkan para pemimpin yang mampu membangkitkan SP, karena kehadiran mereka di setiap lini kehidupan akan mendorong adanya kemajuan sosial dan kemanusiaan sesuai dengan spirit kenaikan Yesus Kristus.Terutama di tengah mentalitas para pemimpin, kondisi bangsa dan rakyat yang sedang terpuruk. Dalam keterbatasan dana/sumber daya yang ada, spirit kenaikan Yesus dan pengorbanan-Nya diharapkan akan mampu membuat mentalitas mereka pantang menyerah dalam mengangkat harkat, martabat, dan nasib rakyat kecil tanpa bergantung pada uluran tangan dengan motif-motif kepentingan yang sempit.

Tidak ada komentar: