Minggu, 12 Oktober 2008
SULIT KOTBAH MISA ARWAH (I)
Tuhan Mengundang Semua Memasuki PerjamuanNya
HMB XXVIII A
Yes 25 : 6 - 10a ,
Flp 4 : 12 – 14. 19 – 20
Mat 22:1– 14
Pengantar
Beberapa kali komunitas kita menerima undangan resepsi pernikahan. Biasanya mereka yang mengirim undangan itu menulis di salah satu pojok undangan dengan tulisan demikian : “Undangan berlaku hanya untuk satu orang. Tamu harus membawa undangan saat menghadiri resepsi pernikahan”. Tentu saja orang yang mengundang membatasi orang yang diundang karena memiliki alasan yang masuk akal yaitu materi, tenaga dan waktu yang terbatas.
Biblis
Sama saudara yang terkasih. Hari ini kita mendapat undangan yang tidak ada tulisan seperti undangan resepsi pernikahan yang biasa kita terima. Undangan perjamuan nikah yang kita terima hari ini bertolakbelakang dengan undangan di atas. Undangan perjamuan nikah yang kita terima pada hari ini berlaku untuk umum. Undangan ini terbuka bagi semua orang yang dicirikan aneka wajah, aneka budaya, suku dan agama. Undangan ini dari Tuhan bukan dari manusia. Tuhan mengundang semua untuk masuk ke dalam perjamuanNya. Tuhan yang kita kenal dalam Perayaan Ekaristi ini adalah Tuhan yang tidak tertutup tetapi terbuka bagi semua orang. Tuhan yang kita imani adalah Tuhan yang menyatukan perbedaan dan mendamaikan semua orang.
Undangan seperti ini sungguh istinewa. Pembawa atau penyebar undangan itu adalah para utusan Tuhan yang menyebarkan undangan itu kepada semua orang. Penyebar undangan itu adalah para Nabi dan para rasul. Keunikan sebuah undangan adalah tidak memaksa setiap orang yang menerima undangan untuk hadir dalam perjamuanNya yang membahagiakan. Undangan Tuhan memberi kebebasan bagi orang yang menerima undangan untuk memenuhi undangan itu atau menolak undangan yang diterima.
Penerima undangan adalah bangsa Israel sebagai bangsa terpilih Allah. Mereka ini menolak undangan dengan alasan sibuk urus harta kekayaan duniawi. Mereka tidak mempunyai waktu untuk menghadiri perjamuan Nikah Tuhan. Mereka bukan hanya menolak dengan kata dan cara mereka tidak datang ke perjamuan Tuhan. Mereka membunuh para nabi yang membawa undangan Perjamuan Tuhan kepada mereka.
Tuhan mendengar pembunuhan terhadap para nabi yang membawa undangan kepada bangsa Israel itu. Tuhan memberi kutukan kepada bangsa Israel yaitu menghacurkan Israel. Hukuman itu terjadi karena penolakan bangsa Israel terhadap undangan kerajaan Allah dan terutama karena mereka membunuh para nabi yang membawa undangan kepada mereka. Hukuman itu mereka alami akibat Israel sebagai bangsa terpilih lebih melekat pada hal-hal duniawi.
Meskipun ada penolakan sampai pembunuhan terhadap para pembawa undangan itu, Tuhan tidak berhenti dan tidak bosan-bosan menyebarkan undangan kepada semua manusia. Bangsa terpilih Tuhan, Israel setelah menolak undanganNya itu, kembali Tuhan menyebarkan undangan kepada bangsa-bangsa lain. Para nabi dan para rasul menjadi pembawa dan penyebar undangan Tuhan. Bangsa-bangsa lain yang diundang ini menerima undangan dan datang ke perjamuan Tuhan. Ada dua kelompok yang datang masuk dalam perjamuan Tuhan. Kelompok pertama adalah mereka yang berpakaian pesta. Kelompok yang kedua tidak berpakaian pesta. Pakaian pesta adalah hidup bermoral orang beriman. Yang tidak berpakain pesta itu tidak layak mengambil bagian dalam Perjamuan Tuhan. Dia yang tidak berpakaian pesta itu dihukum oleh Tuhan. Yang berpakaian pesta adalah orang yang layak bagi perjamuan Tuhan. Berpakaian pesta perjamuan Tuhan berarti mengenakan pakaian kehendak Allah.
Sama saudaraku, semua orang diundang Tuhan masuk ke perjamuanNya, baik mereka yang tahu tentang undangan itu atau belum tahu baik atau setengah setengah tahu tentang keunikan undangan itu. Pembawa undangan atau penyebar undangan Tuhan atau penyebar warta khabar gembira undangan Tuhan tidak cukup menyerahkan undangan itu tetapi dengan pengajaran dan pendidikan yang melewati sebuah proses pengenalan undangan itu agar penerima undangan itu sampai pada mengenakan pakaian pesta perjamuan Tuhan. Paulus sebagai misionaris melaksanakan tugasnya menyebarkan undangan perjamuan Tuhan kepada umat di Filipi. Kegembiraan dan harapan muncul dari umat di Filipi ini yaitu mereka memberi respons yang sangat positif dengan cara mereka memberi sumbangan materi, perhatian, cinta dan doa bagi Paulus dalam melaksanakan tugasnya sebagai misionaris. Umat Filipi yang dilayani Paulus sampai menjadi umat yang menjadi misionaris dengan cara mereka yaitu mendukung dengan doa, materi, perhatian dan cinta kepada Paulus sebagai misonaris. Dukungan umat Filipi ini menunjukkan bahwa adanya tanda-tanda dalam diri umat Filipi yaitu mereka mulai mengenakan pakaian pesta perjamuan Tuhan. Misi Paulus berhasil di Filipi. Meskipun umat Filipi begitu dekat dengan Paulus, Paulus tidak merasa melekat pada orang-orang dan materi serta perhatian umat Filipi. Kelekatan seorang misionaris pada hal-hal duniawi adalah batu sandungan bagi banyak orang untuk datang ke perjamuan Tuhan. Paulus tidak mau menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk semakin dekat dengan Tuhan. Paulus tetap fokus pada penyebaran undangan Tuhan kepada semua orang, agar mereka masuk dalam perjamuan Tuhan dengan pakaian pesta.
Kita
Misi Ke dalam
Kita melihat bacaan suci hari ini dengan pola kita sebagai orang beriman. Kita yakin dan berharap bahwa kita semua mau menerima undangan Tuhan dan mau memenuhi undangan Tuhan dengan berpakaian pesta. Pakaian pesta kita barangkali masih ternoda oleh dosa-dosa kita, kelekatan kita pada materi, tempat tertentu, manusia tertentu maka pada saat ini kita disadarkan kembali agar kita mau mencuci bersih pakaian pesta nikah yang kita miliki dan kita kenakan dalam Perjamuan Tuhan sehingga pakaian pesta perjamuan Tuhan itu tetap terjaga dan tetap layak dikenakan dalam memasuki Perjamuan Tuhan. Berpakaian pesta berarti selalu setia dan komit pada Sabda Allah dalam segala tempat dan waktu. Hal ini terwujud dalam hidup kita jika kita mau berkorban seperti Paulus meninggalkan hal duniawi, tidak melekat pada orang, materi, tempat tetapi tetap fokus pada Sabda Allah.
Misi Ke luar
Kita tidak merasa puas dengan diri sendiri karena kita telah berpakaian pesta dalam perjamuan Tuhan. Kita akan lebih layak di hadapan Tuhan yang mengundang kita ke perjamuanNya kalau kita memiliki kepedulian yang tinggi pada sesama yang memiliki kerinduan untuk masuk dalam undangan Perjamuan Tuhan, yang masih kabur di mata mereka. Kita adalah misionaris seperti Paulus dengan menggunakan segala sarana yang ada untuk menyebarkan dan memperkenalkan Undangan Tuhan kepada semua orang agar mereka dapat memasuki Perjamuan Pesta Tuhan, dengan pakaian pesta yang layak. Kita menyebarkan undangan Tuhan ke perjamuanNya dengan pakaian pesta yang kita kenakan sebagai saksi kita kepada mereka yang kita undang. Lewat teladan baik yang kita berikan, mereka yang kita layani tentu lebih merasa tersentu untuk mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan.
Penutup
Mari kita selalau berpakaian pesta dalam hidup kita karena kehidupan ini adalah perayaan Perjamuan Tuhan. ***
Sabtu, 13 September 2008
sejenak bersama kata jiwa.
Friedrich Nietzsche : KESEPIAN
Burung-burung gagak berteriakDan berdengung terbang ke kota:Salju akan turun segera -Bahagialah dia yang kini masih - berkampung halaman!Kini kau berdiri kaku,Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!Mengapa kau yang tololSewaktu musim dingin menjelang - larikan diri ke dunia?Dunia itu pintu gerbangKe seribu gurun bisu dan dingin!Yang kehilangan,Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.Kini kau berdiri pucat,Terkutuk untuk ngembarai musim salju,Bagaikan asap,Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.Terbanglah, burung, teriakkanLagumu dalam nada-burung-gurun! -Umpetkanlah, kau yang tolol,Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!Burung-burung gagak berteriakDan berdengung terbang ke kota:Salju akan turun segera,Celakalah dia yang tak berkampung halaman!
MAX DAUTHENDAY (1867-1918) KEPADA CIKURAIO
gunung, yang nyundul angkasa,Puncakmu nyaksikan jaman segala,Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasaBila kau sejukkan dahi di angkasa.Kau telah hidup waktu lelaki pertamaMerebut hati wanita yang semula.Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisanLenyap pada peradaban penutupan.Betapa penting kuanggap kesusahanku.Betapa penting hari kemarin, harini dan esok.Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,Kau mengajar untuk percaya pada Keabadian.
Rabu, 10 September 2008
133 Tahun SVD dan Sumbangannya
Oleh : Ermalindus A Sonbay
---Pernah kuliah di STFK Ledalero----
TIDAK disangkal bahwa Serikat Sabda Allah (SVD/Societas Verbi Divini) berpengaruh besar dalam perkembangan dan pertumbuhan NTT, baik dalam relasi dengan teritori kepemimpinan publik/pemerintahan (politis) maupun sebagai wilayah misi SVD (religius). Untuk yang pertama SVD hadir sebagai mitra dialog begitu banyak pemimpin lokal dan nasional, yang asli NTT dan juga yang bekerja untuk NTT. Sedangkan yang kedua, SVD hadir dalam begitu banyak gembala, saudara dan rekan dalam pembentukan kehidupan iman umat yang konstan dan konsisten. Banyak anak NTT yang hidup dan berkembang baik karena di-nafas-i oleh SVD sebagai keseluruhan maupun orang perorang. SVD turut membantu perwajahan dan juga pertumbuhan NTT dalam pelbagai aspek, mulai dari perkembangan intelek, keterampilan, budaya, moralitas bahkan sampai pendampingan kategorial keluarga dan masih banyak lagi.
Beberapa nama pantas disebutkan, dua lembaga penelitian budaya besar, Chandraditya Maumere dan Mansen Sae Kupang, STFK Ledalero yang terkenal sebagai mesin produksi misionaris klerikal dan misionaris awam terbesar di dunia, sekolah-sekolah asuhan SVD seperti SMAK Syuradikara, STM Larantuka, STM Nenuk, juga Universitas Widya Mandira Kupang. Semuanya menjadi tempat-tempat monumental yang menyuarakan dengan baiknya kebebasan manusia atas berbagai pembelengguan. Banyak juga perbengkelan, perkebunan dan peternakan SVD yang mempekerjakan begitu banyak anak NTT yang juga memberi nilai plus bagi negeri komodo-kelimutu-cendana ini. SVD dengan demikian sukses mengawaki dan mengawal wajah NTT sejak masa pra-kemerdekaan, kemerdekaan, bahkan menuju 'kemerdekaan kedua' yang bernaung di bawah kebangkitan Indonesia untuk yang kedua kalinya ini.Namun, pencapaian ini tentu bukan posisi dan tempat yang tampan bagi SVD untuk beristirahat dan berhenti dari kegiatan-kegiatan pendampingan dan kerekanannya. Perjuangan untuk menenun wajah NTT masih panjang. Proses menjadi (in the making) NTT untuk menemukan makna dan karakteristik NTT serentak menyempurnakannya dengan pertanyaan Kantian, apa yang harus NTT buat (bukan sekadar apa itu NTT?) masih membutuhkan partisipasi dan kerekanan SVD dan berbagai elemen lain. Satu awasan yang diberikan pada ranah ini adalah kalau kerekanan ini ditiadakan dan hasil-hasil SVD tidak dilanjutkan dalam perjuangan yang konstan, maka ada kemungkinan rakyat (yang juga kebanyakan adalah umat gembalaan misionaris SVD) NTT akan tergerus dalam pelbagai peminggiran (marjinalisasi) dan pengasingan (alienasi) dalam pelbagai dimensi. Tenunan wajah NTT akan semakin buram kalau keterasingan religius yang ditakutkan akan berimbas pada terpasungnya kebebasan spiritual begitu banyak orang. Dostoievsky ketika menulis dialog antara inkuisitor agung dan Kristus dalam The Brothers Karamazov mengetengahkan bahwa kehancuran kebebasan manusia mengalami puncaknya ketika manusia tidak bebas lagi secara spiritual. Kebebasan spiritual dengan demikian harus menjadi niscaya serentak turut menentukan kebebasan manusia. SVD dalam kemitraan menuju langkah emansipatoris dan partisipatoris juga mesti terus berjuang untuk menghidupkan spirit menuju kebebasan spiritual. SVD tidak cuma bertanggung jawab dalam menghasilkan buku-buku doa yang luar biasa saja, tetapi juga 'ada bersama' dan terus berdialog dengan semua yang menjadi konsumen produk-produk briliannya. Rakyat NTT dalam kesederhanaan dan juga persatuannya membutuhkan lebih dari pada ikan dan kail. Ketika Juergen Habermas dan semua generasi kedua mazhab kritis menyuarakan kebebasan komunikatif yang juga menyentuh bagaimana cara berada di dunia versi Heidegger dengan in der welt sein-nya yang mengafirmasi eksistensi tentang tidak ada yang tersembunyi, SVD sebagai komunitas persaudaraan yang mengayomi dan mengakomodasi semua juga perlu menjalankan misi pewartaan yang transparan dan akomodatif. Misi SVD bukan untuk menekan rakyat dengan berbagai pendekatan primordialisme akali a la filsafat Eropa Barat, melainkan lebih kepada peran sebagai nabi yang berdialog dengan masyarakat NTT dengan jiwa besar dan penghargaan yang seimbang. SVD sekali-kali jangan mendatangkan dan menjadi candu bagi masyarakat, sebuah kehadiran yang menurut Marx semakin mengalienasi dan mendiskreditkan manusia ke titik-titik determinasi sejarah.Kehadiran dialog profetis SVD juga hendaknya semakin membangkitkan kepercayaan diri dan tekad untuk maju dan berkembang bagi NTT dengan segala potensi yang dimiliki. Bukan dengan penaburan harapan utopis, Nanti Tuhan Tolong, melainkan dengan kesadaran kritis akan peluang yang terbuka untuk bangkit, sebagai Nyala Terang Terbesar bagi Indonesia, bagi dunia. Iluminasi ini juga mengandaikan pembentukan kesadaran rakyat NTT tentang partisipasi dan emansipasi dirinya. Rakyat perlu disiapkan dalam kegembalaan untuk mengerti dan bertindak dengan baik dan benar dalam relasi dialog profetis yang dibangun. Kesadaran sebagai NTT juga mesti dibersihkan dari pelbagai prasangka, apalagi kecenderungan mengabadikan berbagai intrik dalam SVD in se maupun dalam relasi dialog yang dibangun, antara lain primordialisme yang diletakkan dalam sukuisme, kesamaan profesi, tingkat pendidikan, dan latar belakang lainnya. Semua umat/rakyat NTT harus diakomodasi dan diterima dalam persatuan yang mengayomi keberagaman. Kotak-kotak dan sekat-sekat yang merupakan racun bagi kebersamaan dan dialog profetis ini harus ditiadakan.Hal ini nantinya bisa berimplikasi pada pertumbuhan demokrasi yang sehat misalnya. NTT tidak akan terbuai dalam talking democracy saja melainkan juga mulai bisa menghidupi working democracy. NTT yang diteladani oleh misionaris SVD bukan tidak mungkin menjadi teladan bagi Indonesia dalam banyak hal. Tapi konstelasi ini tidak terutama pada popularitas NTT keluar, melainkan bagaimana NTT sebagai satu di antara begitu banyak yang bervariasi bisa kuat dalam perkembangan dan kemajuan yang sehat dan agamis (intern oriented). Sejatinya keterpaduan SVD dengan berbagai elemen agama, budaya, politik dan ekonomi lainnya juga harus ditentukan oleh sejauh mana pengaruh dialog profetis yang menggema pada murninya nurani bisa efektif bagi kesejahteraan dan kebaikan bersama. Parameternya adalah warna dialog profetis SVD boleh jadi harus hadir dalam ragam kehidupan dan kebersamaan NTT. Satu contoh, seandainya masih banyak koruptor di NTT apalagi mereka rekan-rekan dialog SVD dan bahkan mungkin dekat dalam relasi dengan SVD sebagai keseluruhan maupun per pribadi, artinya perjuangan penjernihan dengan basis dialog profetis belum maksimal bahkan mungkin perlu dievaluasi dan diperbaiki dalam banyak hal. Kalau masih ada pemimpin lokal yang represif dengan kebijakan dan senantiasa merugikan rakyat, maka aplikasi teologi yang kontekstual perlu juga membidik bagaimana membangun karakteristik NTT lewat sentuhan nilai kekristenan yang padu dalam diri pemimpin-pemimpin yang paling kurang sudah diakomodasi terlebih dahulu oleh Kristus sendiri dalam partisipasi dan dialog yang dibangunnya ketika menyuarakan keselamatan dan kebebasan yang sejati.Kalau kemiskinan, peminggiran, kebodohan dan beragam persoalan penyakit yang tak kunjung selesai di NTT tetap terpelihara, maka mungkin posisi SVD sebagai salah satu fundamen intelektual dan juga rekan NTT dalam pengentasan kemiskinan, kebodohan dan pelbagai ketimpangan sosial lainnya masi perlu dikaji ulang dengan pendekatan dialog yang lebih manusiawi serentak agamis. Dostoievsky dengan tegas melesakkan kritiknya bahwa antropodisi yang mengusung humanisme tanpa Tuhan adalah sesuatu yang sia-sia. Pemanusiaan NTT tetap membutuhkan kerekanan dalam saling membantu menuju keselamatan yang sesungguhnya. Dan di titik ini kiranya tidak terlalu cepat saya katakan bahwa dialog (profetis) yang menjadi warna khas SVD merupakan salah satu kanal ke arah itu. Profisiat dan selamat merayakan hari jadi yang ke-133 untuk SVD. Ad multos annos!
Kamis, 28 Agustus 2008
P. Martin BHISU SVD BERSAKSI TENTANG PRESIDEN PARAGUAY
Salam dari Paraguay untuk Robert dan Alles. Kunjungan Budiman Sujatmiko dan Rikard Bagun di Paraguay sudah selesai. Sebelumnya konfrater kita di Brasil menjamu mereka dengan daging bakar, lalu ke Paraguay. Langsung kami ke rumah Lugo, makan malam di rumahnya. Keduanya hampir menangis melihat segala sesuatu begitu sederhana dan manusiawi. Malam itu kami "culik" Lugo. Masa depan Paraguay ada di tangan kami bertiga. Saya nyetir, Budiman dan Rikard mengawalnya di tempat duduk belakang. Maklum saya melihat Lugo malam itu agak tegang, dua hari menjelang pelantikan. Saya bilang: Ayo kita ke rumah SVD. Secepat mungkin saya dan dan seorang bekas suster yang bekerja di rumahnya mengatur tasnya dan kularikan dia ke rumah induk. Lugo larang pengawal-pengawalny a mengikuti kami. Paginya, sehari sebelum pelantikan, wawancara eksklusif Lugo dengan Budiman dan Rikard. Wartawan dari dalam dan luar negeri mengerumuni rumah induk kami. Kami bertiga menghantar Lugo sampai di kendaraanya. Sayangnya, hari itu kami tidak sempat memenuhi undangannya untuk makan siang di istana negara. Tanggal 15 agustus. Jam 5 pagi Lugo tiba rumah induk untuk Laudes, minta berkat dari konfrater yang hadir di kepela. Sedangkan saya masih mengorok di kamar. Budiman dan Rikar, apalagi. Satu jam menjelang pelantikan, kami bertiga tiba di rumahnya. Ratusan wartawan dan petugas keamanan membuat hari itu jadi lain sekali. Kami tiga masuk rumah, seperti di rumah sendiri, membuat wartawan lain cemburu.Di kamar makan saya jumpai sekretaris pribadinya. Kami berpelukan dan menangis, tidak pernah kami duga hari ini akhirnya tiba. Kedua wartawan kita membisu, mengarahkan kamera ke segenap pojok kamar makan yang sempit sekaligus dipakai sebagai kamar tamu, bersebelahan dengan dapur. Saya lalu ke biliknya Lugo. Masih di kamar mandi. Di atas tempat tidur ada selembar baju putih dan celana bekas berwarna coklat yang dikenakannya dalam acara pelantikan, dan dilantai sebuah sandal kulit yang barusan ia semir. Keluar dari kamar mandi, setengah bogel, dengan handuk melilit di pinggulnya. Kami dua berpelukan, berdoa, menangis. Kemudian kuberkati sahabat saya. Bisik Lugo: Jalan masih panjang Martín.Hari berikutnya kami ke San Pedro, wilayah utara paling miskin untuk mengikuti pelantikan gubernur kami, teman dekat saya dan Lugo, yang sekaligus katekis dan ketua seksi liturgi di paroki saya. Hadir juga dalam acara Hugo Chavez, presiden Venezuela. Nasib mujur bagi kedua wartawan. Hari minggu misa di paroki saya. Budiman dan Rikard hadir. Bapak gubernur menyiapkan Liturgi. Koor tidak ada. Semuanya bernyanyi, berdoa, berekspresi, bersyukur, puji Tuhan, dengan misa yang disederhanakan gaya umat sederhana amerika latin (mujur Vatikan belum tegur saya) diringi dengan dua buah gitar. Kedua wartawan kita belum pernah melihat suasana doa begitu khusuk tapi penuh nuansa kemanusiaan. Itulah liturgi orang-orang miskin. Sesudah misa kami ke rumah gubernur. Langsung duduk di dapur. Maklum Budiman ingin pamit dan anak-anak gadis bubernur. Sorenya di Asunción dengan Lugo kami masuk Istanah Negara untuk pertama kalinya. Hari berikutnya Rikard ke Indonesia dan Budiman ke Brasil ketemu Edi Doren dengan MST-nya. Ok. Robert. Saya merasa ditantang oleh Rikard, Budiman dan Anda. Mereka sudah setuju dengan tema yang saya pilih. Pertama: MEMBACA SOSIALISME AMERIKA LATIN DALAM BELANTARA NEOLIBERALISME. Sudah sampai 32 halaman. Yang kalau dibukukan bisa mencapai 40 hingga 50 halamam. Budiman anjurkan supaya bukunya jangan terlalu tebal, nanti orang tidak baca. Rencana saya hanya sampai 100 halaman, Moga-moga akhir oktober bisa selesai. Tema kedua, PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PEMBEBASAN AMERIKA LATIN. Ketiga, ETIKA SOSIAL. Keempat, EKOLOGI SOSIALMoga-moga bisa berjalan baik sesuai dengan rencana kita
Jumat, 08 Agustus 2008
SOSIALISME AMERIKA LATIN
Oleh: Juan de Dios PN.
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2005 Amerika Latin menarik perhatian dunia dengan kehadiran sosialisme dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi di negara-negara tertentu. Banyak orang langsung menghubungkannya dengan ajaran Marx - Engels dan faham sosiodemokrat. Orang teringat akan Cuba yang hingga saat ini masih setia dan kukuh menghidupi komunisme, pemerintahan sandinista di Nicaragua, pemerintahan socialis Allende, sosiodemokrat Ricardo Lagos dan Bachelet di Chile, pemerintahan sosiodemokrat Tabares di Uruguay, fenomen Lula di Brasil, Revolución Bolivariana Hugo Chávez di Venezuela, Movimiento al Socialismo Evo Morales di Bolivia, orientasi politis menuju sosialisme Rafael Correa di Ecuador dan fenomen Fernando Armando Lugo di Parguay. Andrés Oppenheimer, dalam bukunya “Cuentos Chinos” menilai proyek dan program politis Hugo Chávez di Venezuela berhaluan leninista. Di lain pihak Evo Morales mengatakan bahwa Movimiento al Socialismo (MAS, partai politiknya) didirikan oleh rakyat miskin dan orang-orang kampung; pada saat awal pembentukannya MAS tidak memiliki seorang ideologpun yang berhaluan sosialis atau komunis; MAS lahir dari penderitaan rakyat. Keberadaan sosialisme di Amerika Latin boleh saja dianggap sebagai usaha untuk menghidupkan kembali apa yang dikatakan oleh Marx dan Engels beberapa abad yang lalu, tetapi benih sosialisme yang sedang tumbuh itu lahir dari situasi hidup kelompok masyarakat yang sangat menderita sejak zaman kolonial hingga saat ini.
Dewasa ini Sosialisme Amerika Latin baru sampai pada tingkat wacana karena pertama-tama masih membutuhkan proses untuk menentukan identitasnya, kedua karena memiliki hubungan dengan apa yang disebut dengan SOSIALISME ABAD XXI, ketiga karena Sosialisme Abad XXI sendiri masih dalam proses pembentukan baik dari segi teoretis maupun praxisnya, keempat kontektualisasi atau praxis dari Sosialisme Abad XXI di Amerika Latin dicetuskan (dengan sangat berani) oleh Hugo Chávez, Presiden Venezuela, kelima karena hampir sebagian besar negara di belahan dunia tersebut belum mengambil sikap dan tindakan yang pasti dan tegas, dan yang terakhir karena politik dan sistem ekonomi di Amerika Latin pada umumnya masih dikuasai oleh Neoliberlaisme-kapitalisme yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Oleh karena itu, Sosialisme Amerika Latin membutuhkan proses yang sangat panjang untuk sampai pada sebuah sistem yang bukan saja untuk menjawabi dan mengatasi persoalan yang disebabkan oleh sistem aktual (neoliberalisme) tetapi juga untuk memudahkan negara - negara membawa masyarakatnya ke arah yang lebih manusiawi.
Kesulitan-kesulitan dan tantangan, lebih-lebih usaha membela dan mempertahankan eksistensi Neoliberalisme (oleh negara-negara kapitalis dan kroni-kroninya), tidak akan menghentikan perjuangan rakyat kecil dan miskin di Amerika Latin. Semangat dan roh sosialisme di Amerika Latin yang telah lama didera dan diperkosa (sejak kolonialisme) sudah kembali. Martín Sivak, seorang wartawan Argenitna yang meneliti sepak terjang perjuangan sosial di Bolivia, dalam bukunya “Jefazo, Retrato Íntimo de Evo Morales” mengutip salah satu penggalan pidato Evo Morales sehari sebelum dilantik menjadi Presiden di puncak Tihuanaku (reruntuhan tempat sakral orang Aymará yang berumur kurang lebih lima ribu tahun): “Kita sudah kembali…selama lima ratus tahun orang-orang indian dikuasai, dijajah dan diperlakukan secara sangat tidak manusiawi, sekaranglah saatnya mengangkat kembali martabat dan roh orang-orang indian. Saudara dan saudari, lima ratus tahun kita dijajah, mulai sekarang kita telah bangkit untuk memerintah dengan semangat bersama, warisan nenek moyang kita, selama lima ratus tahun ke depan, mari kita bersatu membangun Bolivia untuk semua….” Apa yang dikatakan oleh Evo Morales itu memiliki arti yang sangat luas dan mendalam. Kata-katanya itu tidak bisa dibatasi dengan isu diskriminasi melainkan sebaliknya merupakan suatu expresi yang mengandung kebenaran dan harapan akan angin kebebasan sosial untuk seluruh rakyat Bolivia. Selain itu terpilihnya Evo menjadi Presiden Bolivia benar-benar mempengaruhi seluruh perjuangan sosial di Amerika Latin. Dalam bukunya “Ciudadano X, la Historia Secreta del Evismo” Emilio Martínez , seorang wartawan terkenal Bolivia menulis bahwa pada pelantikan Evo Morales, hadir hampir semua wakil dari suku-suku asli Indian di benua Amerika: Amerika Utara (Greenland, Canada dan USA) dan Amerika Latin, bahkan hadir juga saat itu wakil dari penduduk asli Philipina dan China, wakil-wakil dari organizasi sosial mundial pendukung sosialisme abad XXI dan ONG internasional. Di depan wakil - wakil itu, Evo juga mengatakan hal yang sama bahwa “kita sudah kembali”.
Sosilisme Abad XXI pertama kali dicetuskan oleh Heinz Dieterich Steffan. Dia berasal dari Jerman, doktor ilmu-ilmu sosial - ekonomi dari RFA, sekaligus anggotanya (Escuela Bremen) dan dosen di Universidad Autónoma Metropolitana (UNAM) - Mexico. Dalam bukunya “Socialismo del Siglo XXI” dia menggarisbawahi kebutuhan dunia akan sebuah sistem yang baru, untuk mengakhiri kebiadaban dari neoliberalisme dan membuka jalan menuju kebebasan sosial. Situasi Amerika Latin merupakan salah satu bukti nyata dari kegagalan sistem aktual itu, sekaligus merupakan kesempatan untuk memulai sistem yang lebih melibatkan rakyat banyak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Heinz Dieterich mengembangkan pemikirannya berpijak pada ajaran Marx, sekaligus menekankan perbedaan-perbedaan utama. Misalnya dia tidak menganjurkan rehabilitasi pentingnya Negara (Estado) sebagai manifestasi semua perjuangan sosial, melainkan peran dan partisipasi dari masyarakat (el pueblo, la gente) dalam politik dan ekonomi. Kalau Marx menekankan kekuasaan Negara, Dieterich melihat kekuasaan tertinggi secara natural berada di tangan rakyat langsung tanpa perwakilan. Dieterich juga tidak menganjurkan ide dari Anthony Giddens sebagai alternatif ketiga di samping Neoliberalisme dan Sosialisme - Komunis. Selain itu, Sosialisme Abad XXI mendapat roh dan inspirasi dari mobilisasi sosial yang tersebar di seluruh Amerika Latin. Sejak awal tahun 2005, idenya mendapat tanggapan dan pengembangan dari Hugo Chávez, Presiden Venezuela sekaligus pelopor dan penggerak Sosialisme Amerika Latin yang bersifat teoretis, etis dan estetis.
Hanya dua negara Amerika Latin yang sudah mulai menerapkan sistem Sosialime Abad XXI yaitu Venezuela dan Cuba. Di Venezuela misalnya, di bawah Hugo Chávez penerapannya dimulai dengan menciptakan Konstitusi baru, sebuah Konstitusi yang sangat bersifat sosialis. Sedangkan negara-negara lain belum memiliki arah dan ide yang jelas. Bolivia misalnya, di bawah Evo Morales sedikit demi sedikit membuka jalan ke arah sosialisme tersebut karena mendapat tantangan yang sangat besar dari pihak kaum borjuis dan pendukung neoliberalisme. Sesudah kurang lebih satu tahun memerintah, Evo Morales me-nasionalisasi-kan perusahaan-perusahaan swasta multinasional dan transnasional seperti perusahaan telekomunikasi, pertambangan dan energi (minyak dan gas bumi, pertambangan batu mineral dan permata). Usaha yang paling penting dan historis dari Evo Morales adalah melaksanakan Asamblea Constituyente untuk membuat Konstitusi Baru yang sudah disosialisasikan dan menunggu waktu untuk disahkan, lewat referéndum dan pengesahan di Congreso. Hal yang sama terjadi di Ecuador, di bawah Rafael Correa, perjuangan dalam bidang politik dan ekonomi lebih mengarah kepada Sosialisme Abad XXI. Paraguay adalah salah satu negara Amerika Latin yang akhir-akhir ini menarik perhatian dunia dengan kemenangan Fernando Armando Lugo. Sudah cukup jelas bahwa Lugo akan memilih jalan sosialisme, karena didukung oleh kelompok sosial korban dari neoliberalisme. Kemenangan tersebut merupakan awal dari perjuangan, jalan dan usaha ke arah sosialisme abad XXI masih sangat panjang dan sulit. Mungkin Paraguay juga membutuhkan Konstitusi yang baru, dan untuk itu harus melewati Asamblea Constituyente. Fernando Lugo akan berhadapan dengan kaum borjuis kapitalis yang menguasai beberapa partai politik dan ekonomi nasional, dan pada saat yang sama dia harus meyakinkan rakyat Paraguay untuk mengubah haluan dari neoliberalisme menuju sosialime baru. Adanya mobilisasi sosial di negri Guraní itu yang menolak sistem politik dan ekonomi aktual, bukan tidak mungkin baginya untuk membawa rakyat ke jalan politis yang lebih sosial dan partisipatif.
Sosialisme Amerika Latin memiliki kekhasan tersendiri.Sosialisme yang akan dibangun di setiap negara di Amerika Latin berdasar pada konteks nasional masing-masing. Hugo Chávez dari Venezuela membangun sebuah sosialisme bertolak dari ajaran Marx, Engels dan Lenin, dan berusaha menghubungkannya dengan sosialisme kristen yang mengandung ajaran Yesus dari Nazareth. “Saya adalah seorang kristen”, itulah pernyataan yang selalu dikatakannya dihadapan lawan politiknya dan lebih-lebih para uskup se Venezuela. Pada kesempatan lain dia mengatakan kepada para uskup: “Bacalah Marx, Engels dan Lenin, lalu bacalah Kitab Suci, lebih-lebih Perjanjian Baru - Injil dan bandingkan apakah tidak ada sosialisme?” Menurutnya ada hubungan antara Sosialisme dari Marx dan Engels dengan Proyek Historis Yesus dan Simón Bolívar. Evo Morales dari Bolivia berniat membawa negaranya kepada sosialisme berbasis komunitas (Socialismo Comunitario) yang menurutnya lebih mendalam dari pada sosialisme klasik Marx dan Engels, bahkan lebih mendalam dari politik - ekonomi dari Inacio Lula dari Brasil dan Hugo Chavéz dari Venezuela; sebuah sosialisme yang berasal dari budaya dan tradisi, berdasar pada solidaridad, reciprocidad, comunidad dan consenso.
Di Ecuador, perjuangan pergerakan dan mobilisasi sosial telah sampai pada tingkat Asamblea Constituyente yang baru saja berakhir. Seluruh lapisan masyarakat Ecuador berpartisipasi di dalamnya, sehingga Konstitusi Baru sifatnya sangat kontekstual. Sambil menunggu keputusan dan sepak terjang kepemimpinan dari Fernando Lugo, Paraguay diharapkan mendapat angin segar untuk mengadakan perubahan dan perbaikan. Perjuangan Lugo mendampingi orang-orang yang tidak memiliki tanah (Movimiento Sin Tierra) dan masyarakat miskin umumnya, tidak mungkin melewati begitu saja refleksi kritis tentang sistem ekonomi aktual neoliberalisme dan sosialisme klasik. Seperti negara-negara Amerika Latin lainnya, demokrasi di Paraguay tidak memiliki fungsi yang sebenarnya, karena pada dasarnya kaum borjuis yang memiliki kuasa untuk menentukan dan memutuskan kebijakan-kebijakan pembangunan. Maka Fernando Lugo diharapkan memimpin Paraguay untuk pertama-tama mengembalikan hak dan kekuasaan riil rakyat. Dengan kata lain, kalau memang Lugo mau mengembalikan hak dan kekuasaan rakyat miskin, maka mau tidak mau dia harus memperbaiki atau mengubah formulasi yang tepat tentang sistem politik ekonomi dan demokrasi. Dari latar belakang dan sepak terjangnya selama ini, bisa saja dia akan memeteraikan sosialisme dengan semangat pembebasan sosial yang diwariskan oleh Maha Gurunya el Nazareno, nilai budaya dan situasi hidup masyarakat.
SOSIALISME ABAD XXI
Menurut beberapa analis dan para kritikus, Sosialisme Abad XXI merupakan reaksi atas kegagalan neoliberalisme dan sekaligus untuk menghidupkan kembali sosialisme klasik yang dicetuskan oleh Karl Marx. Mantan Presiden Pemerintahan Spanyol José María Aznar misalnya menilai bahwa Sosialisme Abad XXI sama saja dengan Sosialisme Abad XX bedanya bahwa lebih monoton dan membosankan. Sebenarnya Heinz Dieterich sendiri tidak bermaksud menempatkan Sosialisme Abad XXI sebagai kritik atas baik Neoliberalisme maupun Sosialisme - komunis. Kritik atas Neoliberalisme dari perspektif ekonomi - politik Karl Marx dan Engels sudah dilakukan oleh Robert Kurz dalam bukunya “El Libro Negro del Capitalismo, Réquiem para la Economía de Mercado y Guerras por el Orden Mundial” (Terj. Spanyol), István Mészáros lewat karyanya “Mas Allá del Capital” (Terj. Spanyol), Hal Draper melalui bukunya “La Teoría de la Revolución de Karl Marx” (Terj. Spanyol). Selain itu, beberapa penulis ahli dan pemerhati dari sistem aktual secara jujur dan berani memperlihatkan kepada dunia kesalahan -kesalahan, kelemahan-kelemahan dan kejahatan yang dilakukan dan dimiliki oleh Neoliberalisme. Di antaranya: Joseph E. Stiglitz “El Malestar en la Globalización” (Terj. Spanyol), Samir Amin “El Capitalismo en la Era de la Globalización” (Terj. Spanyol), Hernando de Soto “El Misterio del Capital” (Terj. Spanyol), “El Otro Sendero”, Ulrich Beck “¿Qué es la Globalización?” (Terj. Spanyol), Michel Albert “Capitalismo Contra Capitalismo” (Terj. Spanyol), Noam Chomsky dan Heinz Dieterich “La Aldea Global”, Andrés Oppenheimer “Ojos Vendados”, Naomi Klein “No Logo”, “La Doctrina del Shock, el Auge del Capitalismo del Desastre” (Terj. Spanyol).
Menurut Dieterich, Neoliberalisme sudah masuk pada tahap final. Struktur dari institusi borjuis (ekonomi pasar, demokrasi formal, Negara dan para pelakunya) sudah masuk pada tahap penghabisan (agonía) . Neoliberalisme mengalami autodestrucción. Michel Albert dalam bukunya “Capitalismo Contra Capitalismo” memperlihatkan salah satu keganasan dari kapitalisme yaitu mengubah dirinya menjadi bumerang. Mungkin siapa saja tidak akan percaya kalau Amerika Serikat sebagai negara terkaya di dunia, sekaligus sebagai negara yang memiliki utang luar negri terbesar sepanjang sejarah (misalnya George W. Bush diperkirakan “menghadiahkan” utang sebanyak kurang lebih 500.000 juta Dólar USA kepada Presiden terpilih pada Pemilu 2008 ini). Maka Sosialisme Abad XXI merupakan Proyek Historis Baru yang akan mengembalikan eksistensi dan esensi bangsa manusia.
Memang benar bahwa lahirnya ide tentang sosialisme baru tersebut berdasarkan kenyataan kegagalan dari Neoliberalisme, namun Heinz Dieterich pun berpendapat bahwa Sosialisme-komunis mengalami kegagalan dan menyebabkan kemiskinan. Para penganut sosialisme Marx / klasik malahan mengatakan bahwa Sosialisme Abad XXI adalah sosialisme palsu. Artinya ide dari Heinz Dieterich itu memiliki karakter independen walaupun ada hubungan dengan sosialisme Marx dan Neoliberalisme. Kalau Francis Fukuyama berani mengatakan bahwa kapitalisme adalah salah satu fin dari proses historis bangsa manusia, maka Heinz Dieterich, Hugo Chavéz dan penganut lainnya berpendapat bahwa manusia adalah mahkluk sosial selalu dan di mana saja. Kapitalisme, seperti dikatakan oleh Max Weber adalah salah satu manifestasi dari etika Kristen, pada dasarnya diilhami oleh predestinación dari John Calvin: sejak lahir seseorang sudah ditentukan nasibnya untuk menjadi yang terbaik dan mendapatkan kemalangan; oleh karena itu masing-masing harus berjuang untuk keluar sebagai pemenang; dunia dan hidup bagaikan medan perang. Kenyataan yang dialami oleh bangsa manusia zaman kapitalis adalah bahwa dalam peperangan itu tidak ditemukan semangat persaudaraan, yang ada hanyalah ego dan musuh. Weber juga mengatakan bahwa yang menjadi pemimpin dan penentu kebijakan dalam pembangunan hanyalah orang-orang tertentu, yang terpilih, mereka yang memiliki kelebihan, kemampuan dan talenta di atas rata-rata orang kebanyakan. Semangat predestinación ini terlihat sangat jelas dalam Kapitalisme modern. Hugo Chávez sebaliknya melihat Kerajaan Allah yang dikumandangkan oleh Yesus Kristus, yang awalnya sudah dimulai di dunia ini, adalah sebuah bentuk sosialisme yang penuh dengan semangat persaudaran, yang kuat membantu yang lemah; di sana tidak ada lagi kau-aku, kamu-mereka melainkan kita. Semua harus terlibat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Rakyat baik di pedesaan maupun di kota memiliki martabat yang sama. Sosialisme Abad XXI di dalam pikiran Hugo Chávez bukan saja sebagai kritik atau negasi atas kapitalisme global dan hermeneutik atas pikiran Marx dan Engels, melainkan satu alternativa viable dari civilisasi yang lebih manusiawi, satu alternatif antisistemis dan antikapitalis.
Prinsip-prinsip dari Sosialisme abad XXI juga mendapat ilham dari teori tentang demokrasi partisipatif, budaya - tradisi nasional (semangat kekeluargaan) dan mobilisasi sosial yang ditemukan di setiap negara Amerika Latin. Kalau dalam sosialisme klasik keputusan hanya dilakukan oleh Partai Komunis dan sekelompok orang yang ahli dalam berbagai bidang, hal yang sama terjadi pada Neoliberalisme; sedangkan dalam Sosialisme Abad XXI para pekerja dan masyarakat terlibat dan ikut dalam setiap keputusan dan kebijakan politik dan ekonomi. Oleh karena itu sikap kritis tentang sosialisme abad XXI tidak sama dengan sikap antipati baik terhadap teori-teori dan ide-ide dari Karl Marx dan Engels maupun Kapitalisme. Peter F. Drucker, dalam bukunya “La Sociedad post Capitalista” (terj. Spanyol) mengatakan bahwa Komunisme tidak lagi memiliki roh dan kekuatan untuk hidup, komunitas mundial di masa depan adalah komunitas post-kapitalis yang tidak antikapitalis; pada masa yang akan datang negara-negara kapitalis mulai meninggalkan kapitalisme, tetapi tetap menggunakan pasar bebas sebagai sarana bisnis untuk menghidupi dirinya. Sebaliknya komunitas Sosialisme Abad XXI di Amerika Latin adalah antikapitalis dan berusaha untuk meninggalkan ekonomi pasar global.
Naomi Klein dalam bukunya “La Doctrina del Shock” menguraikan kelihaian dari FMI (motor utama dari kapitalisme dan globalisasi) merencanakan dan menggunakan kesempatan krisis di Asia pada tahun 1996/1997 untuk memaksakan pemerintah dan pengusaha swasta nasional menjual perusahaan kepada pihal multinasional dan transnasional. Di pihak lain Sosialisme Abad XXI Amerika Latin memperjuangkan kepemilikan sah dan hak utama dari negara (Estado) atas perusahaan-perusahaan vital seperti gas-minyak bumi dan komunikasi, tanpa menyepelekan kehadiran pihak luar (multinasional dan transnasional). Evo Morales dan Hugo Chávez misalnya telah menjalankan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan penting, tanpa “mengusir” pihak multinasional dan transnasional yang telah bertahun-tahun mengeruk keuntungan. Pihak multinasional dan transnasional dilibatkan (pemegang saham/tanam modal) tetapi tidak sebagai pemilik seperti dulu. Dalam Sosialisme abad XXI, seluruh keputusan dan kebijakan perusahaan ditentukan oleh negara (Estado) melalui demokrasi partisipatif, sekaligus sebagai pihak yang secara natural dan logis mendapat mayoritas keuntungan.
Proyek Historis Baru: Demokrasi Partisipatif.
Heinz Dieterich mengangkat salah satu unsur vital dalam kehidupan bernegara yaitu demokrasi. Sistem aktual neoliberalisme menekankan dan mengandalkan salah satu bentuk demokrasi yaitu demokrasi formal. Demokrasia formal memiliki karakter utama yaitu mewakili (representativa). Logika dari demokrasi tersebut adalah sebagai berikut: kuasa tertinggi ada di tangan rakyat, karena rakyat banyak tidak dapat menjalankannya secara langsung, maka dimandatkan kepada orang yang mewakili, melalui Pemilihan Umum. Dalam kenyataan, orang-orang yang dimandatkan itu tidak memperjuangkan nasib hidup rakyat yang mereka wakili, melainkan dua hal: kelompok elit dan kepentingan. Kelompok elit termasuk partai politik, para penguasa ekonomi. Kepentingan, misalnya dalam hal hukum: hukum seharusnya dibentuk berdasarkan opini, diskusi dan argumen publik, tetapi kenyataannya berdasarkan kepentingan golongan tertentu. Konsekwensi dari itu adalah bahwa negara dan rakyat kehilangan autoritas dan soberanía, kepentingan rakyat banyak disepelekan. Teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan yudikatif, eksekutif dan legislatif tidak diterapkan secara benar, karena dikuasai oleh kaum borjuis (penguasa ekonomi, kapitalis).
Sosialisme abad XXI dalam hal ini tidak mulai dengan mengevaluasi dan mengembalikan kepercayaan dan mandat dari rakyat (demokrasi formal) untuk dilaksanakan secara benar, karena sturktur politik ekonomi dan sosial dari neoliberalisme sudah baku. Di samping itu kaum borjuis memang merasa dirinya sebagai yang terbaik dan terpilih. Heinz Dieterich dan para pendukung Sosialisme Abad XXI justru melihat kelemahan fatal dari sistem aktual yaitu bahwa kepentingan, situasi hidup dan kebutuhan rakyat tidak dikenal, tidak diperhitungkan dan tidak diperhatikan oleh yang mewakilikinya. Pendekatan yang dilakukan oleh Kapitalisme adalah dari atas ke bawah, dari mereka yang memiliki uang. Yang menjadi subyek dari segala keputusan dan kebijakan adalah kaum yang beruang. Rakyat sebagai obyekpun tidak termasuk di dalamnya, malah disingkirkan dari tempatnya, dari tanahnya, dari hutannya, dari rumahnya dsb. Inonge Mbikusita Lewanika seorang anggota parlemen dari Zambia dalam sebuah kompilasi “La Comunidad del Futuro” (terj Spanyol), mengatakan bawah di Afrika, banyak suku bangsa miskin tidak termasuk dalam kelompok baik dunia ketiga maupun dunia keempat. Kalau milyaran rakyat dari dunia ketiga dan keempat tidak digubris dan diperhatikan kebutuhan dan kepentingannya, maka bagaimana nasib mereka yang tidak termasuk di dalamnya? Dari Afrika, setiap saat kekayaan batu permata dibawa ribuan ton oleh kaum kapitalis, setiap tahun setiap kapitalis paling kurang mendapat keuntungan 1000 juta dólar USA, ironisnya bahwa jutaan rakyat Afrika tinggal di bar-bar pengungsi menunggu bala bantuan dan mujizat dari langit. Mereka itulah yang tidak termasuk baik dalam dunia ketiga maupun dunia keempat. Mereka bagaikan tikus mati karena terjatuh di dalam lumbung beras. Oleh karena itu Sosialisme Abad XXI menganjurkan demokrasi partisipatif, karena dalam hal pembangunan, pendekatan akan dimulai dari bawah dengan semangat persaudaraan, kekeluargaan dan keterlibatan penuh. Pendekatan dari bawah sangat berguna dalam menentukan kebijakan karena sesuai dengan keadaan dan kepentingan riil, bukan ditafsir dan dilihat dengan kaca mata kaum tertentu.
Ekonomi Equivalen.
Ekonomi pasar yang beroperasi dalam sistem aktual, menurut Dieterich tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, karena memiliki paling kurang lima kekurangan sistematis. Pertama; tidak adanya keseimbangan antara karakter sosial produksi dan kepemilikan pribadi. Adanya kontradiksi sistem: dalam proses produksi dilibatkan banyak tenaga kerja dengan segala dedikasi, sedangkan hanya satu atau sekelompok orang saja yang menjadi pemilik dan penentu nilai produksi. Kedua; adanya sistem asimetris, artinya akumulasi modal dan kekayaan sosial terjadi pada sebagian kecil orang, pada saat yang sama politik demokrasi tidak memiliki kekuatan untuk mengontrolnya. Ketiga; logika evolusi ekonomi pasar-nasionalis: artinya pelaku utama dari ekonomi adalah perusahaan transnasionalis yang dikendalikan oleh kelompok elit ekonomi; dilindungi dan dijamin keberadaan dan keamanannya oleh politik militer dari negara asalnya. Amerika Serikat misalnya melindungi perusahaan-perusahaan transnasionalnya yang beroperasi di luar negri dengan melibatkan kekuatan militer. Keempat; perusahaan-perusahaan transnasionalis sifatnya sangat ekslusif, artinya tidak memilki hubungan baik dengan perusahaan lain maupun dengan masyarakat. Perusahaan-perusahaan itu beroperasi hanya untuk mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kelima; Kelompok elit ekonomi global tidak memiliki alternatif yang bersifat rasional; sangat sedikit kapital untuk memperbaiki ekonomi rakyat miskin yang merupakan kelompok mayoritas.
Di negara miskin seperti Bolivia, neoliberalisme tidak menyentuh secara langsung kebutuhan rakyat akan lapangan kerja. Sejak tahun 1985 (pertama kali masuknya Neoliberalisme) kurang lebih hingga tahun 2006 program kapitalisme hanya dapat menghasilkan 3000 lapangan kerja. Itupun masih dibumbuhi oleh ketidakadilan, korupsi, dan diskriminasi. Bolivia sejak tahun 1985, dengan masuknya Kapitalisme, tingkat korupsi bertambah dari tahun ke tahun dan menjadi salah satu negara terkorupsi di dunia. Di perusahaan-perusahaan besar misalnya, tidak akan ditemukan karyawan berdarah asli Indian, di bank-bank asing hanya menerima karyawan keturunan bermata biru, berkulit putih dan berambut coklat. Salah satu konsekwensinya adalah bahwa banyak orang asli terpaksa mengubah nama suku/keluarga (apellido) supaya bisa mendapatkan pekerjaan dan pengakuan sosial. Misalnya seorang bernama Juan Quispe (Aymará) diganti menjadi Juan Ramos (Spanyol). Gregorio Irriarte (seorang imam oblatus-OMI), seorang peneliti terkenal, bersama kelompok kerjanya, setelah melewati investigasi yang panjang dan lengkap, menyimpulkan (menurut data) bahwa hingga tahun 2006 di Bolivia kurang lebih 86% rakyat bergelut dengan ekonomi informal; artinya rakyat sendiri yang menciptakan lapangan kerja, bukan diberikan dan dihadiahkan oleh pemerintah atau kaum kapitalis. Dari sudut pandangan Neoliberalisme kenyataan ini sangat kontradiktif dan memalukan, karena program kapitalisme di Bolivia dilaksanakan dengan tujuan salah satunya untuk membuka lapangan kerja, tetapi kenyataannya lain.
Hal yang sama terjadi di Perú. Hernando de Soto dalam bukunya “EL Otro Sendero” mengatakan (lewat satu penelitian yang mendalam) bahwa di kota Lima, lebih-lebih di zona periferis terdapat sembilan perumahan (keluarga) informal dari sepuluh perumahan. Kitapun boleh melihat keadaan Indonesia, khususnya NTT; Pemerintah Daerah dari tahun ke tahun berkoar-koar dengan tema ciptakan lapangan kerja sendiri, jangan hanya mau menjadi PNS atau menunggu bantuan dari pemerintah baik gratis maupun lewat proyek padat karya. Pernyataan ini sebenarnya menunjukkan kelemahan dan sifat lari dari tanggung jawabnya. Yang utama dari program politik ekonomi adalah ekonomi formal, ekonomi yang diprogram oleh pemerintah sendiri untuk membantu rakyatnya yang dilindungi dan diatur oleh hukum. Kalau seandainya program ekonomi formal itu tidak menjangkau sebagian besar sakyat, maka untuk apa menjadi Bupati dan Gubernur? Kalau ekonomi neoliberalis-kapitalis tidak menjangkau rakyat banyak dan hanya memperbesar kemiskinan, korupsi, memperkaya kelompok dan orang tertentu, maka untuk apa masih membiarkannya hidup?
Sosialisme abad XXI menganjurkan suatu ekonomi equivalen terencana secara demokratis. Heinz Dieterich menilai, bahwa dalam sejarah, manusia tidak memiliki opsi untuk mengadakan planifikasi atau no-planifikasi sistem reproduksi secara material, yang ada dalam sejarah adalah tipe dan kelompok manusia yang berbeda untuk melakukan planifikasi. Misalnya dalam Sosialisme Aktual (Komunisme), perencanaan (planifikasi) dilaksanakan oleh fungsionaris, spesialis Negara dan Partai yang berkuasa (Partai Komunis), dalam Kapitalisme tugas untuk itu didominasi oleh kaum kapitalis, funsionaris, politikus dan profesionalis. Hak demokrasi dalam hal ini tidak menjangkau tenaga kerja dan seluruh rakyat, terutama situasi hidupnya. Konsekwensinya adalah bahwa anggaran Negara dan penanaman modal perusahaan-perusahaan berada di luar dari kepentingan rakyat banyak.
Dieterich menerapkan teori, ide dan penjelasan dari Arno Peters (rekannya, ekonom dari Escuela de Bremen). Arno Peters, mengembangkan ekonomi equivalen berdasar pada logika dari “nilai pakai” (valor de uso); menggabungkan teori tentang “nilai kerja” dengan “prinsip equivalen”.
Gaji dalam hal ini sepadan dengan waktu kerja, di luar dari perhitungan akan umur, jenis kelamin, status civil, dsb. Harga sepadan dengan nilai-nilai (valores) yang memiliki kesamaan absolut dengan kerja yang terjadi dalam proses produksi. Ekonomi semacam ini berdasar pada nilai kerja, bukan pada harga. Dalam hal ini tidak akan ada lagi explotasi dan penghambaan, tidak ada lagi kepemilikan atas pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain.
Harus diperhitungkan dalam teori tentang nilai kerja atas aktivitas yang tidak masuk secara langsung dalam produksi, seperti dokter, guru, tukang cukur, hakim, jaksa, perawat, penasihat hukum, pendeknya termasuk dalam pelayanan umum (servicio público).
Pekerjaan yang berhubungan langsung dengan produski dan pelayanan (servicio), ditentukan oleh nilai obyektif dan absolut; dan berbasis prinsip kesamaan yang mulai dengan individu dan berakhir dengan individu.
Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri harus memiliki orientasi untuk kepentingan umum. Perdagangan / bisnis dalam hal ini dibatasi sebagai usaha untuk menyalurkan dan menyimpan produksi. Aktivitas bisnis akan berubah menjadi salah satu bagian dari pembagian kerja dan dinilai seperti pekerjaan yang lain. Bagi pemilik perusahaan yang berhubungan dengan produksi, harus membayar diri sendiri sepadan dengan nilai kerja yang dimilikinya. Dalam ekonomi equivalen, otomatis para pemilik perusahaan tidak lagi memiliki keuntungan seperti pada masa kapitalisme.
Akumulasi pekerjaan dan produksi dialihkan ke pihak negara. Alat-alat / sarana produksi disosialisasikan, dialihkan ke tangan negara; maka nilai yang diperoleh dari produksi lebih diperuntukan kepada komunitas dalam hal ini diwakili oleh negara. Maka untuk mempermudah pengalihan dari ekonomi no-equivalen ke equivalen, kekayaan alam natural menjadi miliki bersama dan dikontrol oleh negara untuk kepentingan umum.
Hak akan papan (perumahan, tempat tinggal) berhubungan dengan penggunaan akan tanah dan harta yang tidak bergerak. Supaya semua mendapatkan hak dan kepastian, maka penggunaan akan hak atas tanah harus disesuaikan dengan kebutuhakn riil umum.
Semua aktivitas umum yang tidak menghasilkan nilai produksi (servicio: pendidikan, pelayanan kesehatan,dll.) dapat dibayar dengan uang yang diperoleh dari pajak. Supaya kedua bentuk pekerjaan (produksi dan pelayanan) tidak mengalami perbedaan nilai, maka digunakan term “jerih payah” (Leistung). Oleh karena itu semua proses ekonomi dibatasi sebagai usaha atau “jerih payah” individu untuk memenuhi kebutuhan. Maka prinsip equivalen diterapkan di semua jenjang melalui kesepadanan antara jerih payah atau usaha (Leistung) dan kompensasi (Gegenleistung).
Untuk mempermudah transisi kepada ekonomi equivalen digunakan komputarisasi ekonomi (socialismo computarizado).
Persoalan tentang akumulasi kekayaan dan kemiskinan dapat diselesaikan secara bersama. Artinya kalau seluruh dunia bisnis (baik negara industria dan kaya maupun negara berkembang) berbasis pada waktu laboral (nilai kerja), maka hubungan harga antara produksi natural dan produksi industri, otomatis membawa kesamaan dalam hal hak ekonomis di antara bangsa di dunia.
Usaha menyamakan hak ekonomis bagi negara-negara miskin sebenarnya juga adalah suatu usaha pertobatan (actitud moral) dari kolonialisme. Kolonialisme merupakan dasar industrialisasi Eropa dan Amerika Serikat. Hasil jarahan kekayaan di tanah jajahan merupakan modal untuk memperkaya negara-negara tersebut. Maka, proses ekonomi equivalen merupakan juga pengembalian hak kepada negara-negara bekas jajahan dari pihak negara-negara eks kolonial.
Ekonomi equivalen adalah sistem ekonomi yang dapat mengakhiri persaingan-persaingan di antara Negara yang bisa menjurus ke pada peperangan dan konflik yang tidak sehat. Selain itu ekonomi equivalen dapat mengakhiri revolusi berdarah yang selalu terjadi dari abad ke abad. Lebih-lebih dewasa ini, revolusi membawa bangsa manusia kepada kegelapan dan kaos.
Prinsip equivalen mengakhiri hubungan antara manusia dan alam yang selama ini berdasarkan pada explotasi. Alam memiliki kekayaan terbatas, dan masih banyak bangsa manusia yang akan datang mendiami bumi ini.
Singkatnya, Dieterich menganjurkan satu bentuk ekonomi yang tidak berdasar pada nilai pasar bebas, karena ekonomi pasar adalah roh dari kapitalisme yang menyebabkan asimetris / ketidakadilan sosial dan explotasi yang berlebihan atas kekayaan alam. Menurutnya ekonomi dalam arti politis tidak boleh bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan untuk memiliki kekayaan secara pribadi, tetapi harus berdasar pada produktivitas. Sebagai penggantinya dia menganjurkan ekonomi yang bedasar pada nilai kerja, bukan pada hukum permintaan dan penawaran. Nilai kerja yang dimaksudkannya diukur dengan waktu kerja untuk menghasilkan produksi tertentu. Ekonomi Sosialisme Abad XXI dibangun berdasarkan pada nilai produksi yang sepadan dengan waktu produksi; dan demokrasi partisipatif.
Demokrasi Langsung.
Demokrasi, menurut Dieterich lahir dan berkembang sepanjang sejarah bangsa manusia. Demokrasi bukan saja milik orang-orang Yunani zaman dahulu. Demokrasi adalah satu unsur yang lahir ketika adanya perkumpulan dua atau tiga orang dan lebih. Demokrasi ditemukan di setiap suku bangsa di dunia ini. Demokrasi mengalami evolusi dan mendapat legitimasi akan kemampuan adaptasi dari zaman ke zaman. Lahirnya negara nasionalis baik pada zaman monarqui absolut (abad XV), maupun zaman modern sejak abad XVIII menunjukkan kemampuan demokrasi yang bukan saja menjawabi kepentingan dan kebutuhan intern (kekuatan produksi, perkembangan penduduk, urbanizasi, kelas sosial, dsb.) tetapi juga merupakan sarana atau medio interaksi dengan tanda-tanda zaman dan situasi sosial. Suatu negara lahir bukan karena dikehendaki oleh satu orang atau kelompok orang yang memiliki kemampuan lebih, melainkan berdasarkan gejolak sosial dalam segala bentuk dan derajatnya. Demokrasi memiliki nilai etis dan positif, memiliki kekuatan superior bukan saja atas organizasi sosiopolitik, tetapi lebih-lebih kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus menerus yang terjadi dalam masyarakat (sociedad) dan alam sekitar (naturaleza).
Menurut Dieterich, usaha dan perjuangan politik sosial pada abad XXI tidak terlepas dari situasi dan gejolak kehidupan demokrasi sejak lama. Mobilisasi sosial terutama di Amerika Latin pada abad XXI sangat erat kaitannya dengan kelemahan demokrasi formal yang dianut oleh Neoliberalisme. Neoliberalisme dan Kapitalisme mengalami masa-masa emasnya (di negara-negara tertentu) karena didukung oleh bentuk demokrasi tersebut. Tetapi kenyataannya di negara-negara berkembang tidak mampu menjawabi kebutuhan dan kepentingan rakyat secara utuh dan penuh malah membuatnya semakin miskin dan sengsara. Rakyat miskin yang tergabung dalam mobilisasi sosial bukan saja menuntut agar mereka diberi pekerjaan, makanan, rumah, pakaian, pendidikan dan sebagainya, melainkan juga menuntut agar sistem itu diubah karena mereka menyadari bahwa sistem itulah yang menyebabkan mereka miskin dan kehilangan kebebasan dan hak. Rakyat bukan saja berjuang agar tidak ada lagi diskriminasi dalam segala bentuk, tetapi lebih dari itu mereka ingin supaya mekanisme politik sosial dan ekonomi diubah atau diganti. Juan García Barañado, seorang peneliti dan aktivis gerakan sosial Bolivia, dalam bukunya “La Asamblea Popular, el Poder de las Masas, mengatakan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai kelompok di seluruh Amerika Latin merupakan reaksi otomatis atas sistem politik ekonomi dan sosial aktual, karena rakyat yang merupakan subyek atau pelaku utama dari sistem demokrasi mengalami krisis dan terancam hak dan kuasanya.
Semua usaha dan perjuangan politik sosial dan ekonomi abad XXI menuntut eksistensi dan praxis demokrasi partisipatif serta keadilan sosial. Demokrasi pada dasarnya memiliki tiga dimensi. Pertama, sosial yang dipahami sebagai kualitas hidup secara material; kedua, formal yang dimengerti sebagai peraturan-peraturan umum tentang kekuasaan, hak dan kewajiban yang membentuk suatu sistem; ketiga, partisipatif yang diartikan sebagai keputusan real dan konkrit atas hal-hal umum dan transenden dari pihak mayoritas dan minoritas. Ketiga dimensi tersebut bersifat dinamis dan saling berinteraksi. Demokrasi dalam hal ini mempermudah setiap pelaku untuk melaksanakan hubungan sosial dalam ekonomi, politik, kebudayaan, militer, institusi dan dalam tingkat micro, meso dan macro kemasyarakatan. Demokrasi formal dalam kenyataan dimanipulasi dan menjadi instrumen untuk menguntungkan kaum borjuis, maka sociedad di masa yang akan datang berfungsi bukan saja untuk mengembalikan kekuasaan dan hak rakyat tetapi juga menempatkan kaum borjuis dalam posisi sosial yang sama dengan rakyat kebanyakan.
Demokrasi partisipatif dimengerti sebagai kemampuan riil dari pihak mayoritas (rakyat miskin) untuk memutuskan hal-hal dan kepentingan-kepentingan umum dalam suatu negara. Rakyat miskin yang merupakan kelompok mayoritas secara langsung menentukan dan memutuskan pelaksanaan hal-hal vital dan prinsipiil dari negara. Dieterich berpendapat bahwa demokrasi formal yang berindikasi manipulasi dan ketidakadilan dalam berpolitik, bukan saja harus diganti, tetapi eksistensi dan esensi demokrasi sendiri dilengkapi oleh demokrasi langsung. Alasan lahirnya dan praxis demokrasi formal adalah karena rakyat banyak tidak dapat menjalankan fungsinya atau haknya secara langsung, menurut Dieterich, alasan tersebut yang telah menjadi bagian dari logika demokrasi formal, dewasa ini tidak relevan lagi, karena rakyat banyak akan dimudahkan oleh penggunaan teknologi. Rakyat banyak yang miskin itu akan mendapat kembali hak demokrasinya lewat kemajuan teknologi. Di Venezuela misalnya pada masa Hugo Chávez, beberapa konsultasi publik dibuat lewat teknologi internet.
Pelaku Perubahan: rasional, etis dan estetis.
Ada tiga jalan menuju perubahan atau transformasi sosial. Pertama, manipulasi manusia secara generis; kedua, usaha menciptakan manusia baru; ketiga, mengubah institusi atau struktur yang membimbing dan mendampingi manusia menuju perubahan. Dieterich menilai Neoliberalisme dan Kapitalisme menggunakan jalan pertama: untuk menjadi sukses, seseorang harus menjadi seperti mereka yang telah sukses secara ekonomi. Ada banyak cara yang ditempuh oleh Amerika Serikat dalam hal ini, misalnya lewat proyek amerikanisasi; semua negara harus berada di bawah bendera USA (homo americano). Jalan kedua digunakan oleh kelompok extrim atas nama agama, dunia sekulir dan metafisis; kelompok yang menganggap diri dipilih, suci, pahlawan, mártir dan kelompok terpilih dalam bidang politik. Sosialisme XXI sebagai Proyek Historis Baru menggunakan jalan ketiga. Rakyat miskin dan sengsara beraksi berdasarkan kenyataan yang benar-benar mereka alami. Mereka tidak pernah merasa diri suci dan terpilih, malah mereka menyadari diri sebagai yang lemah, manusiawi. Menyadari akan kesulitan yang dihadapi dan alasan-alasan mendasar, rakyat (la gente, el pueblo) bersedia dan rela berkorban untuk kepentingan bersama. Memang dalam usaha dan perjuangan itu selalu ada korban, ada pahlawan dan martir, tetapi bukan dalam arti seperti yang dianuti oleh kelompok kedua. Rakyat kebanyakan beraksi berdasarkan budaya, tradisi dan falsafah hidupnya, melewati proses, tahap demi tahap. Dalam kebudayaan andina (suku bangsa asli di sekitar pegunungan Los Andes), misalnya, dikenal tahun matahari. Setiap siklus tahun matahari diperkirakan sebanyak 500 tahun. Ada tahun matahari berahmat (cadencia) dan ada tahun matahari bencana (decadencia). Menurut penghitungan tahun andina, terutama suku Quechua (Bolivia, Perú Ecuador) dan Aymará (Bolivia) zaman kolonial yang berlangsung selama kurang lebih lima ratus tahun adalah siklus tahun matahari bencana. Zaman kemerdekaan, terutama sejak adanya penghapusan sistem penghambaan (1952 di Bolivia) adalah saat-saat awal siklus tahun berahmat, tahun kemenangan, tahun reparasi eksistensi dan esensi manusia dan komunitas.
Sikap antineoliberalisme dan revolusi berdarah tidak cukup untuk membuka jalan menuju perubahan yang mendasar. Prinsip formal dan material harus berjalan seiring dan seimbang. Oleh karena itu, suatu perubahan memerlukan prinsip materialnya yaitu bahwa rakyat yang berjuang itu harus dikumpul dan diberi garis organisasi yang jelas, karena perubahan itu butuh proses, tahap demi tahap, butuh perencanaan dan proyek yang jelas. Di samping itu, rakyat korban neoliberalisme akan berhadapan dengan kaum kapitalis (kapital-modal, sarana produksi, negara-negara kapitalis dan media komunikasinya), maka konsolidasi sosial ke dalam sangat penting melalui sistem organisasi dan politik yang kuat. Sehingga perjuangan sosial tidak dilihat dan beraksi sebagai kekuatan sporadis, tanpa arah dan tanpa kekuatan.
AMERIKA LATIN DAN SOSIALISME ABAD XXI
Blok Kekuatan Regional
Amerika Latin hingga saat ini masih dikuasai oleh Neoliberalisme - kapitalisme. Neoliberalisme di Amerika Latin didukung oleh satu blok kekuatan ekonomi tingkat internasional. Strategi yang digunakan oleh kaum kapitalis untuk memperkuat dirinya dan menguasai ekonomi dunia salah satunya adalah: harus bersifat nasional-regional-mundial. Konsolidasi, perlindungan dan pengawasan kapitalisme dimulai dari tingkat nasional, kemudian regional dan global. Di tingkat nasional, kaum kapitalis saling memperkuat diri, kemudian bergabung dengan kaum kapitalis tingkat regional (transnasionalis) dan terakhir menjadi bagian dari komunitas global kapitalis. Selain itu, blok ekonomi tersebut didukung oleh kekuatan militer. Dengan cara ini, menurut Dieterich, UE, USA dan Jepang, menguasai 85% ekonomi dunia. Apa yang harus dibuat oleh Amerika Latin dalam hal ini? Sama, harus menciptakan satu kekuatan yang bersifat regional. Kekuatan regional ini harus berdasar pada demokrasi partisipatif. Rakyat miskin harus dilibatkan. Ekonomi yang dibangun adalah ekonomi rakyat, dimana subyek atau pelaku dan sekaligus obyeknya adalah rakyat sendiri. Rakyat, lebih-lebih kaum asli, memiliki hak untuk menuntut misalnya mengurangi atau menghapus utang luar negri, karena Amerika Latin adalah salah satu bagian dunia yang selama ratusan tahun diambil (malahan dicuri) kekayaan yang menjadi dasar untuk memperkaya negara-negara kapitalis.
Untuk memperkuat blok ekonomi regional, secara ke dalam, di masing-masing Negara dibuat program yang difokuskan pada: usaha kecil dan menengah, korporasi atau kerja sama transnasional, koperasi, dan perusahaan strategis nasional. Di Bolivia, pemerintahan Evo Morales, misalnya mendirikan sebuah bank (Banco del Desarrollo) secara khusus untuk membantu para pengusaha kecil dan menengah. Pada tingkat regional, ada satu blog regional yang dikenal dengan nama MERCOSUR. Brasil, di bawah Lula, sangat giat dalam korporasi ini walaupun mendapat tantangan luar biasa dari ALCA. Selain itu, ada kerja sama antara Perusahaan Minyak dan Gas Bumi dari negara Venezuela (PdVSA), Bolivia (YPFB), Argentina (YPF Argentina) dan Brasil (Petrobras). Blog ini sebenarnya cukup kuat karena misalnya USA mengimpor minyak dari Venezuela sebanyak 30% dari kebutuhan nasionalnya. Jadi bayangkan kalau Hugo Chávez menghentikan penjualan minyaknya ke USA, pasti tiga perempat kebutuhan akan energi di USA akan mengalami kemacetan. Inilah salah satu faktor mengapa Chávez tidak takut mengata-ngatai Bush dan kebijakan luar negrinya.
Hal lain untuk memperkuat blog regioanal adalah melaksanakan demokrasi partisipatif. Demokrasi partisipatif harus menjadi tujuan utama dari civilisasi Amerika Latin. Masyarakat postakapitalis di Amerika Latin harus ditunjang oleh demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat terutama kaum mayoritas yang menjadi korban kapitalisme. Mobilisasi sosial adalah satu tuntutan utama akan demokrasi jenis ini, karena sampai kapanpun, rakyat kecil di Bolivia misalnya tidak akan berhenti beraksi sampai haknya benar-benar dihormati. Rakyat di Bolivia pada dasarnya tidak meminta makanan untuk menghilangkan rasa laparnya, juga tidak lapangan kerja, melainkan suatu sistem yang benar-benar menghargai eksistensi dan esensinya sebagai manusia yang punya budaya, sejarah dan masa depan.
Blog Kekuatan Militer Regional.
Negara-negara kapitalis mengikutsertakan kekuatan militer untuk memperkokoh dominasi ekonomi dunia. Hal ini secara jelas terlihat dalam dua kali perang teluk melawan Sadham Husein. Kalau memang benar bahwa perang - perang itu juga dibumbuhi oleh masyalah ekonomi (petrodólar) maka bisa dimengerti mengapa Spanyol misalnya mau tidak mau harus mengirim pasukannya, walaupun sebagian besar rakyat negri matador itu tidak setujuh. Kawasan Amerika Latin juga membutuhkan kekuatan militer yang mampu melindungi kewibawaan dan stabilitas setiap Negara.
Pengalaman yang dimiliki Cuba, Sandhinista di Nicaragua, Zapatista di Mexico, Gerakan Pembebasan di El Salvador, FAR di Colombia dll menjadi contoh betapa kuat militer yang bisa diandalkan negara-negara Amerika Latin untuk melindungi, mengawasi dan memberikan ketenangan kehidupan rakyatnya dalam segala hal. Amerika Latin juga memiliki kepemimpinan militer yang yang tidak kalah dengan negara-negara lain di dunia. Dan yang terakhir, doktrin-doktrin militer nasional Amerika Latin secara umum dapat mempersatukan dan menciptakan kekuatan yang sangat berpengaruh di dunia, bukan untuk berperang, tetapi untuk melindungi kewibawaannya.
Politik Hugo Chávez.
Hugo Chávez seperti dikenal secara mundial sebagai pencetus Sosialisme Amerika Latin, adalah pelopor dan penggerak pembentukan Blok Kekuatan Regional, lewat programa Bolivariana. Proyek tersebut bersifat nasional dan internasional. Ada beberapa hal yang mendukung gerakan ini.
Dukungan dunia usaha Amerika Latin.
Sebelum referéndum pada tahun 2004, Hugo Chávez mengundang para pengusaha dari Colombia dan Argentina yang tidak termasuk dalam kontrol USA, untuk berpartisipasi menanam modalnya di Venezuela. Kegiatan itu ditantang oleh kaum kapitalis neoliberal dari Venezuela dan Argentina, mereka memboikot pertemuan itu. Hugo Chávez dan Nestor Kirchner menjawabnya dengan memperkuat kerjasama dalam bidang energi, industria kelautan, pertanian, perkebunan dan peternakan. Hugo Chávez malahan memperluas kerjasama dengan para pengusaha dari Brasil untuk mengerjakan proyek pembangunan jembatan penghubung di Orinoco dan proyek energi di bagian tenggara amazon.
Pergerakan Popular
Setelah mendapat dukungan dari dunia usaha regional, Hugo Chávez melebarkan sayap perjuangan bolivariana menyentuh kelompok-kelompok pergerakan sosial di seluruh Amerika Latin. Hugo Chávez memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seluruh kelompok sosial di belahan benua Amerika Latin, mulai dari kelompok indígena sampai dengan orang-orang kampung dari Movimiento Sin Tierra (di Brasil, Paraguay, Ecuador dan Bolivia). Kelompok - kelompok sosial itu selalu diundang oleh Hugo Chávez untuk menghadiri even-even penting di Venezuela. Lewat peristiwa - peristiwa itu, Hugo Chávez menjelaskan kepada mereka tentang revolusi bolivariana dan sekaligus memberikan motivasi dan dukungan untuk perjuangan di masa - masa yang akan datang.
Kaum intelektual.
Hugo Chávez berusaha mempertemukan ilmuwan atau kaum intelektual yang berhaluan sosialis dan mereka yang mendukung pergerakan sosial di Amerika Latin. Kontak diantara ilmuwan tersebut dilaksanakan lewat pertemuan-pertemuan internasional, seperti Foro Social de Porto Alerge a la India (2004). Sampai dengan akhir tahun 2005, Hugo Chávez berhasil mengumpulkan kaum intelektual sosialis sedunia lewat pertemuan di Caracas; kelompok intelectual sosialis pecahan Uni Soviet, Cuba, Sandinista, Zapatista, FARC, pendukung Raúl Prebish dan John Maynard Keynes, sampai Frei Beto.
Aliansi dengan negara-negara.
Hugo Chávez sebenarnya memiliki hubungan yang cukup solid dengan pemerintah negara-negara lain, lebih-lebih dengan rakyat di Amerika Latin seluruhnya. Ketika dia diturunkan secara tidak hormat dan Carmona menyatakan diri sebagai Presiden baru, hampir semua negara di Amerika Latin saat itu tidak mendukung adanya pemerintahan baru di Venezuela. Bush dari USA dan Aznar dari Spanyol berusaha mempengaruhi seluruh región tatapi tidak mendapat dukungan baik dari rakyat Venezuela sendiri maupun dari pihak Amerika Latin. Contoh lain misalnya menolak ide dari Rumsfeld dan Uribe untuk membentuk kekuatan militer multinasional Amerika Latin untuk beraksi di Colombia. Seluruh negara Amerika Latin saat itu mendukung penolakan dari Chávez. Hingga saat ini, dukungan Negara-negara di kawasan tetap diperolehnya khususnya untuk melawan politik konspirasi dari Uribe-Bush.
Proyek Historis Baru
Proyek tersebut dilebur dalam sepuluh tujuan strategis dari masa pemerintahannya sampai dengan Pemilu tahun 2006. Karakter dari proyek tersebut sbb.
Bolivarianismo:
Proses atau gerakan pembentukan institusi antikapitalista yang secara konkrit membentuk: ekonomi yang secara demokratis dikontrol oleh para produktor langsung/para pekerja, dan yang beroperasi berdasar pada waktu kerja (valores-time inputs); sebuah demokrasi riil secara langsung oleh rakyat yang bersifat formal, social dan participativa; satu Negara hukum berdasarkan kehendak umum, lewat contradictio in adiecto, sebuah Negara no-clasista.
Proses integrasi bolivariana:
Hugo Chávez melihat revolusi bolivariana sebagai suatu transisi menuju reino terrenal, suatu sociedad tanpa kelas. Bagi Chávez, sangat urgen usaha untuk memperjuangkan Amerika Latin menjadi sebuah bangsa tanpa kelas, sebuah Bangsa Besar (Patria Grande)untuk semua. Masa depan Amerika Latin tergantung dari apa yang dibuat saat ini. Masa depan Amerika Latin adalah Persatuan atau Kematian (unión o muerte). Gerakan bolivariana adalah jalan menuju Persatuan sedangkan Neoliberalisme membawa Amerika Latin menuju Kematian.
Aliansa antara Negara dan kelompok sosial - popular.
Untuk sampai pada persatuan menuju sosialisme, Negara dan sektor sosial popular harus bekerja sama.
Sektarisme
Satu kekuatan regional Amerika Latin bukanlah buah pikiran Hugo Chávez, tetapi pada dasarnya merupakan kebutuhan vital. Semua negara, pemerintah dan rakyat Amerika Latin menyadari hal tersebut, tetapi beberapa negara lewat pemerintahannya berusaha mengambil jalan keluar sendiri. Maka Hugo Chávez melihat “perpisahan” itu sebagai proses sektarisme yang akan membahayakan kekuatan Amerika Latin sendiri.
PENUTUP
Sekali lagi, sosialisme abad XXI di Amerika Latin masih membuka kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh rakyatnya untuk berpartisipasi membangun batang tubuhnya. Segala kebutuhan, perlengkapan atau materinya sudah tersedia. Semangat dan roh sosialisme sudah kembali dan sedang berhembus di dalam sanubari setiap insan di Amerika Latin. Untuk benar-benar menguburkan Neoliberalisme dan Kapitalisme, tidak sekedar menunjukkan sikap antipati (demonstrasi, blokade ekonomi, nasionalisasi perusahaan, merebut tanah kaum borjuis dsb), tetapi harus mulai dengan mengubah, mengganti institusi dan strukturnya.
Sikap Gereja? Untuk menjawabnya, simak kutipan Dieterich atas pertanyaan Martin Luther terhadap Gereja Katolik: ¿Bagaimana mengubah sistem totaliter global, korupsi dan represif? Neoliberalisme dan Kapitalisme kini seperti monstruo yang sangat menakutkan. Evo Morales banyak kali mengatakan bahwa kehendak, roh dan dukungan dari el pueblo membuat dirinya bebas berbicara dan beraksi. Tidak ada rasa takut di dalamnya karena dia bersuara dan berjuang bersama saudara dan saudarinya yang paling miskin dan menderita. Gereja di Amerika Latin di Medellín pada tahun 1968 memproklamirkan dirinya sebagai Gereja Orang Miskin; orang miskin adalah sebuah sakramen. Maka sikap arif Gereja adalah ada bersama orang-orang itu, seperti Yesus dari Nazareth. Untuk para Uskup Gereja Katolik, bersuaralah atas nama orang kecil dan bersikaplah seperti mereka. Sikap-sikap eklesial terhadap kehidupan sosial sebaiknya melewati konsultasi dengan umat dan rakyat kecil. Refleksi teologis dalam segala bentuk seyogyanya lebih terfokus pada kehidupan dan diri orang-orang miskin. Sejak dua ribu tahun yang lalu sudah banyak refleksi yang mulai dari “atas”, tetapi masih sangat kurang refleksi teologis yang mulai dari kefanaan manusia.
Daftar Kepustakaan:
Albert, Michel Capitalismo Contra Capitalismo (terj. Spanyol), Paidós Estado y Sociedad, Buenos Aires 1999.
Amin, Samir El Capitalismo en la Era de la Globalización (terj. Spanyol), Paidós, Barcelona 2000.
Beck, Ulrich ¿Qué es la Globalización? (terj. Spanyol) Paidós, Barcelona 1997.
Chomsky, Noam dan Heinz Dieterich La Aldea Global, Editorial Txalaparta, Nafarroa 2002.
de Soto, Hernando El otro Sendero, Editorial Sudamericana, Buenos Aires 1987.
El Misterio del Capital (terj. Spanyol), UCB, La Razón, El Día, La Paz 2001.
Dieterich Steffan, Heinz Hugo Chávez y El Socialismo Del Siglo XXI, Grito del Sujeto, Editorial Filigrana, La Paz, 2006
El Socialismo del Siglo XXI, ídem
Peter F. Drucker, La Sociedad Post Capitalista (terje. Spanyol), Editorial Sudamericana, Buenos Aires 2003.
García Barañado, Juan La Asamblea Popular, el Poder de las Masas, C&C Editorial, La Paz, 2005.
Garcia Linera, Álvaro Sociología de los Movimientos Sociales en Bolivia, Editorial Plural, La Paz 2008.
Hesselbein, Frances (ed.) La Comunidad del Futuro (terj. Spanyol), Granica, Barcelona 1999.
Irriarte, Gregorio, OMI Realidad Nacional de Bolivia, Editorial Kipus, Cochabamba 2006.
Klein, Naomi La Doctrina del Shock, el Auge del Capitalismo del Desastre (terj. Spanyol), Paidós, Buenos Aires 2007.
No Logo (terj. Spanyol), Paidós, Barcelona 2001
Martínez, Emilio Ciudadano X, la Historia Secreta del Evismo, Editorial El País, Santa Cruz 2008.
Marx, Carlos El Capital (terj. Spanyol), Ediciones Norte, Rosario, 2000.
Oppenheimer, Andrés “Ojos Vendados”, Editorial Sudamericana, Buenos Aires 2001,
“Cuentos Chinos” Editorial Sudamericana, Buenos Aires 2006.
Sachs, Jeffrey El Fin de la Pobreza (terj. Spanyol), Sudamericana, Buenos Aires 2006.
Sivak, Martín Jefazo, Retrato Íntimo de Evo Morales, Editorial El País, Santa Cruz 2008.
Shultz, Jim y Melissa Crane Draper (ed.) Desafiando la Globalización, Historias de la Experiencia Boliviana, Editorial Plural, La Paz, 2008.
Stiglitz, Joseph E. El Malestar en la Globalización (terj. Spanyol), Taurus, Buenos Aires 2002.
La Paz, 6 de Agosto de 2008.
Juan de Dios PN.
Senin, 04 Agustus 2008
Inilah Pesan Jakarta dari ICIS III
Sumber: http://news. okezone.com
JAKARTA - International Conference of Islamic Scholars (ICIS) III berakhir, Jumat (1/8/2008), dan menghasilkan rekomendasi untuk mengatasi konflik yang dinamakan Jakarta Message. Dengan itu diharapkan konflik yang terjadi utamanya di negara Islam bisa diatasi dengan baik dan menciptakan perdamian dunia.Inilah naskah lengkap Jakarta Message:Jakarta MessageMenegakkan Islam sebagai Rahmatan lil-Alamin: Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik di Dunia Muslim pada Konferensi International Ulama dan Cendekiawan Islam ke-3 Jakarta, 29 Juli?1 Agustus 2008.Bismillahirahmanirr ahim Dengan menyebut nama Allah, yang maha pengasih lagi maha penyayang.Segala puji dipanjatkan kepada Allah, tuhan semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad beserta keluarga, pembawa wahyu Allah. Nabi terakhir, terkat untuk alam semesta.Segala puji bagi Allah subhanahu wata'ala yang telah menyatukan kita dalam pertemuan akbar ini. Konferensi internasional Ulama dan Cendekiawan Islam (ICIS) ke-3 di Jakarta, 2008. Dalam kebesaran-Nya, kita melanjutkan kembali pembahasan isu-isu global yang telah dimulai sejak ICIS pertama tahun 2004 dan untuk itu, ICIS tahun ini mengangkat tema "Menegakkan Islam sebagai 'Rahmatan lil-alamin' Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik di Dunia Muslim". Semoga Allah memberkati persaudaraan kita dengan rahmat dan fitrah agar terhimpun sebuah solusi yang komprehensif dan praktis guna memberdayakan ummat dalam upaya menciptakan perdamaian dan toleransi untuk kemanusiaan.Menegaskan kembali keyakinan kita bahwa nilai-nilai dan ajaran Islam mewajibkan ummah untuk mendorong perdamaian, keadilan, kebebasan, moderasi, toleransi, keseimbangan dan konsultasi serta kesetaraan, sebagai landasan harkat dan martabat manusia.Mengingat kembali ICIS pertama tahun 2004 dan yang ke-2 tahun 2006 yang menegaskan bahwa keyakinan terhadap Islam sebagai rahmatan lil-alamin telah terkristalisasi dalam menghadapi paradoks dunia dan ICIS harus menjadi forum internasional yang berkelanjutan dan sebagai gerakan ulama/cendekiawan.Menegaskan kembali komitmen ulama dan cendekiawan akan perlunya peran lintas batas ('abra al-hudud/sns frontiere) dalam membangun perdamaian ddan mencegah konflik antara lain melalui fasilitasi dan mediasi.Kami perserta ICIS ke-3 menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Mewujudkan paradigma Islam sebagai rahmatan lil alamin sebagai pandangan hidup bagi semua umat manusia untuk mengharmonisasikan nilai-nilai universal (khair) dengan nilai-nilai lokal (ma'ruf) sebagaimana diamanatkan dalam surat Ali Imran 104.
2. Melakukan upaya berkelanjutan untuk mereformasi dan merubah kendala-kendala psikologis dan dilemma dari keragu-raguan (shak) menuju kepercayaan (yakin) melalui perbuatan yang baik (amal salih) sebagaimana diamanatkan dalam surat Al Hijr 99 dan al Baqarah 147.
3. Sepakat bahwa akar penyebab dari ketegangan dan konflik tidak disebabkan oleh faktor-faktor agama, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam masyarakat dan dari kekuatan-kekuatan luar, antara lain eksploitasi politik, ekonomi, dan sosial.
4. Sepakat juga bahwa globalisasi telah menghasilkan kekuatan ke dalam dan ke kuar yang menuntut negara-negara dan bangsa-bangsa untuk terus meninjau struktur politik yang dapat menciptakan dampak sosial terhadap kemanusiaan, termasuk ketegangan, konflik dan kekerasan.
5. Prihatin terhadap perbedaan antara Islam sebagai agama perdamaian dan kesatuan dan kenyataan bahwa dunia muslim masih tercoreng oleh konflik, kekerasan, kemiskinan dan penderitaan.
6. Mendorong media untuk menyampaikan berita-berita yang berimbang dan obyektif mengenai komunitas muslim di seluruh dunia dan menahan penyebaran Islamophobia, dan penistaan Islam, dan memberdayakan masyarakat untuk mendekati media.
7. Menegaskan kembali komitmen untuk mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan, buta aksara dan semua bentuk ketidakadilan, dengan semangat kearifan dan kepercayaan bahwa Allah akan membuka jalan menuju kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an "Allah akan merubah nasib suatu bangsa kecuali mereka merubah sendiri"
8. Mendirikan pusat-pusat media di kota-kota besar negara-negara Barat, yang akan berpartisipasi dalam berdebatan publik, penyediaan informasi dan menjembatani antara masyarakat Muslim dengan media Barat.
9. Menegaskan kembali komitmen para ulama untuk menyelesaikan konflik intra-kepercayaan dalam masyarakat muslim, yang akan menjadi kontribusi yang besar bagi perdamaian dunia.
10. Memutuskan untuk memainkan peranan yang aktif dalam mengkampanyekan kasih sayang dan pengertian mendalam mengenai perdamaian, tanpa membedakan mazhab yang ada ataupun kebangsaan (ulama sans frontiers).
11. Berkomitmen untuk melindungi kelompok-kelompok yang paling rentan termasuk wanita dan anak-anak, usia lanjut, dan orang-orang cacat, khususnya dalam masa konflik dan krisis.
12. Memberdayakan peran pemuda dan wanita Muslim agar mereka dapat berperan dalam masyarakat, termasuk dalam pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian.
13. Memutuskan untuk membentuk "ulama sans frontiers" dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pemahaman dan kepekaan.
2. Dialog, keterbukaan dan kesabaran.
3. Solidaritas kemanusiaan.
4. Keadilan.
5. Kepemimpinan yang memiliki visi dan pandangan jauh ke depan.
14. Menghimbau para "Ulama sans frontiers" untuk melakukan kolaborasi dengan para professional dan para ahli dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Pengembangan kapasitas ulama di semua tingkat dalam membangun perdamaian dan mencegah konflik.
2. Melakukan pengkajian yang mendalam dan pemetaan konflik yang terjadi di dunia Islam untuk mengidentifikasi faktor-faktor strategis serta pemangku kepentingan.
3. Pembentukan system peringatan dini di tingkat akar rumput agar tercipta tanggapan dini yang sesuai.
4. Memfasilitasi dan melakukan advokasi kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan rentan terhadap provokasi.
5. Penguatan kekebalan masyarakat terhadap elemen-elemen yang dapat menciptakan benih-benih kebencian, kekerasan, dan teror.
6. Advokasi dengan menggunakan prinsip, metode, dan keahlian "ulama sans frontiers" agar dapat berkontribusi dalam upaya pembangunan perdamaian dan pencegahan konflik yang dilakukan dalam struktur formal kekuasaan baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.
Kami selanjutnya memutuskan untuk menata kembali kinerja dan manajemen ICIS melalui penguatan organisasi sebagai berikut:
1. Penguatan sekretariat jenderal ICIS di Jakarta, Indonesia di bawah kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU) melalui pembentukan unit khusus untuk masing-masing kawasan dan penunjukan ahli-ahli dalam isu-isu kunci yang penting bagi persaudaraan (ukhuwah), yaitu: penyelesaian konflik, pembangunan ekonomi, keagamaan, pendidikan dan teknologi, media, dan hukum serta hak-hak minoritas.
2. Pembentukan kawasan perwakilan ICIS untuk masing-masing kawasan di Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah, Timur Tengah, Afrika serta Amerika dan Eropa.
3. Pembentukan "Ulama sans frontiers", yang melibatkan peran para professional dan ahli-ahli, dan memanfaatkan jasa-jasa baik ini dalam pembangunan perdamaian dan pencegahan konflik du dunia Muslim.
4. Pembentukan lembaga-lembaga kajian (Think-thank) untuk melakukan studi dan penelitian untuk isu-isu pencegahan konflik, penyelesaian konflik serta perdamaian paska konflik dan langkah-langkah pembangunan kepercayaan melalui interaksi dengan universitas terkemuka, lembaga penelitian, para ahli dan kaum profesional.
5. Menyelenggarakan ICIS setiap empat tahun sekali dan ICIS di tingkat kawasan setiap dua tahun sekali.
6. Mendapatkan akreditasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Konferensi Islam dan badan-badan internasional lain.
(Dian Widiyanarko/ Sindo/hri)
Gabriel Faimau gfmsvd@yahoo. com
Hello Rekans,Konferensi Internasional Cendikiawan Islam yang ketiga baru saja berlangsung di tanah air. Menurut Kantor Berita Antara, konferensi ini menghasilkan 13 rekomendasi yang disebut "The Jakarta Message". Saya coba mencari "The Jakarta Message" tetapi rupanya belum dipublikasi online. Apakah ada rekan yang memiliki dokumen ini? Mohon kirimkan ke saya (japri) bila ada. Banyak terima kasih sebelumnya.Best,Gabrie lwww.faimau.com
Senin, 30 Juni 2008
SOLITER & SOLIDER
Penjaga Gawang dan Kehidupan
Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD
Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
******************************************************
LUSA dini hari pesta bola kaki kejuaraan Eropa yang menyita perhatian hampir seluruh dunia akan berakhir. Pertandingan final ini akan menghadirkan kesebelasan Jerman yang dijuluki tim panser melawan pasukan dari Spanyol yang disebut tim matador. Biasanya matador bertarung melawan banteng dalam jarak dekat, sementara panser adalah senjata peperangan untuk menghadapi musuh yang tidak harus dekat. Pertarungan matador dengan banteng adalah pertarungan berhadap-hadapan, sementara serdadu di dalam panser dapat menembaki musuhnya yang berada jauh di sana. Dalam pertandingan terakhir sebelum masuk ke final, tim matador harus berhadapan dengan tim yang disebut-sebut sebagai kuda hitam. Karena sudah terbiasa dengan binatang, banteng atau kuda sama saja, dibabat habis ole si matador.. Sementara itu, tim panser toh tidak seganas yang dibayangkan ketika bertarung melawan Turki. Agaknya, panser juga turut larut dalam pesta damai masyarakat Jerman dan Turki yang berlangsung di Berlin selama pertandingan tersebut. Lalu, bagaimana nanti kalau kedua tim ini berhadapan? Panser adalah lambang konsistensi dan kedahsyatan sebuah serangan, yang menggilas siapa saja yang sudah ditargetkannya secara sistematis. Panser dipakai sebagai alat berperang, dan perang tidak memperhatikan keindahan. Inti dari perang adalah mematahkan pertahanan musuh dan mengalahkannya. Memang tidak ada alasan cukup untuk mengharapkan keindahan dari tim Jerman. Apakah minimnya dimensi estetis tim ini akan diimbangi dengan efektivitas permainan untuk mencapai kemenangan? Sementara itu, tim matador selain bermain indah, juga efektif dan terarah. Dalam putaran final Piala Eropa kali ini, tim ini merupakan salah satu dari yang belum pernah dikalahkan. Apakah prestasi ini akan terulang pada pertandingan terakhir nanti? Saya tidak hendak membuat analisis untuk kemudian meramalkan. Apa pun yang terjadi, bagaimanapun kualitas pertandingan final itu nanti, dan siapapun yang akan keluar sebagai pemenang, yang pasti adalah dengan berakhirnya pertandingan itu putaran final kejuaraan Eropa kali ini akan menjadi sejarah. Perhelatan itu tidak akan lagi menjadi sesuatu yang melahirkan ketegangan dan menjadi dasar untuk taruhan. Yang ada tinggal kenangan. "Es war ja nur Fussball," kata orang Austria. Orang boleh merasa sangat tegang sebelum dan selama pertandingan, boleh punya banyak musuh dan mungkin juga banyak mengumpat. Namun pada akhirnya, itu hanyalah bola kaki, itu hanya sebuah permainan. Ketegangannya tidak kalah dari sebuah ketegangan saat penghitungan hasil pilkada, namun efek yang ditimbulkannya tidak sedalam dan seluas hasil pilkada. Perasaan kebangsaan yang dapat digalangnya bisa jadi hampir sama dengan nasionalisme yang timbul dalam sebuah aksi perang, namun yang disisakannya bukanlah reruntuhan dan luka yang mendalam. Itu hanyalah sepak bola. Dalam kenangan yang menyusulinya, orang sering akan teringat akan pencetak gol terbanyak atau gol terindah. Ya, seputar pencetakan gol selalu ada selebrasi. Dan mata kita diarahkan oleh kamera menuju pencetak gol dan selebrasi yang dilakukannya bersama teman-temannya. Pasti akan diingat pula gol-gol yang kontroversial, yang tercipta karena kesalahan yang luput dari pantauan wasit. Di tengah berbagai kenangan itu, yang sangat mudah dilupakan adalah orang yang mungkin paling merasa getir setiap kali ada gol yang dicetak : penjaga gawang. Tidak ada penghormatan untuk penjaga gawang yang paling sedikit kemasukan gol. Sekitar seorang penjaga, tidak banyak ada selebrasi. Kalau ada, itu terjadi pada pertandingan yang hasilnya ditentukan melalui adu pinalti. Penjaga gawang akan disorak dan disanjung apabila dia sanggup menepis sejumlah tendangan yang sanggup memperbesar selisih gol dengan tim lawannya dan akhirnya mengantar timnya kepada kemenangan. Kendati demikian, boleh jadi penjaga gawang adalah figur dalam pertandingan sepak bola yang paling tepat menghadirkan sebuah gambaran yang relatif lengkap mengenai kehidupan manusia. Dia bisa banyak berkisah tentang kehidupan. Goenawan Mohamad membuat sebuah permenungan menarik tentang penjaga gawang dalam bukunya Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai (Jakarta: Katakita 2007). Goenawan menulis: "Seorang penjaga gawang adalah seorang yang soliter, tetapi juga solider: ia seorang yang paling tersisih, tapi ia hadir dalam sebuah kesetiakawanan. Ia mungkin sang kapten kesebelasan, tapi dalam sebuah permainan yang agresif, ia jarang sekali sang pemberi arah, irama, ataupun semangat timnya di medan pergumulan. Ia teramat jauh di garis belakang."Seorang penjaga gawang mesti berhadapan dengan pemain lawan, membaca secara cermat reaksi mereka. Yang paling menentukan dan sekaligus menantang adalah bahwa dia harus cepat membuat keputusan pada waktu yang tepat. Setiap keputusannya mengandung risiko besar, dan taruhannya adalah keseluruhan tim. Para pemain di depan masih dapat mengandalkan orang lain di belakangnya apabila dia melakukan kesalahan. Tidak demikian seorang penjaga gawang. Biasanya dialah yang terakhir, setelah dia hanya ada jaring, yang selalu siap mengisyaratkan kegagalannya. Dia seorang yang soliter, sering ditinggal sendirian di gawang dan mesti sendirian mengambil keputusan besar. Serentak dia adalah seorang yang solider, yang mesti menanggung segala konsekuensi dari reaksi pada pemain lainnya, dan harus merasa satu dengan mereka. Gawang adalah kerajaannya, di mana dia boleh menikmati sejumlah hak khusus dan dilindungi secara istimewa. Dia boleh menggunakan tangannya untuk menangkap atau menepis bola, dan pemain lawan tidak diperkenankan merebut bola yang sudah digenggamnya. Namun di gawang pula dia seolah terlempar dalam kesendirian pengambilan keputusan itu. Kerajaannya bukanlah tempat untuk berleha-leha. Kewaspadaan adalah keutamaan pertama yang harus dimiliki seorang penjaga gawang. Dia berada pada titik penentuan, bola di kaki atau kepala lawan dan jaring yang siap untuk digetarkan.. Soliter dan solider, kata Goenawan Mohamad mengikuti sang sastrawan besar Albert Camus, adalah dua sisi dalam kehidupan. Keduanya harus dilihat secara berimbang. Di satu pihak, kita perlu mencegah tendensi untuk menggunakan solidaritas sebagai sarana penindasan. Solidaritas akan menindas, apabila individu dipaksakan untuk sekadar menjadi elemen tak berdaya dari sebuah struktur sosial yang anonim dan besar. Kolektivisme dapat saja menghancurkan kebebasan individu dan merampas ruang kreativitas serta tanggung jawab pribadi. Solidaritas pun akan dirasakan sebagai wujud penindasan, apabila orang menggunakannya hanya untuk menghancurkan atau mengalahkan orang lain. Di sini kita berbicara mengenai primordialisme. Solidaritas kesukuan dipakai untuk menggalang kekuatan politik mendukung orang tertentu yang masih terjalin dalam relasi primordial dengan kita, dan dengan demikian mengalahkan orang lain hanya karena dia tidak berada dalam relasi demikian dengan kita. Watak penindasan dari solidaritas pun dapat dialami, kalau orang menjadikan isu agama yang memang sangat sensitif, untuk menggalang massa hanya untuk melampiaskan berbagai kejengkelan dan ketidakpuasan terhadap seseorang. Kita memerlukan solidaritas, bela rasa dan bela tindak, namun kita harus waspada agar kita sendiri tidak hanyut dan tidak menghanyutkan orang lain ke dalam arus massa solidaritas itu. Goenawan menulis: "Sebab kebersamaan terus-menerus punya batas dan bahayanya: totalitas itu tidak hendak mengakui bahwa pada akhirnya manusia berdiri sendiri di gawang di ujung garis itu." Pada akhirnya, setiap manusia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada pihak lain, kita juga tidak dapat hidup dalam keterasingan yang berkepanjangan. Menurut Goenawan, "keterasingan bukanlah hidup." Memisahkah diri dari kebersamaan menempatkan diri di atas kebersamaan secara terus-menerus dapat merupakan satu tanda arogansi yang bermuara pada kesewenang-wenangan. Soliter, menjadi manusia yang sendirian, yang sadar akan haknya atas kesendiriannya, dapat saja menggunakan hak ini menjadi sewenang-wenang. Keterasingan dipakai sebagai pembenaran untuk melakukan hal-hal aneh atau membuat pernyataan-pernyataan yang tidak lazim tanpa kesediaan untuk mempertanggungjawabkannya. Penjaga gawang sebagai orang yang soliter adalah pribadi yang mempunyai pertimbangan yang mendalam dan memiliki alasan yang cukup untuk apa yang dilakukannya. Betapapun terkesan ganjil dan terdengar aneh, apabila kita bersedia dan sanggup menunjukkan alasan dari tindakan atau pernyataan kita, ini adalah pratanda bahwa kita tidak sedang tenggelam dalam keterasingan. Kedua hal dimensi hakiki dari kehidupan ini, tampaknya mesti selalu disegarkan kembali dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa. Masyarakat tampaknya cukup gampang latur dalam solidaritas yang memperhamba. Tersulut oleh berbagai isu dan digiurkan oleh berbagai janji, mereka gampang meleburkan diri di dalam aksi massa, tanpa sadar sepenuhnya akan tujuan dari aksi seperti itu. Tanggung jawab pribadi tampaknya terlalu mudah menguap oleh panasnya suhu politik yang dipicu oleh isu atau agenda politik tertentu. Selama kita masih menggantungkan keputusan pribadi kita pada suara massa dan menyerahkan pertimbangan kita kepada teriakan massa, kita belum menjadi warga yang demokratis. Demokrasi mengandaikan kesanggupan untuk menjadi warga yang mandiri, yang memberikan suaranya karena pertimbangannya sendiri. Sementara itu, para pemimpin masyarakat kita mudah jatuh dalam kesewenang-wenangan solitarisme. Yang dilakukannya adalah apa yang dipertimbangkan sendiri tanpa memperhatikan aspirasi dan suara masyarakat. Keputusannya adalah keputusan final, dan dia tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan apa yang diputuskannya. Pemimpin seperti ini bukanlah pemimpin yang demokratis. Seorang pemimpin baru dikatakan demokratis apabila keputusan yang diambilnya, juga dalam kesendiriannya, selalu bertolak dari aspirasi masyarakat dan terarah kepada kepentingan warga. Setiap keputusan itu harus dipertanggungjawabkan, karena inti dari demokrasi adalah penyelenggaraan kehidupan bersama yang dipertanggungjawabkan. Kesewenang-wenangan dikenal dalam totalitariniasme dengan berbagai bentuknya. Pada hari Senin dini hari kita akan menyaksikan bagaimana Lehmann dan Casillas menunjukkan diri sebagai manusia yang soliter dan solider. Kita memang akan juga mengatakan, itu hanyalah bola kaki. Namun peran para penjaga gawan ternyata tidak hanya sebatas bola kaki. Mereka dapat banya berkisah tentang kehidupan, tentang menjadi solider dan soliter. *
Langganan:
Postingan (Atom)