Rabu, 05 November 2008
"Memento Mori"
(Oleh: Y. Dwi Harsanto, Pr)
Pada bulan November, Gereja Kristen Katolik, yang sejak semula mendasarkan diri pada alkitab, tradisi suci dan magisterium, memusatkan diri untuk mendoakan arwah semua orang beriman. Apa maknanya di zaman yang serba sekuler-materialist is ini?
Sudah Meninggal Kok Didoakan?
Mengapa mendoakan orang beriman yang sudah meninggal? Pertanyaan itu sebaiknya juga dibalik: Mengapa tidak mau mendoakan orang yang sudah meninggal? Namun anehnya, jawaban atas pertanyaan kedua ini justeru tidak relevan manakala kita mencari jawaban atas pertanyaan pertama. Lebih-lebih, jika pertanyaan itu dibuat reflektif: "Apakah nanti setelah mati, aku mau / tidak mau didoakan oleh teman-temanku, handai taulan, dan kerabat yang masih hidup di dunia?" Jujur saja, saya mau dan sangat ingin didoakan, karena saya butuh dukungan komunitas umat beriman. Atau, "Apakah nanti setelah mati aku mau / tidak mau mendoakan saudara-saudari tercinta yang masih harus berjuang di dunia?" Ya, saya mau mendoakan kalian seperti biasanya. Mengapa?
Maut Tidak Memutus Relasi
Dalam surat pastoralnya, Santo Paulus mengingatkan kita mengenai orang-orang yang sudah meninggal sebagai tanda harapan akan keselamatan dalam Kristus dan karenanya kita diminta saling menghibur (1Tes 4:13-18). Baik ketika masih di dunia ini, maupun sesudah kematian, kita bisa saling mendoakan seperti biasa. Kematian tidak memutuskan relasi antar-kita dalam iman akan Yesus Kristus yang bangkit dari alam maut dan mempersatukan kita. Tentu saja, relasi setelah kematian berupa doa, kenangan dan inspirasi, bukan lagi relasi fisik dan verbal.
Kebenaran ini cocok dengan salah satu butir syahadat iman rasuli: "Aku percaya akan Communio Sanctorum yang diterjemahkan sebagai "persekutuan para kudus". Sebenarnya, Communio Sanctorum punya dua arti: 1. Orang-orang Kudus, yakni orang-orang yg sudah dibaptis, baik yang masih hidup maupun yg sudah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang sudah "dikuduskan" atau dikhususkan untuk Allah. Arti ke-2 adalah hal-hal kudus (sakramen-sakramen Gereja). Maka setelah baptisan dan perayaan sakramen khususnya ekaristi, kita dipersatukan satu sama lain berkat iman dalam Gereja sampai kekal.
Dengan dasar itu, kita berdoa, memohon kepada Allah, agar mereka yang sudah meninggal segera bersatu dengan Allah Tritunggal Mahakudus seutuhnya. Itulah sorga. Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan rahmat dan pengenalan akan Tuhan, tetapi masih mempunyai dosa-dosa ringan dan jiwa mereka belum sempurna, atau mereka belum melakukan penitensi yang layak bagi dosa-dosa mereka, menurut ajaran Gereja, jiwanya terlebih dahulu harus dimurnikan dalam api penyucian. Api penyucian itu sudah sorga, hanya saja mereka sendiri merasa belum pantas. Mengapa? Alkitab mengatakan "Tidak akan masuk ke dalamnya [Surga] sesuatu yang najis" (Wahyu 21:27). Sehingga hanya jiwa yang bersih atau yang telah dibersihkan sepenuhnya dapat masuk dalam hadirat Tuhan. Jiwa-jiwa dalam api penyucian adalah jiwa-jiwa yang memiliki sukacita yang besar, sebab mereka tahu bahwa suatu hari pasti akan bersatu dengan Allah. Tetapi pada saat yang sama, mereka juga adalah jiwa-jiwa yang sangat menderita, sebab mereka belum berada sepenuhnya bersama Allah. Mereka merindu namun belum bisa bersatu dengan Allah karena hati mereka masih ada noda cela ketika meninggal. Jika sorga adalah situasi bersatu dengan Allah yang Mahacinta, maka orang yang masih ada sedikit saja rasa benci atau masih dalam keadaan berdosa ketika meninggal, akan merasa "belum pantas". "Api penyucian" (purgatorium) sebetulnya adalah saat pemurnian setelah kematian, diri di hadapan Allah sendiri. Cinta mereka dimurnikan bagaikan emas dimurnikan dalam api.
Ekaristi: Tanda Cinta Abadi
Kita dapat membantu jiwa-jiwa yang menderita kerinduan di api penyucian dengan doa, amal, perbuatan-perbuatan baik, dan khususnya dengan Perayaan Ekaristi. Tindakan-tindakan kita itu dapat membantu mengurangi "masa tinggal" mereka di api penyucian. Kita percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka / rusak relasi akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.
Jika suatu jiwa telah dibersihkan sepenuhnya, jiwa tersebut akan segera menuju surga untuk menikmati kebahagiaan bersama Yesus, Bunda Maria, semua orang kudus dan para malaikat untuk selama-lamanya! Kita yakin bahwa mereka akan menjadi pendoa bagi kita kepada Tuhan. Kita menolong mereka dan mereka menolong kita. Semuanya ini adalah bagian dari menjadi Keluarga Allah: persekutuan para kudus.
Sementara tiap-tiap individu menghadirkan diri di hadapan pengadilan Tuhan dan harus mempertanggung- jawabkan hidupnya masing-masing, persekutuan Gereja yang telah dimulai di dunia ini terus berlanjut, kecuali persekutuan dengan jiwa-jiwa yang dikutuk di neraka. Konsili Vatikan II menegaskan, "Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran." (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja artikel 51).
Paus Leo XIII dalam ensikliknya, "Mirae Caritatis" (1902) dengan indah menguraikan gagasan ini serta menekankan hubungan antara persekutuan para kudus dengan Misa, "Rahmat saling mengasihi di antara mereka yang hidup, yang diperteguh serta diperdalam melalui Sakramen Ekaristi, mengalir, teritimewa karena keluhuran Kurban [Misa], kepada semua yang termasuk dalam persekutuan para kudus. Sebab persekutuan para kudus adalah… saling memberikan pertolongan, kurban, doa-doa dan segala kebajikan di antara umat beriman, yaitu mereka yang telah berada di tanah air surgawi, mereka yang berada di api penyucian, dan mereka yang masih melakukan ziarahnya di dunia ini. Mereka semua ini membentuk satu tubuh, yang kepalanya adalah Kristus dan yang prinsip utamanya adalah kasih. Iman mengajarkan bahwa meskipun kurban agung hanya dapat dipersembahkan kepada Tuhan saja, namun demikian kurban dapat dirayakan dalam rangka menghormati para kudus yang sekarang berada di surga bersama Allah, yang telah memahkotai mereka, guna memperoleh perantaraan mereka bagi kita, dan juga, menurut tradisi apostolik, guna menghapus noda dosa saudara-saudara yang telah meninggal dalam Tuhan namun belum sepenuhnya dimurnikan." Pikirkan gagasan ini: Misa Kudus melampaui ruang dan waktu, mempersatukan segenap umat beriman di surga, di bumi dan di api penyucian dalam Komuni Kudus, dan Ekaristi Kudus sendiri mempererat persatuan kita dengan Kristus, menghapus dosa-dosa ringan serta melindungi kita dari dosa berat di masa mendatang (bdk Katekismus no. 1391-1396). Oleh sebab itu, mempersembahkan Misa dan doa-doa lain ataupun kurban-kurban demi umat beriman yang telah meninggal dunia merupakan tindakan yang kudus serta terpuji. Ekaristi adalah tanda cinta abadi bagi saudara-saudara kita yang sudah meninggal.
Tanda Harapan Sepanjang Sejarah
Katekismus Gereja Katolik menyatakan, "Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban misa/Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan" (no. 1032). Sebenarnya "zaman dahulu" ini berakar bahkan dalam Perjanjian Lama. Dalam Kitab Makabe yang Kedua, kita membaca bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; "Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya." (12:42) dan "Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka" (12:45).
Dalam sejarah awal Gereja, kita juga mendapati bukti akan adanya doa-doa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Prasasti yang diketemukan pada makam-makam dalam katakomba-katakomba Romawi dari abad kedua membuktikan praktek ini. Sebagai contoh, batu nisan pada makam Abercius (wafat thn 180), Uskup Hieropolis di Phrygia bertuliskan permohonan doa bagi kedamaian kekal jiwanya. Tertulianus pada tahun 211 menegaskan adanya praktek peringatan kematian dengan doa-doa. Lagi, Kanon Hippolytus (± thn 235) secara jelas menyebutkan persembahan doa-doa dalam perayaan ekaristi bagi mereka yang telah meninggal dunia.
Kesaksian para Bapa Gereja dengan indah mendukung keyakinan ini: St Sirilus dari Yerusalem (wafat thn 386), dalam salah satu dari sekian banyak tulisan pengajarannya, menjelaskan bagaimana pada saat Misa, baik mereka yang hidup maupun yang telah meninggal dunia dikenang, dan bagaimana Kurban Ekaristi Yesus Kristus mendatangkan rahmat bagi orang-orang berdosa, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. St Ambrosius (wafat thn 397) menyampaikan khotbahnya, "Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita menghantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa." St Yohanes Krisostomus (wafat thn 407) mengatakan, "Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka."
Lebih Baik Mendoakan Daripada Tidak
Orang mungkin bertanya, "Bagaimana jika jiwa orang yang kita doakan telah dimurnikan sepenuhnya dan telah pergi ke surga?" Kita yang di dunia tidak mengetahui baik pengadilan Tuhan ataupun kerangka waktu ilahi; jadi selalu baik adanya mengenangkan saudara-saudara yang telah meninggal dunia serta mempersembahkan mereka kepada Tuhan melalui doa dan kurban. Namun demikian, jika sungguh jiwa yang kita doakan itu telah dimurnikan dan sekarang beristirahat di hadirat Tuhan di surga, maka doa-doa dan kurban yang kita persembahkan, melalui kasih dan kerahiman Tuhan, akan berguna bagi jiwa-jiwa lain di api penyucian.
Sebab itu, kita sekarang tahu bahwa bukan saja praktek ini telah dilakukan sejak masa para rasul, tetapi kita juga memahami dengan jelas pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia. Jika seseorang meninggal, juga jika orang tersebut bukan Katolik, akan lebih bermanfaat untuk mohon intensi Misa bagi kedamaian kekal jiwanya dan mempersembahkan doa-doa, daripada segala karangan bunga dukacita dan kartu simpati.. Yang terpenting ialah, hendaknya kita senantiasa mengenangkan mereka yang kita kasihi yang telah meninggal dunia dalam perayaan Misa Kudus dan melalui doa-doa dan kurban kita sendiri guna membantu mereka agar segera mendapatkan kedamaian kekal. Kita diminta berpartisipasi dalam misa arwah di paroki, atau mengenangkan mereka secara khusus dalam Novena Arwah.
Memento Mori
Kalimat itu kurang lebih berarti berarti "Ingatlah akan kematian". Pepatah bijak itu mengingatkan kita akan hakikat kehidupan. Manusia itu, sekali pernah ada, tetap ada selamanya. Kematian tidak memutus kehidupan. Dengan kematian, hidup hanyalah diubah, bukan dibinasakan (bdk. Prefasi Arwah saat Doa Syukur Agung). Tidak bisa kita bertindak sembarangan dalam hidup. Jika ada pendapat "hidup hanya sekali, maka mari kita nikmati sepuasnya", maka orang beriman akan berkata, "Hidup hanya sekali namun untuk selamanya. Marilah kita pikirkan berkali-kali, jika kita ingin bahagia kekal".
Mendoakan arwah semua orang beriman akan membantu kita meningkatkan solidaritas antar sesama, khususnya yang kecil, miskin, lemah dan tersingkir. Doa arwah pun meningkatkan penghormatan atas kehidupan. Mengapa? Karena pada hakikatnya hidup kita ini rapuh namun berlanjut hingga abadi. Kita saling membutuhkan satu sama lain untuk persiapan hidup kekal. Kita adalah satu keluarga yang wajib saling bantu. Betapa baiknya Tuhan itu yang menjadikan kita semua bagian dari Keluarga-Nya.
Mari kita luangkan waktu setiap hari, khususnya selama bulan November, untuk berdoa bagi siapapun yang telah meninggal dunia. Saudara-saudari seiman maupun tidak seiman, para korban kekerasan, konflik, kecelakaan serta bencana, juga bagi bayi-bayi korban aborsi. Mereka pantas mendapatkan cinta dan doa kita. Semoga mengenangkan arwah saudara-saudari yang telah meninggal, membuat kita makin tahu tujuan hidup kita, mau solider, bersikap adil sesama dan terhadap lingkungan hidup.
Penulis adalah seorang imam Katolik Keuskupan Agung Semarang, kini Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI. Tulisan ini pernah dimuat di majalah INSPIRASI, November 2007, diolah dari William P. Saunders dalam: "Straight Answers: All Saints and All Souls Day"; Arlington Catholic Herald, Inc; 2004, Arlington Catholic Herald, pada www.catholicherald. com yang diterjemahkan oleh www.indocell. net/yesaya
Senin, 03 November 2008
KEMBALI KE AKAR

KEMBALI KE AKAR adalah buku pertama Rm. Beny Mali, SVD
Kalai memesan silahkan kontak ke penulis dengan email: soverdi@gmail.com atau bbmesvede@yahoo.com
Minggu, 12 Oktober 2008
SULIT KOTBAH MISA ARWAH (2)
Yes 25 : 6 - 10a ,
Flp 4 : 12 – 14. 19 – 20
Mat 22:1– 14
Yohanes 14 : 1- 7
Semua orang diundang Tuhan masuk kedalam PerjamuanNya.
PerjamuanNya itu adalah Ekaristi dan Perjamuan abadi di Surga.
Setiap orang yang masuk harus memenuhi persyaratan yaitu harus berpakaian pesta.
Pakaian pesta adalah hidup bermoral yang baik dari para beriman.
Pakaian pesta adalah hidup sesuai dengan kehendak Allah. Sabda Allah menjadi fokus dalam seluruh hidup dan karya. Fokus itu tetap kokoh harus didukung oleh komitmen pribadi setia pada Sabda Allah yang telah menjadi manusia dalam diri Yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup para beriman.
Bapak Yosef Sugito Suryosembodo yang telah dipanggil Tuhan dalam usianya yang ke 90 ini telah kembali ke Rumah Bapa. Dia telah menjawabi undangan Tuhan. Kita yakin dengan imannya kepada Yesus dia berpakaian pesta masuk dalam perjamuan Tuhan di Surga. Dia telah bersatu dengan Para Kudus dan para malaikat di Surga dan dengan demikian dia menjadi pendoa bagi kita agar kita menjadi setia pada Sabda Allah, lewat doanya bersama para kudus di Surga. ***
SULIT KOTBAH MISA ARWAH (I)
Tuhan Mengundang Semua Memasuki PerjamuanNya
HMB XXVIII A
Yes 25 : 6 - 10a ,
Flp 4 : 12 – 14. 19 – 20
Mat 22:1– 14
Pengantar
Beberapa kali komunitas kita menerima undangan resepsi pernikahan. Biasanya mereka yang mengirim undangan itu menulis di salah satu pojok undangan dengan tulisan demikian : “Undangan berlaku hanya untuk satu orang. Tamu harus membawa undangan saat menghadiri resepsi pernikahan”. Tentu saja orang yang mengundang membatasi orang yang diundang karena memiliki alasan yang masuk akal yaitu materi, tenaga dan waktu yang terbatas.
Biblis
Sama saudara yang terkasih. Hari ini kita mendapat undangan yang tidak ada tulisan seperti undangan resepsi pernikahan yang biasa kita terima. Undangan perjamuan nikah yang kita terima hari ini bertolakbelakang dengan undangan di atas. Undangan perjamuan nikah yang kita terima pada hari ini berlaku untuk umum. Undangan ini terbuka bagi semua orang yang dicirikan aneka wajah, aneka budaya, suku dan agama. Undangan ini dari Tuhan bukan dari manusia. Tuhan mengundang semua untuk masuk ke dalam perjamuanNya. Tuhan yang kita kenal dalam Perayaan Ekaristi ini adalah Tuhan yang tidak tertutup tetapi terbuka bagi semua orang. Tuhan yang kita imani adalah Tuhan yang menyatukan perbedaan dan mendamaikan semua orang.
Undangan seperti ini sungguh istinewa. Pembawa atau penyebar undangan itu adalah para utusan Tuhan yang menyebarkan undangan itu kepada semua orang. Penyebar undangan itu adalah para Nabi dan para rasul. Keunikan sebuah undangan adalah tidak memaksa setiap orang yang menerima undangan untuk hadir dalam perjamuanNya yang membahagiakan. Undangan Tuhan memberi kebebasan bagi orang yang menerima undangan untuk memenuhi undangan itu atau menolak undangan yang diterima.
Penerima undangan adalah bangsa Israel sebagai bangsa terpilih Allah. Mereka ini menolak undangan dengan alasan sibuk urus harta kekayaan duniawi. Mereka tidak mempunyai waktu untuk menghadiri perjamuan Nikah Tuhan. Mereka bukan hanya menolak dengan kata dan cara mereka tidak datang ke perjamuan Tuhan. Mereka membunuh para nabi yang membawa undangan Perjamuan Tuhan kepada mereka.
Tuhan mendengar pembunuhan terhadap para nabi yang membawa undangan kepada bangsa Israel itu. Tuhan memberi kutukan kepada bangsa Israel yaitu menghacurkan Israel. Hukuman itu terjadi karena penolakan bangsa Israel terhadap undangan kerajaan Allah dan terutama karena mereka membunuh para nabi yang membawa undangan kepada mereka. Hukuman itu mereka alami akibat Israel sebagai bangsa terpilih lebih melekat pada hal-hal duniawi.
Meskipun ada penolakan sampai pembunuhan terhadap para pembawa undangan itu, Tuhan tidak berhenti dan tidak bosan-bosan menyebarkan undangan kepada semua manusia. Bangsa terpilih Tuhan, Israel setelah menolak undanganNya itu, kembali Tuhan menyebarkan undangan kepada bangsa-bangsa lain. Para nabi dan para rasul menjadi pembawa dan penyebar undangan Tuhan. Bangsa-bangsa lain yang diundang ini menerima undangan dan datang ke perjamuan Tuhan. Ada dua kelompok yang datang masuk dalam perjamuan Tuhan. Kelompok pertama adalah mereka yang berpakaian pesta. Kelompok yang kedua tidak berpakaian pesta. Pakaian pesta adalah hidup bermoral orang beriman. Yang tidak berpakain pesta itu tidak layak mengambil bagian dalam Perjamuan Tuhan. Dia yang tidak berpakaian pesta itu dihukum oleh Tuhan. Yang berpakaian pesta adalah orang yang layak bagi perjamuan Tuhan. Berpakaian pesta perjamuan Tuhan berarti mengenakan pakaian kehendak Allah.
Sama saudaraku, semua orang diundang Tuhan masuk ke perjamuanNya, baik mereka yang tahu tentang undangan itu atau belum tahu baik atau setengah setengah tahu tentang keunikan undangan itu. Pembawa undangan atau penyebar undangan Tuhan atau penyebar warta khabar gembira undangan Tuhan tidak cukup menyerahkan undangan itu tetapi dengan pengajaran dan pendidikan yang melewati sebuah proses pengenalan undangan itu agar penerima undangan itu sampai pada mengenakan pakaian pesta perjamuan Tuhan. Paulus sebagai misionaris melaksanakan tugasnya menyebarkan undangan perjamuan Tuhan kepada umat di Filipi. Kegembiraan dan harapan muncul dari umat di Filipi ini yaitu mereka memberi respons yang sangat positif dengan cara mereka memberi sumbangan materi, perhatian, cinta dan doa bagi Paulus dalam melaksanakan tugasnya sebagai misionaris. Umat Filipi yang dilayani Paulus sampai menjadi umat yang menjadi misionaris dengan cara mereka yaitu mendukung dengan doa, materi, perhatian dan cinta kepada Paulus sebagai misonaris. Dukungan umat Filipi ini menunjukkan bahwa adanya tanda-tanda dalam diri umat Filipi yaitu mereka mulai mengenakan pakaian pesta perjamuan Tuhan. Misi Paulus berhasil di Filipi. Meskipun umat Filipi begitu dekat dengan Paulus, Paulus tidak merasa melekat pada orang-orang dan materi serta perhatian umat Filipi. Kelekatan seorang misionaris pada hal-hal duniawi adalah batu sandungan bagi banyak orang untuk datang ke perjamuan Tuhan. Paulus tidak mau menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk semakin dekat dengan Tuhan. Paulus tetap fokus pada penyebaran undangan Tuhan kepada semua orang, agar mereka masuk dalam perjamuan Tuhan dengan pakaian pesta.
Kita
Misi Ke dalam
Kita melihat bacaan suci hari ini dengan pola kita sebagai orang beriman. Kita yakin dan berharap bahwa kita semua mau menerima undangan Tuhan dan mau memenuhi undangan Tuhan dengan berpakaian pesta. Pakaian pesta kita barangkali masih ternoda oleh dosa-dosa kita, kelekatan kita pada materi, tempat tertentu, manusia tertentu maka pada saat ini kita disadarkan kembali agar kita mau mencuci bersih pakaian pesta nikah yang kita miliki dan kita kenakan dalam Perjamuan Tuhan sehingga pakaian pesta perjamuan Tuhan itu tetap terjaga dan tetap layak dikenakan dalam memasuki Perjamuan Tuhan. Berpakaian pesta berarti selalu setia dan komit pada Sabda Allah dalam segala tempat dan waktu. Hal ini terwujud dalam hidup kita jika kita mau berkorban seperti Paulus meninggalkan hal duniawi, tidak melekat pada orang, materi, tempat tetapi tetap fokus pada Sabda Allah.
Misi Ke luar
Kita tidak merasa puas dengan diri sendiri karena kita telah berpakaian pesta dalam perjamuan Tuhan. Kita akan lebih layak di hadapan Tuhan yang mengundang kita ke perjamuanNya kalau kita memiliki kepedulian yang tinggi pada sesama yang memiliki kerinduan untuk masuk dalam undangan Perjamuan Tuhan, yang masih kabur di mata mereka. Kita adalah misionaris seperti Paulus dengan menggunakan segala sarana yang ada untuk menyebarkan dan memperkenalkan Undangan Tuhan kepada semua orang agar mereka dapat memasuki Perjamuan Pesta Tuhan, dengan pakaian pesta yang layak. Kita menyebarkan undangan Tuhan ke perjamuanNya dengan pakaian pesta yang kita kenakan sebagai saksi kita kepada mereka yang kita undang. Lewat teladan baik yang kita berikan, mereka yang kita layani tentu lebih merasa tersentu untuk mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan.
Penutup
Mari kita selalau berpakaian pesta dalam hidup kita karena kehidupan ini adalah perayaan Perjamuan Tuhan. ***
Sabtu, 13 September 2008
sejenak bersama kata jiwa.
Friedrich Nietzsche : KESEPIAN
Burung-burung gagak berteriakDan berdengung terbang ke kota:Salju akan turun segera -Bahagialah dia yang kini masih - berkampung halaman!Kini kau berdiri kaku,Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!Mengapa kau yang tololSewaktu musim dingin menjelang - larikan diri ke dunia?Dunia itu pintu gerbangKe seribu gurun bisu dan dingin!Yang kehilangan,Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.Kini kau berdiri pucat,Terkutuk untuk ngembarai musim salju,Bagaikan asap,Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.Terbanglah, burung, teriakkanLagumu dalam nada-burung-gurun! -Umpetkanlah, kau yang tolol,Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!Burung-burung gagak berteriakDan berdengung terbang ke kota:Salju akan turun segera,Celakalah dia yang tak berkampung halaman!
MAX DAUTHENDAY (1867-1918) KEPADA CIKURAIO
gunung, yang nyundul angkasa,Puncakmu nyaksikan jaman segala,Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasaBila kau sejukkan dahi di angkasa.Kau telah hidup waktu lelaki pertamaMerebut hati wanita yang semula.Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisanLenyap pada peradaban penutupan.Betapa penting kuanggap kesusahanku.Betapa penting hari kemarin, harini dan esok.Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,Kau mengajar untuk percaya pada Keabadian.
Rabu, 10 September 2008
133 Tahun SVD dan Sumbangannya
Oleh : Ermalindus A Sonbay
---Pernah kuliah di STFK Ledalero----
TIDAK disangkal bahwa Serikat Sabda Allah (SVD/Societas Verbi Divini) berpengaruh besar dalam perkembangan dan pertumbuhan NTT, baik dalam relasi dengan teritori kepemimpinan publik/pemerintahan (politis) maupun sebagai wilayah misi SVD (religius). Untuk yang pertama SVD hadir sebagai mitra dialog begitu banyak pemimpin lokal dan nasional, yang asli NTT dan juga yang bekerja untuk NTT. Sedangkan yang kedua, SVD hadir dalam begitu banyak gembala, saudara dan rekan dalam pembentukan kehidupan iman umat yang konstan dan konsisten. Banyak anak NTT yang hidup dan berkembang baik karena di-nafas-i oleh SVD sebagai keseluruhan maupun orang perorang. SVD turut membantu perwajahan dan juga pertumbuhan NTT dalam pelbagai aspek, mulai dari perkembangan intelek, keterampilan, budaya, moralitas bahkan sampai pendampingan kategorial keluarga dan masih banyak lagi.
Beberapa nama pantas disebutkan, dua lembaga penelitian budaya besar, Chandraditya Maumere dan Mansen Sae Kupang, STFK Ledalero yang terkenal sebagai mesin produksi misionaris klerikal dan misionaris awam terbesar di dunia, sekolah-sekolah asuhan SVD seperti SMAK Syuradikara, STM Larantuka, STM Nenuk, juga Universitas Widya Mandira Kupang. Semuanya menjadi tempat-tempat monumental yang menyuarakan dengan baiknya kebebasan manusia atas berbagai pembelengguan. Banyak juga perbengkelan, perkebunan dan peternakan SVD yang mempekerjakan begitu banyak anak NTT yang juga memberi nilai plus bagi negeri komodo-kelimutu-cendana ini. SVD dengan demikian sukses mengawaki dan mengawal wajah NTT sejak masa pra-kemerdekaan, kemerdekaan, bahkan menuju 'kemerdekaan kedua' yang bernaung di bawah kebangkitan Indonesia untuk yang kedua kalinya ini.Namun, pencapaian ini tentu bukan posisi dan tempat yang tampan bagi SVD untuk beristirahat dan berhenti dari kegiatan-kegiatan pendampingan dan kerekanannya. Perjuangan untuk menenun wajah NTT masih panjang. Proses menjadi (in the making) NTT untuk menemukan makna dan karakteristik NTT serentak menyempurnakannya dengan pertanyaan Kantian, apa yang harus NTT buat (bukan sekadar apa itu NTT?) masih membutuhkan partisipasi dan kerekanan SVD dan berbagai elemen lain. Satu awasan yang diberikan pada ranah ini adalah kalau kerekanan ini ditiadakan dan hasil-hasil SVD tidak dilanjutkan dalam perjuangan yang konstan, maka ada kemungkinan rakyat (yang juga kebanyakan adalah umat gembalaan misionaris SVD) NTT akan tergerus dalam pelbagai peminggiran (marjinalisasi) dan pengasingan (alienasi) dalam pelbagai dimensi. Tenunan wajah NTT akan semakin buram kalau keterasingan religius yang ditakutkan akan berimbas pada terpasungnya kebebasan spiritual begitu banyak orang. Dostoievsky ketika menulis dialog antara inkuisitor agung dan Kristus dalam The Brothers Karamazov mengetengahkan bahwa kehancuran kebebasan manusia mengalami puncaknya ketika manusia tidak bebas lagi secara spiritual. Kebebasan spiritual dengan demikian harus menjadi niscaya serentak turut menentukan kebebasan manusia. SVD dalam kemitraan menuju langkah emansipatoris dan partisipatoris juga mesti terus berjuang untuk menghidupkan spirit menuju kebebasan spiritual. SVD tidak cuma bertanggung jawab dalam menghasilkan buku-buku doa yang luar biasa saja, tetapi juga 'ada bersama' dan terus berdialog dengan semua yang menjadi konsumen produk-produk briliannya. Rakyat NTT dalam kesederhanaan dan juga persatuannya membutuhkan lebih dari pada ikan dan kail. Ketika Juergen Habermas dan semua generasi kedua mazhab kritis menyuarakan kebebasan komunikatif yang juga menyentuh bagaimana cara berada di dunia versi Heidegger dengan in der welt sein-nya yang mengafirmasi eksistensi tentang tidak ada yang tersembunyi, SVD sebagai komunitas persaudaraan yang mengayomi dan mengakomodasi semua juga perlu menjalankan misi pewartaan yang transparan dan akomodatif. Misi SVD bukan untuk menekan rakyat dengan berbagai pendekatan primordialisme akali a la filsafat Eropa Barat, melainkan lebih kepada peran sebagai nabi yang berdialog dengan masyarakat NTT dengan jiwa besar dan penghargaan yang seimbang. SVD sekali-kali jangan mendatangkan dan menjadi candu bagi masyarakat, sebuah kehadiran yang menurut Marx semakin mengalienasi dan mendiskreditkan manusia ke titik-titik determinasi sejarah.Kehadiran dialog profetis SVD juga hendaknya semakin membangkitkan kepercayaan diri dan tekad untuk maju dan berkembang bagi NTT dengan segala potensi yang dimiliki. Bukan dengan penaburan harapan utopis, Nanti Tuhan Tolong, melainkan dengan kesadaran kritis akan peluang yang terbuka untuk bangkit, sebagai Nyala Terang Terbesar bagi Indonesia, bagi dunia. Iluminasi ini juga mengandaikan pembentukan kesadaran rakyat NTT tentang partisipasi dan emansipasi dirinya. Rakyat perlu disiapkan dalam kegembalaan untuk mengerti dan bertindak dengan baik dan benar dalam relasi dialog profetis yang dibangun. Kesadaran sebagai NTT juga mesti dibersihkan dari pelbagai prasangka, apalagi kecenderungan mengabadikan berbagai intrik dalam SVD in se maupun dalam relasi dialog yang dibangun, antara lain primordialisme yang diletakkan dalam sukuisme, kesamaan profesi, tingkat pendidikan, dan latar belakang lainnya. Semua umat/rakyat NTT harus diakomodasi dan diterima dalam persatuan yang mengayomi keberagaman. Kotak-kotak dan sekat-sekat yang merupakan racun bagi kebersamaan dan dialog profetis ini harus ditiadakan.Hal ini nantinya bisa berimplikasi pada pertumbuhan demokrasi yang sehat misalnya. NTT tidak akan terbuai dalam talking democracy saja melainkan juga mulai bisa menghidupi working democracy. NTT yang diteladani oleh misionaris SVD bukan tidak mungkin menjadi teladan bagi Indonesia dalam banyak hal. Tapi konstelasi ini tidak terutama pada popularitas NTT keluar, melainkan bagaimana NTT sebagai satu di antara begitu banyak yang bervariasi bisa kuat dalam perkembangan dan kemajuan yang sehat dan agamis (intern oriented). Sejatinya keterpaduan SVD dengan berbagai elemen agama, budaya, politik dan ekonomi lainnya juga harus ditentukan oleh sejauh mana pengaruh dialog profetis yang menggema pada murninya nurani bisa efektif bagi kesejahteraan dan kebaikan bersama. Parameternya adalah warna dialog profetis SVD boleh jadi harus hadir dalam ragam kehidupan dan kebersamaan NTT. Satu contoh, seandainya masih banyak koruptor di NTT apalagi mereka rekan-rekan dialog SVD dan bahkan mungkin dekat dalam relasi dengan SVD sebagai keseluruhan maupun per pribadi, artinya perjuangan penjernihan dengan basis dialog profetis belum maksimal bahkan mungkin perlu dievaluasi dan diperbaiki dalam banyak hal. Kalau masih ada pemimpin lokal yang represif dengan kebijakan dan senantiasa merugikan rakyat, maka aplikasi teologi yang kontekstual perlu juga membidik bagaimana membangun karakteristik NTT lewat sentuhan nilai kekristenan yang padu dalam diri pemimpin-pemimpin yang paling kurang sudah diakomodasi terlebih dahulu oleh Kristus sendiri dalam partisipasi dan dialog yang dibangunnya ketika menyuarakan keselamatan dan kebebasan yang sejati.Kalau kemiskinan, peminggiran, kebodohan dan beragam persoalan penyakit yang tak kunjung selesai di NTT tetap terpelihara, maka mungkin posisi SVD sebagai salah satu fundamen intelektual dan juga rekan NTT dalam pengentasan kemiskinan, kebodohan dan pelbagai ketimpangan sosial lainnya masi perlu dikaji ulang dengan pendekatan dialog yang lebih manusiawi serentak agamis. Dostoievsky dengan tegas melesakkan kritiknya bahwa antropodisi yang mengusung humanisme tanpa Tuhan adalah sesuatu yang sia-sia. Pemanusiaan NTT tetap membutuhkan kerekanan dalam saling membantu menuju keselamatan yang sesungguhnya. Dan di titik ini kiranya tidak terlalu cepat saya katakan bahwa dialog (profetis) yang menjadi warna khas SVD merupakan salah satu kanal ke arah itu. Profisiat dan selamat merayakan hari jadi yang ke-133 untuk SVD. Ad multos annos!
Kamis, 28 Agustus 2008
P. Martin BHISU SVD BERSAKSI TENTANG PRESIDEN PARAGUAY
Salam dari Paraguay untuk Robert dan Alles. Kunjungan Budiman Sujatmiko dan Rikard Bagun di Paraguay sudah selesai. Sebelumnya konfrater kita di Brasil menjamu mereka dengan daging bakar, lalu ke Paraguay. Langsung kami ke rumah Lugo, makan malam di rumahnya. Keduanya hampir menangis melihat segala sesuatu begitu sederhana dan manusiawi. Malam itu kami "culik" Lugo. Masa depan Paraguay ada di tangan kami bertiga. Saya nyetir, Budiman dan Rikard mengawalnya di tempat duduk belakang. Maklum saya melihat Lugo malam itu agak tegang, dua hari menjelang pelantikan. Saya bilang: Ayo kita ke rumah SVD. Secepat mungkin saya dan dan seorang bekas suster yang bekerja di rumahnya mengatur tasnya dan kularikan dia ke rumah induk. Lugo larang pengawal-pengawalny a mengikuti kami. Paginya, sehari sebelum pelantikan, wawancara eksklusif Lugo dengan Budiman dan Rikard. Wartawan dari dalam dan luar negeri mengerumuni rumah induk kami. Kami bertiga menghantar Lugo sampai di kendaraanya. Sayangnya, hari itu kami tidak sempat memenuhi undangannya untuk makan siang di istana negara. Tanggal 15 agustus. Jam 5 pagi Lugo tiba rumah induk untuk Laudes, minta berkat dari konfrater yang hadir di kepela. Sedangkan saya masih mengorok di kamar. Budiman dan Rikar, apalagi. Satu jam menjelang pelantikan, kami bertiga tiba di rumahnya. Ratusan wartawan dan petugas keamanan membuat hari itu jadi lain sekali. Kami tiga masuk rumah, seperti di rumah sendiri, membuat wartawan lain cemburu.Di kamar makan saya jumpai sekretaris pribadinya. Kami berpelukan dan menangis, tidak pernah kami duga hari ini akhirnya tiba. Kedua wartawan kita membisu, mengarahkan kamera ke segenap pojok kamar makan yang sempit sekaligus dipakai sebagai kamar tamu, bersebelahan dengan dapur. Saya lalu ke biliknya Lugo. Masih di kamar mandi. Di atas tempat tidur ada selembar baju putih dan celana bekas berwarna coklat yang dikenakannya dalam acara pelantikan, dan dilantai sebuah sandal kulit yang barusan ia semir. Keluar dari kamar mandi, setengah bogel, dengan handuk melilit di pinggulnya. Kami dua berpelukan, berdoa, menangis. Kemudian kuberkati sahabat saya. Bisik Lugo: Jalan masih panjang Martín.Hari berikutnya kami ke San Pedro, wilayah utara paling miskin untuk mengikuti pelantikan gubernur kami, teman dekat saya dan Lugo, yang sekaligus katekis dan ketua seksi liturgi di paroki saya. Hadir juga dalam acara Hugo Chavez, presiden Venezuela. Nasib mujur bagi kedua wartawan. Hari minggu misa di paroki saya. Budiman dan Rikard hadir. Bapak gubernur menyiapkan Liturgi. Koor tidak ada. Semuanya bernyanyi, berdoa, berekspresi, bersyukur, puji Tuhan, dengan misa yang disederhanakan gaya umat sederhana amerika latin (mujur Vatikan belum tegur saya) diringi dengan dua buah gitar. Kedua wartawan kita belum pernah melihat suasana doa begitu khusuk tapi penuh nuansa kemanusiaan. Itulah liturgi orang-orang miskin. Sesudah misa kami ke rumah gubernur. Langsung duduk di dapur. Maklum Budiman ingin pamit dan anak-anak gadis bubernur. Sorenya di Asunción dengan Lugo kami masuk Istanah Negara untuk pertama kalinya. Hari berikutnya Rikard ke Indonesia dan Budiman ke Brasil ketemu Edi Doren dengan MST-nya. Ok. Robert. Saya merasa ditantang oleh Rikard, Budiman dan Anda. Mereka sudah setuju dengan tema yang saya pilih. Pertama: MEMBACA SOSIALISME AMERIKA LATIN DALAM BELANTARA NEOLIBERALISME. Sudah sampai 32 halaman. Yang kalau dibukukan bisa mencapai 40 hingga 50 halamam. Budiman anjurkan supaya bukunya jangan terlalu tebal, nanti orang tidak baca. Rencana saya hanya sampai 100 halaman, Moga-moga akhir oktober bisa selesai. Tema kedua, PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PEMBEBASAN AMERIKA LATIN. Ketiga, ETIKA SOSIAL. Keempat, EKOLOGI SOSIALMoga-moga bisa berjalan baik sesuai dengan rencana kita
Langganan:
Postingan (Atom)